ON THE PRICE OF CONTEMPORARY ART
oleh hendrotan , pemilik Emmitan Contemporary Art Galeri
by hendrotan, owner of Emmitan Contemporary Art Gallery
Write on December 20, 2011
Write on December 20, 2011
Auction-house
‘frying game’ is a latent reality so well known to art-market players,
artist managements, art galleries and collectors. And also to some
artists that are furtive players and suppliers in auction market. To
protect the interests of certain parties it is tabooed to mention and
discuss such artists and practice.
Resulting
from unhealthy practices, the situation prevailing in Indonesian art
market today is that of dusk that is neither clear nor dark. The
situation is naturally very worrisome for those who think. So it is time
to have understanding and awareness on the part of stakeholders that
art market is built upon the belief that art is culturally valuable
while economically it has a unique function. In addition, artworks
provide an entity of the economy of belief that is not only distinct but
also significant among other economic entities.
Bringing
such belief into the practical realm of defining the price or value of
an artwork, we need to pay attention to some considerations based on the
experiences and knowledge of major galleries. They include the
following.
The
first thing, a price reflects the artistic quality or the quality and
size of a work. It should be known that setting prices based on the
sizes of works applies for new artists’. For mature artists, setting a
value/price based on size can be harder than the quality-based mode.
Here the starting point to set the value or price of a young artist’s
work is gallery reputation.
In
later developments, if the new or young artist in question becomes more
famous for his/her achievements in making exploration, the price of
his/her works can be defined based on his/her history of artistic
creativity. Then in the pricing we should consider quality and size
proportionally. So through the artist’s second or third and later solo
exhibitions, the price of the young artist’s works can be gradually
raised.
Beyond
the procedure, all practices and treatments will only harvest sharp
criticism from the art world that sees them as “false or deceitful price
increase” in that escalating value and price do not go harmoniously
with the reputation and creativity developments of the young artists in
question. Especially if the “price” results from the notorious ‘frying
game’ at auctions.
The
moral is obvious here: the construction or increase of the price of
contemporary artwork can only prevail or be defined by means of artists’
successful solo exhibitions presented from one major gallery to
another.
Secondly,
so far gallery and artist set the rules of the game and this means
artists act as the controllers of the price of their own works; major
galleries raise the price from the label price of the work of an artist
exhibiting at the gallery, which doesn’t only mean practicing ‘the
frying game’ at gallery-market but also upsetting the foundation of art
as an entity of belief-based economy.
Thirdly,
despite some people’s observation that auction represents a barometer
of art market, each and every gallery and artist should hold fast to the
sense that what takes place in auction houses is something ACCIDENTAL
(because of emotions and the ‘frying game’ involved) that should not be
used as the criterion for increasing – or, worse, decreasing – the price
of an artist’s work.
Just an example:
*
The price of a work, 2-to-3-meter size, by a young artist in solo
exhibition at a major gallery that is IDR 250 million = price market
* The work sold by a market player at IDR 400 million = private sale price market
*
Five months later a new work by the same young artist, also 2-to-3
meters in size, is fetched from the artist’s studio through cooperation
between the artist’s manager and an auction house leading to an IDR 5
billion hammer price while the auction process doesn’t find support from
the floor of bidders = ‘fried’ auction price.
But, suppose a great number from among the floor of credible bidders
compete for the work in the auction to effect in an IDR 800 million, we
have the so-called auction emotional price.
In
a case of an extreme auction ‘fried price’, usually the art world will
validate it with major galleries or senior market players or collectors
who are eyewitnesses of the event concerned.
To
conclude, price formation for artists’ works in contemporary art market
‘should not have been’ by the practice of ‘frying game’ in auctions.
Instead, it should have been by submitting artworks to the test of time,
and by considering artists’ reputations, journeys of artistic
creativity, professional attitudes, and qualities of works shown in solo
exhibitions at different major galleries. Yet this ideal regarding
price validation is far from easy to materialize because it is part of
the mystery of the Pandora’s box of art waiting to open.
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
MASALAH ( VALIDASI ) HARGA KARYA SENI RUPA KONTEMPORER
Tertulis tanggal, 20 Desember 2011
Goreng-menggoreng
di balai lelang merupakan realitas laten yang sudah bukan rahasia lagi
bagi kalangan pemain pasar seni rupa, manajer perupa, galeri dan
kolektor. Serta sebagian perupa, yang diam-diam menjadi pemain dan
pemasok dipasar lelang. Yang disebut belakangan, memang terasa paradoks,
dan tabu untuk dibicarakan demi menjaga kepentingan pihak tertentu.
Akibat
permainan pasar yang tidak sehat, kini situasi yang berlangsung di
pasar seni rupa Indonesia adalah situasi “senjakala” terang tidak, gelap
pun tidak. Situasi demikian tentu amat mencemaskan bagi yang berfikir.
Oleh karena itu sudah saatnya diperlukan pengertian dan kesadaran
pemangku kepentingan bahwa pasar seni rupa dibangun atas kepercayaan
akan karya seni rupa sebagai nilai budaya yang memiliki fungsi ekonomi
yang unik. Selain itu karya seni rupa juga merupakan suatu entitas
ekonomi kepercayaan (the economy of belief) yang tidak hanya berbeda,
tapi juga signifikan di antara entitas-entitas ekonomi lainnya.
Dengan
menempatkan kepercayaan itu di ranah praksis tentang bagaimana
menetapkan harga suatu karya seni rupa, maka kita perlu memperhatikan
sejumlah pertimbangan yang datang dari pengalaman dan pengetahuan galeri
– galeri utama sebagai berikut.
Kesatu,
harga terpantul dari mutu artistik atau kualitas karya dan ukuran
karya. Perlu dipahami bahwa perihal harga berdasarkan ukuran karya itu
berkait dengan perupa baru (new artists). Bagi perupa yang sudah matang
(mature artists), menetapkan harga karya berdasarkan ukuran bisa jadi
lebih sulit ketimbang kualitas. Dari sini, titik berangkat untuk
menetapkan harga karya seorang perupa muda adalah reputasi galeri.
Pada
perkembangannya, jika si perupa baru atau muda tersebut menjadi lebih
terkenal karena pencapaiannya dalam bereksplorasi, maka harga karyanya
dapat ditetapkan berdasarkan reputasi dan sejarah kreativitas seninya,
dan yang berlaku adalah kualitas dan ukuran yang sebanding. Dengan
demikian, melalui pameran tunggalnya yang kedua atau ketiga dan
seterusnya, harga karya si perupa muda bisa ditingkatkan secara
bertahap.
Di
luar perlakuan itu hanya akan menuai kritik tajam dari medan sosial
seni rupa sebagai “peningkatan harga yang bohong atau palsu”, karena
nilai harganya tak sesuai dengan reputasi dan sejarah kreativitas perupa
muda yang bersangkutan. Apalagi jika “harga” itu dicapai lewat praktik
goreng-menggoreng di pelelangan.
Moralnya
jelas, bahwa konstruksi atau peningkatan harga karya seni rupa
kontemporer ditentukan atau hanya bisa terjadi oleh keberhasilan pameran
tunggal seorang perupa dari galeri utama ke galeri utama lainnya.
Kedua,
selama ini galeri dan perupanya sendiri yang menetapkan aturan sebagai
pelaku kontrol harga karyanya dan galeri utama menyadari menaikkan
dengan menambah harga dari harga label karya seorang perupa yang sedang
berpameran digalerinya sama dengan memanipulasi harga karya perupa,
bukan hanya berarti mempraktikkan “penggorengan” dalam tubuh-pasar
galeri, melainkan juga mencederai landasan nilai seni rupa sebagai
entitas ekonomi kepercayaan.
Ketiga,
sekalipun ada yang mengatakan bahwa pelelangan merupakan barometer
pasar seni rupa—namun setiap galeri dan insani perupa tetap harus
berpegang teguh pada pendirian bahwa apa yang sedang berlangsung di
balai lelang adalah sebuah “AKSIDEN” (baik karena emosi maupun karena
goreng-menggoreng) yang tidak bisa dijadikan patokan untuk menaikkan
harga—apalagi menurunkan—harga karya seniman / perupa.
Dicontohkan :
* Harga karya perupa muda pada pameran tunggal digaleri utama 2 x 3 mt 250 jt. = harga pasar
galeri
* Karya perupa muda tersebut diatas diperjual belikan oleh pemain pasar maksimal laku / terjual
400 jt. = harga pasar private sale.
* Lima bulan kemudian karya baru perupa muda tersebut dengan ukuran sama 2 x 3 mt. keluar
dari studio lewat kerja sama antar manajer perupa dengan balai lelang, terjadi hammer price
( harga ketok palu ) 5 milyar, sedangkan proses lelang tidak didukung oleh peserta lelang di
floor = harga gorengan pelelangan.
Bilamana karya yang sama tersebut diperebutkan banyak peserta lelang ( credible bidder ) di
floor dan terjadi hammer price 800 jt., maka transaksi ini disebut sebagai harga emosi
pelelangan.
Untuk
kejadian harga gorengan di pelelangan yang luar biasa, pada umumnya
medan sosial seni rupa memvalidasikan harga kepada galeri utama atau
pemain pasar yang senior atau kolektor yang berada di tempat kejadian
perkara.
Akhirnya
dapat disimpulkan bahwa pembentukan harga bagi karya Perupa dalam pasar
seni rupa kontemporer “seharusnya” dilakukan bukan melalui goreng
menggoreng dibalai lelang, melainkan melalui uji waktu, reputasi dan
sejarah kreativitas seninya sang perupa juga catatan sikap keperupaannya
dan kualitas karya-karyanya dalam pameran tunggal di pelbagai galeri
utama, akan tetapi mengapa idealisasi soal validasi harga ini tidak
mudah, karena ini merupakan bagian dari misteri kotak pandora seni rupa
yang nantinya akan terbuka.