Rabu, 30 Mei 2012

ON THE PRICE OF CONTEMPORARY ART

ON THE PRICE OF CONTEMPORARY ART
by hendrotan, owner of Emmitan Contemporary Art Gallery
Write on December 20, 2011

Auction-house ‘frying game’ is a latent reality so well known to art-market players, artist managements, art galleries and collectors. And also to some artists that are furtive players and suppliers in auction market. To protect the interests of certain parties it is tabooed to mention and discuss such artists and practice.

Resulting from unhealthy practices, the situation prevailing in Indonesian art market today is that of dusk that is neither clear nor dark. The situation is naturally very worrisome for those who think. So it is time to have understanding and awareness on the part of stakeholders that art market is built upon the belief that art is culturally valuable while economically it has a unique function. In addition, artworks provide an entity of the economy of belief that is not only distinct but also significant among other economic entities. 

Bringing such belief into the practical realm of defining the price or value of an artwork, we need to pay attention to some considerations based on the experiences and knowledge of major galleries. They include the following. 

The first thing, a price reflects the artistic quality or the quality and size of a work. It should be known that setting prices based on the sizes of works applies for new artists’. For mature artists, setting a value/price based on size can be harder than the quality-based mode. Here the starting point to set the value or price of a young artist’s work is gallery reputation. 

In later developments, if the new or young artist in question becomes more famous for his/her achievements in making exploration, the price of his/her works can be defined based on his/her history of artistic creativity. Then in the pricing we should consider quality and size proportionally. So through the artist’s second or third and later solo exhibitions, the price of the young artist’s works can be gradually raised.

Beyond the procedure, all practices and treatments will only harvest sharp criticism from the art world that sees them as “false or deceitful price increase” in that escalating value and price do not go harmoniously with the reputation and creativity developments of the young artists in question. Especially if the “price” results from the notorious ‘frying game’ at auctions. 
The moral is obvious here: the construction or increase of the price of contemporary artwork can only prevail or be defined by means of artists’ successful solo exhibitions presented from one major gallery to another. 
Secondly, so far gallery and artist set the rules of the game and this means artists act as the controllers of the price of their own works; major galleries raise the price from the label price of the work of an artist exhibiting at the gallery, which doesn’t only mean practicing ‘the frying game’ at gallery-market but also upsetting the foundation of art as an entity of belief-based economy. 

Thirdly, despite some people’s observation that auction represents a barometer of art market, each and every gallery and artist should hold fast to the sense that what takes place in auction houses is something ACCIDENTAL (because of emotions and the ‘frying game’ involved) that should not be used as the criterion for increasing – or, worse, decreasing – the price of an artist’s work. 

Just an example:
* The price of a work, 2-to-3-meter size, by a young artist in solo exhibition at a major gallery that is IDR 250 million  = price market
* The work sold by a market player at IDR 400 million = private sale price market
* Five months later a new work by the same young artist, also 2-to-3 meters in size, is fetched from the artist’s studio through cooperation between the artist’s manager and an auction house leading to an IDR 5 billion hammer price while the auction process doesn’t find support from the floor of bidders = ‘fried’ auction price.

   But, suppose a great number from among the floor of credible bidders compete for the work in the auction to effect in an IDR 800 million, we have the so-called auction emotional price. 
In a case of an extreme auction ‘fried price’, usually the art world will validate it with major galleries or senior market players or collectors who are eyewitnesses of the event concerned. 

To conclude, price formation for artists’ works in contemporary art market ‘should not have been’ by the practice of ‘frying game’ in auctions. Instead, it should have been by submitting artworks to the test of time, and by considering artists’ reputations, journeys of artistic creativity, professional attitudes, and qualities of works shown in solo exhibitions at different major galleries. Yet this ideal regarding price validation is far from easy to materialize because it is part of the mystery of the Pandora’s box of art waiting to open. 

---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

MASALAH ( VALIDASI ) HARGA KARYA SENI RUPA KONTEMPORER
oleh hendrotan , pemilik Emmitan Contemporary Art Galeri
Tertulis tanggal, 20 Desember 2011

Goreng-menggoreng di balai lelang merupakan realitas laten yang sudah bukan rahasia lagi bagi kalangan pemain pasar seni rupa, manajer perupa, galeri dan kolektor. Serta sebagian perupa, yang diam-diam menjadi pemain dan pemasok dipasar lelang. Yang disebut belakangan, memang terasa paradoks, dan tabu untuk dibicarakan demi menjaga kepentingan pihak tertentu.  

Akibat permainan pasar yang tidak sehat, kini situasi yang berlangsung di pasar seni rupa Indonesia adalah situasi “senjakala” terang tidak, gelap pun tidak. Situasi demikian tentu amat mencemaskan bagi yang berfikir. Oleh karena itu sudah saatnya diperlukan pengertian dan kesadaran pemangku kepentingan bahwa pasar seni rupa dibangun atas kepercayaan akan karya seni rupa sebagai nilai budaya yang memiliki fungsi ekonomi yang unik. Selain itu karya seni rupa juga merupakan suatu entitas ekonomi kepercayaan (the economy of belief) yang tidak hanya berbeda, tapi juga signifikan di antara entitas-entitas ekonomi lainnya.

Dengan menempatkan kepercayaan itu di ranah praksis tentang bagaimana menetapkan harga suatu karya seni rupa, maka kita perlu memperhatikan sejumlah pertimbangan yang datang dari pengalaman dan pengetahuan galeri – galeri utama sebagai berikut.

Kesatu, harga terpantul dari mutu artistik atau kualitas karya dan ukuran karya. Perlu dipahami bahwa perihal harga berdasarkan ukuran karya itu berkait dengan perupa baru (new artists). Bagi perupa yang sudah matang (mature artists), menetapkan harga karya berdasarkan ukuran bisa jadi lebih sulit ketimbang kualitas. Dari sini, titik berangkat untuk menetapkan harga karya seorang perupa muda adalah reputasi galeri.

Pada perkembangannya, jika si perupa baru atau muda tersebut menjadi lebih terkenal karena pencapaiannya dalam bereksplorasi, maka harga karyanya dapat ditetapkan berdasarkan reputasi dan sejarah kreativitas seninya, dan yang berlaku adalah kualitas dan ukuran yang sebanding. Dengan demikian, melalui pameran tunggalnya yang kedua atau ketiga dan seterusnya, harga karya si perupa muda bisa ditingkatkan secara bertahap.

Di luar perlakuan itu hanya akan menuai kritik tajam dari medan sosial seni rupa sebagai “peningkatan harga yang bohong atau palsu”, karena nilai harganya tak sesuai dengan reputasi dan sejarah kreativitas perupa muda yang bersangkutan. Apalagi jika “harga” itu dicapai lewat praktik goreng-menggoreng di pelelangan. 

Moralnya jelas, bahwa konstruksi atau peningkatan harga karya seni rupa kontemporer ditentukan atau hanya bisa terjadi oleh keberhasilan pameran tunggal seorang perupa dari galeri utama ke galeri utama lainnya.

Kedua, selama ini galeri dan perupanya sendiri yang menetapkan aturan sebagai pelaku kontrol harga karyanya dan galeri utama menyadari menaikkan dengan menambah harga dari harga label karya seorang perupa yang sedang berpameran digalerinya sama dengan memanipulasi harga karya perupa, bukan hanya berarti mempraktikkan “penggorengan” dalam tubuh-pasar galeri, melainkan juga mencederai landasan nilai seni rupa sebagai entitas ekonomi kepercayaan. 

Ketiga, sekalipun ada yang mengatakan bahwa pelelangan merupakan barometer pasar seni rupa—namun setiap galeri dan insani perupa tetap harus berpegang teguh pada pendirian bahwa apa yang sedang berlangsung di balai lelang adalah sebuah “AKSIDEN” (baik karena emosi maupun karena goreng-menggoreng) yang tidak bisa dijadikan patokan untuk menaikkan harga—apalagi menurunkan—harga karya seniman / perupa. 

Dicontohkan :
* Harga karya perupa muda pada pameran tunggal digaleri utama 2 x 3 mt 250 jt. = harga pasar 
   galeri
* Karya perupa muda tersebut diatas diperjual belikan oleh pemain pasar maksimal laku / terjual 
   400 jt. = harga pasar private sale.
* Lima bulan kemudian karya baru perupa muda tersebut dengan ukuran sama 2 x 3 mt. keluar  
   dari studio lewat kerja sama antar manajer perupa dengan balai lelang, terjadi hammer price                
   ( harga ketok palu ) 5 milyar, sedangkan proses lelang tidak didukung oleh peserta lelang di 
   floor = harga gorengan pelelangan.

   Bilamana karya yang sama tersebut diperebutkan banyak peserta lelang ( credible bidder ) di 
   floor dan terjadi hammer price 800 jt., maka transaksi ini disebut sebagai harga emosi 
   pelelangan.

Untuk kejadian harga gorengan di pelelangan yang luar biasa, pada umumnya medan sosial seni rupa memvalidasikan harga kepada galeri utama atau pemain pasar yang senior atau kolektor yang berada di tempat kejadian perkara.

Akhirnya dapat disimpulkan bahwa pembentukan harga bagi karya Perupa dalam pasar seni rupa kontemporer “seharusnya” dilakukan bukan melalui goreng menggoreng dibalai lelang, melainkan melalui uji waktu, reputasi dan sejarah kreativitas seninya sang perupa juga catatan sikap keperupaannya dan kualitas karya-karyanya dalam pameran tunggal di pelbagai galeri utama, akan tetapi mengapa idealisasi soal validasi harga ini tidak mudah, karena ini merupakan bagian dari misteri kotak pandora seni rupa yang  nantinya akan terbuka.