Minggu, 06 Februari 2011

PARADIGMA PENDIDIKAN

PARADIKMA PENDIDIKAN MASA DEPAN

PENDAHULUAN

Selama tiga dasawarsa terakhir, dunia pendidikan Indonesia secara kuantitatif telah berkembang sangat cepat. Pada tahun 1965 jumlah sekolah dasar (SD) sebanyak 53.233 dengan jumlah murid dan guru sebesar 11.577.943 dan 274.545 telah meningkat pesat menjadi 150.921 SD dan 25.667.578 murid serta 1.158.004 guru (Pusat Informatika, Balitbang Depdikbud, 1999). Jadi dalam waktu sekitar 30 tahun jumlah SD naik sekitar 300%. Sudah barang tentu perkembangan pendidikan tersebut patut disyukuri. Namun sayangnya, perkembangan pendidikan tersebut tidak diikuti dengan peningkatan kualitas pendidikan yang sepadan. Akibatnya, muncul berbagai ketimpangan pendidikan di tengah-tengah masyarakat, termasuk yang sangat menonjol adalah: a) ketimpangan antara kualitas output pendidikan dan kualifikasi tenaga kerja yang dibutuhkan, b) ketimpangan kualitas pendidikan antar desa dan kota, antar Jawa dan luar Jawa, antar pendudukkaya dan penduduk miskin. Di samping itu, di dunia pendidikan juga muncul dua problem yang lain yang tidak dapat dipisah dari problem pendidikan yang telah disebutkan di atas.

Pertama, pendidikan cenderung menjadi sarana stratifikasi sosial. Kedua, pendidikan sistem persekolahan hanya mentransfer kepada peserta didik apa yang disebut the dead knowledge, yakni pengetahuan yang terlalu bersifat text-bookish sehingga bagaikan sudah diceraikan baik dari akar sumbernya maupun aplikasinya.

Berbagai upaya pembaharuan pendidikan telah dilaksanakan untuk meningkatkan kualitas pendidikan, tetapi sejauh ini belum menampakkan hasilnya. Mengapa kebijakan pembaharuan pendidikan di tanah air kita dapat dikatakan senantiasa gagal menjawab problem masyarakat? Sesungguhnya kegagalan berbagai bentuk pembaharuan pendidikan di tanah air kita bukan semata-mata terletak pada bentuk pembaharuan pendidikannya sendiri yang bersifat erratic, tambal sulam, melainkan lebih mendasar lagi kegagalan tersebut dikarenakan ketergantungan penentu kebijakan pendidikan pada penjelasan paradigma peranan pendidikan dalam perubahan sosial yang sudah usang. Ketergantungan ini menyebabkan adanya harapan-harapan yang tidak realistis dan tidak tepat terhadap efikasi pendidikan.

Peranan Pendidikan: Mitos atau Realitas?

Pembangunan merupakan proses yang berkesinambungan yang mencakup seluruh aspek kehidupan masyarakat, termasuk aspek sosial, ekonomi, politik dan kultural, dengan tujuan utama meningkatkan kesejahteraan warga bangsa secara keseluruhan. Dalam proses pembangunan tersebut peranan pendidikan amatlah strategis.

John C. Bock, dalam Education and Development: A Conflict Meaning (1992), mengidentifikasi peran pendidikan tersebut sebagai : a) memasyarakatkan ideologi dan nilai-nilai sosio-kultural bangsa, b) mempersiapkan tenaga kerja untuk memerangi kemiskinan, kebodohan, dan mendorong perubahan sosial, dan c) untuk meratakan kesempatan dan pendapatan. Peran yang pertama merupakan fungsi politik pendidikan dan dua peran yang lain merupakan fungsi ekonomi.

Berkaitan dengan peranan pendidikan dalam pembangunan nasional muncul dua paradigma yang menjadi kiblat bagi pengambil kebijakan dalam pengembangan kebijakan pendidikan: Paradigma Fungsional dan paradigma Sosialisasi. Paradigma fungsional melihat bahwa keterbelakangan dan kemiskinan dikarenakan masyarakat tidak mempunyai cukup penduduk yang memiliki pengetahuan, kemampuan dan sikap modern. Menurut pengalaman masyarakat di Barat, lembaga pendidikan formal sistem persekolahan merupakan lembaga utama mengembangkan pengetahuan, melatih kemampuan dan keahlian, dan menanamkan sikap modern para individu yang diperlukan dalam proses pembangunan. Bukti-bukti menunjukkan adanya kaitan yang erat antara pendidikan formal seseorang dan partisipasinya dalam pembangunan. Perkembangan lebih lanjut muncul, tesis Human lnvestmen, yang menyatakan bahwa investasi dalam diri manusia lebih menguntungkan, memiliki economic rate of return yang lebih tinggi dibandingkan dengan investasi dalam bidang fisik.

Sejalan dengan paradigma Fungsional, paradigma Sosialisasi melihat peranan pendidikan dalam pembangunan adalah: a) mengembangkan kompetensi individu, b) kompetensi yang lebih tinggi tersebut diperlukan untuk meningkatkan produktivitas, dan c) secara urnum, meningkatkan kemampuan warga masyarakat dan semakin banyaknya warga masyarakat yang memiliki kemampuan akan meningkatkan kehidupan masyarakat secara keseluruhan. Oleh karena itu, berdasarkan paradigma sosialisasi ini, pendidikan harus diperluas secara besar-besaran dan menyeluruh, kalau suatu bangsa menginginkan kemajuan.

Paradigma Fungsional dan paradigma Sosialisasi telah melahirkan pengaruh besar dalam dunia pendidikan paling tidak dalam dua hal. Pertama, telah melahirkan paradigma pendidikan yang bersifat analis-mekanistis dengan mendasarkan pada doktrin reduksionisme dan mekanistik. Reduksionisme melihat pendidikan sebagai barang yang dapat dipecah-pecah dan dipisah-pisah satu dengan yang lain. Meka Fns melihat bahwa pecahan-pecahan atau bagian-bagian tersebut memiliki keterkaitan linier fungsional, satu bagian menentukan bagian yang lain secara langsung. Akibatnya, pendidikan telah direduksi sedemikian rupa ke dalam serpihan-serpihan kecil yang satu dengan yang lain menjadi terpisah tiada hubungan, seperti, kurikulum, kredit SKS, pokok bahasan, program pengayaan, seragam, pekerjaan rumah dan latihan-latihan. Suatu sistem penilaian telah dikembangkan untuk menyesuaikan dengan serpihan-serpihan tersebut: nilai, indeks prestasi, ranking, rata-rata nilai, kepatuhan, ijazah.

Paradigma pendidikan lnput-Proses-Output, telah menjadikan sekolah bagaikan proses produksi. Murid diperlakukan bagaikan raw-input dalam suatu pabrik. Guru, kurikulum, dan fasilitas diperlakukan sebagai instrumental input. Jika raw-input dan instrumental input baik, maka akan menghasilkan proses yang baik dan akhirnya baik pula produkyang dihasilkan. Kelemahan paradigma pendidikan tersebut nampak jelas, yakni dunia pendidikan diperlakukan sebagai sistem yang bersifat mekanik yang perbaikannya bisa bersifat partial, bagian mana yang dianggap tidak baik. Sudah barang tentu asumsi tersebut jauh dari realitas dan salah. Implikasinya, sistem dan praktek pendidikan yang mendasarkan pada paradigma pendidikan yang keliru cenderung tidak akan sesuai dengan realitas. Paradigma pendidikan tersebut di atas tidak pernah melihat pendidikan sebagai suatu proses yang utuh dan bersifat organik yang merupakan bagian dari proses kehidupan masyarakat secara totalitas.

Kedua, para pengambil kebijakan pemerintah menjadikan pendidikan sebagai engine of growth, penggerak dan loko pembangunan. Sebagai penggerak pembangunan maka pendidikan harus mampu menghasilkan invention dan innovation, yang merupakan inti kekuatan pembangunan. Agar berhasil melaksanakan fungsinya, maka pendidikan harus diorganisir dalam suatu lembaga pendidikan formal sistem persekolahan, yang bersifat terpisah dan berada di atas dunia yang lain, khususnya dunia ekonomi. Bahkan pendidikan harus menjadi panutan dan penentu perkembangan dunia yang lain, khususnya, dan bukan sebaliknya perkembangan ekonomi menentukan perkembangan pendidikan. Dalam lembaga pendidikan formal inilah berbagai ide dan gagasan akan dikaji, berbagai teori akan dluji, berbagai teknik dan metode akan dikembangkan, dan tenaga kerja dengan berbagai jenis kemampuan akan dilatih.

Sesuai dengan peran pendidikan sebagai engine of growth, dan penentu bagi perkembangan masyarakat, maka bentuk sistem pendidikan yang paling tepat adalah single track dan diorganisir secara terpusat sehingga mudah diarahkan untuk kepentingan pembangunan nasional. Lewat jalur tunggal inilah lembaga pendidikan akan mampu menghasilkan berbagai tenaga kerja yang dibutuhkan oleh dunia kerja. Agar proses pendidikan efisien dan etektif, pendidikan harus disusun dalam struktur yang bersifat rigid, manajemen (bersifat sentralistis, kurikulum penuh dengan pengetahuan dan teori-teori (text bookish).

Namun, pengalaman selama ini menunjukkan, pendidikan nasional sistem persekolahan tidak bisa berperan sebagai penggerak dan loko pembangunan, bahkan Gass (1984) lewat tulisannya berjudul Education versus Qualifications menyatakan pendidikan telah menjadi penghambat pembangunan ekonomi dan teknologi, dengan munculnya berbagai kesenjangan: kultural, sosial, dan khususnya kesenjangan vokasional dalam bentuk melimpahnya pengangguran terdidik.

Berbagai problem pendidikan yang muncul tersebut di atas bersumber pada kelemahan pendidikan nasional sistem persekolahan yang sangat mendasar, sehingga tidak mungkin disempurnakan hanya lewat pembaharuan yang bersifat tambal sulam (Erratic). Pembaharuan pendidikan nasional sistem persekolahan yang mendasar dan menyeluruh harus dimulai dari mencari penjelasan baru atas paradigma peran pendidikan dalam pembangunan.

Penjelasan paradigma peranan pendidikan dalam pembangunan yang diikuti oleh para penentu kebijakan kita dewasa ini memiliki kelemahan, baik teoritis maupun metodologis. Pertama, tidak dapat diketemukan secara tepat dan pasti bagaimana proses pendidikan menyumbang pada peningkatan kemampuan individu. Memang secara mudah dapat dikatakan bahwa pendidikan formal akan mengembangkan kemampuan yang diperlukan untuk memasuki sistem teknologi produksi yang semakin kompleks. Tetapi, dalam kenyataannya, kemampuan teknologis yang diterima dari lembaga pendidikan formal tidak sesuai dengan kebutuhan yang ada. Di samping itu, adanya perubahan di bidang teknologi yang cepat, justru melahirkan apa yang disebut dengan de-skilled process, yakni dunia industri memerlukan tenaga kerja dengan keahlian yang lebih sederhana dengan jumlah tenaga kerja yang lebih sedikit.

Kedua, paradigma fungsional dan sosialisasi memiliki asumsi bahwa pendidikan sebagai penyebab dan pertumbuhan ekonomi sebagai akibat. Investasi di bidang pendidikan formal sistem persekolahan akan menentukan pembangunan ekonomi di masa mendatang. Tetapi realitas menunjukkan sebaliknya. Bukannya pendidikan muncul terlebih dahulu, kemudian akan muncul pembangunan ekonomi, melainkan bisa sebaliknya, tuntutan perluasan pendidikan terjadi sebagai akibat adanya pembangunan ekonomi dan politik. Dengan kata lain, pendidikan sistem persekolahan bukannya engine of growth, melainkan gerbong dalam pembangunan. Perkemkembangan pendidikan tergantung pada pembangunan ekonomi. Sebagai bukti, karena hasil pembangunan ekonomi tidak bisa dibagi secara merata, maka konsekuensinya kesempatan untuk mendapatkan pendidikan tidak juga bisa sama di antara berbagai kelompok masyarakat, sebagaimana terjadi dewasa ini.

Ketiga, paradigma fungsional dan sosialisasi juga memiliki asumsi bahwa pendapatan individu mencerminkan produktivitas yang bersangkutan. Secara makro upah tenaga kerja erat kaitannya dengan produktivitas. Dalam realitas asumsi ini tidak pernah terbukti. Upah dan produktivitas tidak selalu sering. Implikasinya adalah bahwa kesimpulan kajian selama ini yang selalu menunjukkan bahwa economic rate of return dan pendidikan di negara kita adalah sangat tinggi, jauh lebih tinggi dibandingkan dengan investasi di bidang lain, adalah tidak tepat, sehingga perlu dikaji kembali.

Keempat, paradigma sosialisasi hanya berhasil menjelaskan bahwa pendidikan memiliki peran mengembangkan kompetensi individual, tetapi gagal menjelaskan bagaimana pendidikan dapat meningkatkan kompetensi yang lebih tinggi untuk meningkatkan produktivitas. Secara riil pendidikan formal berhasil meningkatkan pengetahuan dan kemampuan individual yang diperlukan untuk berpartisipasi dalam kehidupan ekonomi modern. Semakin lama waktu bersekolah semakin tinggi pengetahuan dan kemampuan yang dimiliki. Namun, Randal Collins, lewat karyanya The Credential Society: An Historicaf Sosiology of Education and Stratification (1979) menentang tesis ini. Berbagai bukti tidak mendukung tesis atas tuntutan pendidikan untuk memegang suatu pekerjaan-pekerjaan tersebut. Pekerja dengan pendidikan formal yang lebih tinggi tidak harus diartikan memiliki produktivitas lebih tinggi dibandingkan dengan pekerja .yang memiliki pendidikan lebih rendah. Banyak keterampilan dan keahlian yang justru dapat banyak diperoleh sambil menjalankan pekerjaan di dunia kerja formal. Dengan kata lain, tempat bekerja bisa berfungsi sebagai lembaga pendidikan yang lebih canggih.

Paradigma Baru: Pendidikan Sistemik-Organik

Pembaharuan pendidikan nasional persekolahan harus didasarkan pada paradigma peranan pendidikan dalam pembangunan nasional yang tepat, sesuai dengan realitas masyarakat dan kultur bangsa sendiri.

Paradigma peranan pendidikan dalam pembangunan tidak bersifat linier dan unidimensional, sebagaimana dijelaskan oleh paradigma Fungsional dan Sosialisasi di atas. Melainkan, peranan pendidikan dalam pembangunan sangat kompleks dan bersifat interaksional dengan kekuatan-kekuatan pembangunan yang lain. Dalam konstelasi semacam ini, pendidikan tidak bisa lagi disebut sebagai engine of growth, sebab kemampuan dan keberhasilan lembaga pendidikan formal sangat terkait dan banyak ditentukan oleh kekuatan-kekuatan yang lain, terutama kekuatan ekonomi umumnya dan dunia kerja pada khususnya. Hal ini membawa konsekuensi bahwa lembaga pendidikan sendiri tidak bisa meramalkan jumlah dan kualifikasi tenaga kerja yang diperlukan oleh dunia kerja, sebab kebutuhan tenaga kerja baik jumlah dan kualifikasi yang diperlukan berubah dengan cepat sejalan kecepatan perubahan ekonomi dan masyarakat.

Paradigma peran pendidikan dalam pembangunan yang bersifat kompleks dan interaktif, melahirkan paradigma pendidikan Sistemik-Organik dengan mendasarkan pada dokrin ekspansionisme dan teleologi. Ekspansionisme merupakan doktrin yang menekankan bahwa segala obyek, peristiwa dan pengalaman merupakan bagian-bagian yang tidak terpisahkan dari suatu keseluruhan yang utuh. Suatu bagian hanya akan memiliki makna kalau dilihat dan dikaitkan dengan keutuhan totalitas, sebab keutuhan bukan sekedar kumpulan dari bagian-bagian. Keutuhan satu dengan yang lain berinteraksi dalam sistem terbuka, karena jawaban suatu problem muncul dalam suatu kesempatan berikutnya.

Paradigma pendidikan Sistemik-Organik menekankan bahwa proses pendidikan formal sistem persekolahan harus memiliki ciri-ciri sebagai berikut: 1) Pendidikan lebih menekankan pada proses pembelajaran (learning) dari pada mengajar (teaching), 2) Pendidikan diorganisir dalam suatu struktur yang fleksibel; 3) Pendidikan memperlakukan peserta didik sebagai individu yang memiliki karakteristik khusus dan mandiri, dan, 4) Pendidikan merupakan proses yang berkesinambungan dan senantiasa berinteraksi dengan lingkungan.

Paradigma pendidikan Sistemik-Organik menuntut pendidikan bersifat double tracks. Artinya, pendidikan sebagai suatu proses tidak bisa dilepaskan dari perkembangan dan dinamika masyarakatnya. Dunia pendidikan senantiasa mengkaitkan proses pendidikan dengan masyarakatnya pada umumnya, dan dunia kerja pada khususnya. Keterkaitan ini memiliki arti bahwa prestasi peserta didik tidak hanya ditentukan oleh apa yang mereka lakukan di lingkungan sekolah, melainkan prestasi perserta didik juga ditentukan oleh apa yang mereka kerjakan di dunia kerja dan di masyarakat pada umumnya. Dengan kata lain, pendidikan yang bersifat double tracks menekankan bahwa untuk mengembangkan pengetahuan umum dan spesifik harus melalui kombinasi yang strukturnya terpadu antara tempat kerja, pelatihan dan pendidikan formal sistem persekolahan.

Dengan double tracks ini sistem pendidikan akan mampu menghasilkan lulusan yang memiliki kemampuan dan fleksibilitas yang tinggi untuk menyesuaikan dengan tuntutan pembangunan yang senantiasa berubah dengan cepat.

Berbagai problem yang muncul di masyarakat, khususnya ketimpangan antara kualitas pendidikan dan kualifikasi tenaga kerja yang dibutuhkan oleh dunia kerja merupakan refleksi adanya kelemahan yang mendasar dalam dunia pendidikan kita. Setiap upaya untuk memperbaharui pendidikan akan sia-sia, kecuali menyentuh akar filosofis dan teori pendidikan. Yakni, pendidikan tidak bisa dilihat sebagai suatu dunia tersendiri, melainkan pendidikan harus dipandang dan diberlakukan sebagai bagian dari masyarakatnya. Oleh karena itu, proses pendidikan harus memiliki keterkaitan dan kesepadanan secara mendasar serta berkesinambungan dengan proses yang berlangsung di dunia kerja.

Buku ini terdiri atas tiga bab. Bab I membahas pendidikan dari perspektif teori, dimulai dari pembahasan sistem pendidikan di dua negara: Jepang dan Amerika Serikat. Meskipun pendidikan Jepang pada awalnya merupakan "pinjaman" dari Amerika Serikat, tetapi pada bentuk akhir yang dipakai sampai saat ini ternyata berbeda. Perbandingan dua sistem pendidikan ini mewakili dua kutub: Pendidikan modern yang diwakili oleh pendidikan Amerika Serikat dan pendidikan yang konservatif yang diwakili oleh sistem pendidikan Jepang.

Tulisan kedua, membahas bagaimana kualitas pendidikan berkaitan erat dengan motivasi orang yang bekerja di dunia pendidikan. Motivasi, dari kacamata ekonomi hanya akan muncul apabila ada persaingan. Oleh karena itu, kebijakan pendidikan harus merangsang munculnya kompetisi di dunia pendidikan. Langkah strategis dalam mewujudkan kompetisi adalah kebijakan desentralisasi pendidikan. Desentralisasi, diduga akan erat berkaitan dengan keberhasilan peningkatan mutu sekolah. Sebab, desentralisasi akan menimbulkan dorongan dari sekolah sendiri untuk maju sebagai dampak dari kepercayaan yang mereka peroleh.



Sudah barang tentu, desentralisasi yang memberikan otonomi lebih luas bagi sekolah diharapkan akan merubah pula aktivitas pada level kelas. Artinya, proses belajar mengajar juga harus berubah; paradigma baru mengajar harus dilahirkan, sebagaimana di bahas pada sub bab 4. Perubahan pada level kelas bisa saja merupakan konsekuensi dari perubahan yang terjadi pada level sekolah. Sub bab 5, memmembahas bagaimana perubahan yang harus dikembangkan pada level sekolah.

Pada Bab 2 dibahas bagaimana pentingnya peran guru. Peran guru tidak bisa lepas dari karakteristik pekerja profesional. Artinya, pekerjaan guru akan dapat dilakukan dengan baik dan benar apabila seseorang telah melewati suatu proses pendidikan yang dirancang untuk itu. Sebagai suatu pekerjaan profesional, sudah barang tentu kemampuan guru harus secara terus-menerus ditingkatkan. Meski andai kata tidakpun guru tetap akan dapat melaksanakan tugas memenuhi standar minimal. Pada bab ini antara lain dibahas upaya peningkatan mutu guru dengan mendasarkan pada kemauan dan usaha para guru sendiri. Artinya, guru tidak harus didikte dan diberi berbagai arahan dan instruksi. Yang penting adalah perlu disusun standar profesional guru 'yang akan dijadikan acuan pengembangan mutu guru dan pembinaan guru diarahkan pada sosok guru pada era globalisasi ini. Sosok guru ini penting karena guru merupakan salah satu bentuk soft profession bukannya hard profession seperti dokter atau insinyur. Sudah barang tentu pendidikan dan pembinaan guru akan berbeda dengan dokter atau insinyur. Karena hakekat kerja dua bentuk profesi tersebut berbeda. Bab 2 diakhiri dengan bahasan tentang tantangan guru pada era globalisasi yang kita jelang. Berbagai perubahan akan terjadi baik teknologi, ekonomi, sosial, dan budaya. Guru tidak mungkin menisbikan adanya berbagai perubahan tersebut. Guru harus mengembangkan langkah-langkah proaktif untuk menghadapi berbagai perubahan.



Bab 3 menyajikan bahasan untuk mencari pendidikan yang berwajah Indonesia. Dimulai dari pembahasan tentang suatu pernyataan hipotetis bahwa berbagai persoalan di masyarakat seperti pengangguran, tidak dapat dilepaskan dari keberadaan sistem pendidikan yang tidak "pas" dengan budaya Indonesia. Untuk menemukan pendidikan yang berakar budaya bangsa perlu dilaksanakan penajaman penelitian pendidikan. Namun dalam mencari pendidikan yang berakar pada budaya bangsa tidak berarti bahwa pendidikan harus bersifat ekslusif. Hal ini bertentangan dengan realitas globalisasi. Oleh karena itu, pencarian pendidikan yang berakar pada budaya bangsa harus pula memahami globalisasi yang dapat dikaji berdasarakan perspektif kurikuler dan perspektif reformasi. Bagaimana tantangan pendidikan yang harus dihadapi dimasa depan dibahas pula pada bab ini. Tantangan yang mendasar adalah bagaimana dapat melakukan reformasi pendidikan yang pada akhirnya dapat mempengaruhi level kelas. Sejalan dengan upaya menemukan pendidikan yang berwajah Indonesia yang bermutu, kemampuan guru, kemauan guru dan kesejahteraan guru mutlak harus ditingkatkan. Upaya ini, jelas, bukan hal yang mudah tetapi sekaligus menantang. Sebab, guru di masa depan akan menghadapi persoalan-persoalan yang berbeda dengan di masa sekarang. Sosok guru di masa depan harus mulai dipikirkan. Pada prinsipnya tugas guru adalah mengimplementasikan kurikulum dalam level kelas. Kurikulum bagaikan paru-paru pendidikan, kalau baik paru-parunya baik pulalah tubuhnya. Dibahas pula tentang bagaimana seharusnya kurikulum dikembangkan. Dua landasan kurikulum adalah apa kata hasil-hasil penelitian tentang otak dan apa yang dibutuhkan oleh dunia kerja khususnya dan masyarakat pada umumnya. Selanjutnya, dibahas permasalahan ketimpangan dalam ruang-ruang kelas yang berujud prestasi siswa. Memang, ketimpangan pendidikan tidak bisa dilepaskan dari ketimpangan sosial ekonomi keluarga. Secara konkret pada level kelas harus dikembangkan kebijakan untuk mengurangi ketimpangan tersebut. Cooperative Learning Model diharapkan akan dapat mempersempit ketimpangan prestasi siswa. Prestasi siswa memang tidak hanya ditentukan oleh kemampuan mengajar guru semata. Kultur sekolah oleh berbagai penelitian dipastikan ikut memegang peran penting. Oleh karena itu, dalam bab ini secara khusus dibahas masalah kultur sekolah dan bagaimana pembentukan serta peran kepala sekolah. Dan sudah barang tentu, kualitas pendidikan tidak hanya dapat diartikan pencapaian prestasi akademik semata, untuk itu perlu dibahas tentang prestasi atau hasil pendidikan yang utuh. Buku ini diakhiri dengan bahasan tentang bagaimana reformasi pendidikan harus dilaksanakan.

BAB I
WACANA SEPUTAR PENDIDIKAN
1.1. Perbandingan sistem pendidikan tradisional dengan modern

(Kajian Sistem Pendidikan di Negara Jepang dan Amerika)



Jepang membuat kejutan baru. Kali ini berkaitan dengan sistem dan prestasi di bidang pendidikan. Banyak pengamat pendidikan dan pembangunan di Amerika Serikat melihat bagaimana sistem pendidikan di Jepang telah berhasil mencetak tenaga kerja dengan semangat, motivasi dan watak yang "pas" bagi pembangunan. Sebagai suatu masyarakat yang sepenuhnya mengakui peran pendidikan dalam pembangunan, para ahli di A.S. mulai menengok sistem pendidikan di Jepang, sekaligus mengevaluasi sistem pendidikan di,A.S. sendiri. Maka dibentuklah team Jepang dan A.S. yang bertugas untuk mengevaluasi pertemuan antara Reagan dan Nakasone pada tahun 1983. Pada tanggal 4 Januari tahun 1987, secara serentak di kedua lbu Kota negara diumumkan hasil kerja team tersebut.



Team Amerika Serikat mengumumkan 128 halaman laporan yang oleh seorang pejabat di kantor pendidikan di Washington disebut sebagai suatu potret sistem pendidikan yang canggih. Dalam laporan tersebut, sebagaimana dikutip oleh Newsweek, 12 Januari 1987, dikemukakan bahwa murid-murid di Jepang diperkirakan mempunyai IQ yang tinggi, buta huruf sudah tidak dikenal lagi. Di samping itu berdasarkan tes yang telah distandardisir secara internasional ternyata murid-murid SMA di Jepang memiliki skore di bidang matematik dan sain lebih tinggi dari pada murid-murid SMA di A.S. Tambahan lagi, penelitian ini mempertebal keyakinan para pengamat bahwa pendidikan di Jepang telah memainkan peran yang penting dan sangat menentukan dalam pembangunan ekonomi negara pada dua puluh lima tahun terakhir ini.



A. Antara Menghafal dan Berfikir



Dimana letak kehebatan sistem pendidikan di Jepang ? Para ahli dan pengamat pendidikan boleh kecewa. Ternyata sistem pendidikan Jepang, kalau dilihat dengan kacamata teori pendidikan barat, bisa dikategorikan sebagai suatu sistem pendidikan tradisional. Pemerintah pusat memegang kontrol pendidikan, termasuk menentukan kurikulum yang berlaku secara nasional baik bagi sekolah negeri ataupun sekolah swasta. Pengajaran menekankan hafalan dan daya ingat untuk menguasai materi pelajaran yang diberikan. Materi pelajaran diarahkan agar murid bisa lulus ujian akhir atau test masuk ke sekolah lebih tinggi, tidak mengembangkan daya kritis dan kemandirian murid. Semua murid diperlakukan sama, tidak ada treatment khusus untuk murid yang tertinggal.



Sekolah menekankan pada diri murid sikap hormat dan patuh kepada guru dan sekolah. Dengan singkat sistem pendidikan Jepang dapat dikatakan suatu sistem pendidikan yang "kaku, seragam dan tiada pilihan bagi anak didik". Di fihak lain, sebanyak 78 halaman laporan team Jepang antara lain menyatakan pujiannya atas fleksibilitas sistem pendidikan Amerika Serikat. Di samping itu, juga disebut dan bahwa meski anak didik di Jepang memiliki prestasi lebih tinggi dari pada prestasi anak Amerika, namun hal itu dicapai dengan pengorbanan yang tidak ringan. Antara lain murid-murid di Jepang tidak bisa "menikmati" enaknya sekolah.



Sebab dari waktu ke waktu anak didik di Jepang dikejar-kejar oleh pekerjaan rumah, ulangan dan ujian. Hasilnya murid-murid Amerika lebih independent dan innovative dalam berfikir, dan juga sudah barang tentu lebih bahagia dibandingkan dengan anak-anak didik di Jepang. Namun demikian, kuranglah tepat kalau secara tegas ditarik kesimpulan bahwa sistem pendidikan yang menekankan disiplin dan hafalan serta daya ingat sebagaimana yang diterapkan di Jepang lebih hebat dari pada sistem pendidikan yang menekankan kebebasan, kemandirian dan kreatifitas individual sebagaimana yang diterapkan di Amerika Serikat.



Dibalik sistem pendidikan di Jepang yang kaku dan seragam tersebut sebenarnya ada beberapa hal yang patut dicatat. Pertama, dengan menegakkan disiplin patuh terhadap guru dan sekolah menyebabkan anak didik di Jepang secara riil menggunakan waktu sekolah lebih besar dari pada anak-anak sekolah di Amerika Serikat. Kedua, sistem pendidikan di Jepang telah berhasil melibatkan orang tua anak didik dalam pendidikan anak-anaknya. lbu, khususnya senantiasa memperhatikan, memberikan pengawasan dan bantuan belajar kepada anak-anaknya. Tambahan lagi, lbu-ibu ini terus secara berkesinambungan membuat kontak dengan para guru. Ketiga, di luar sekolah berkembang kursus-kursus yang membantu anak didik untuk mempersiapkan ujian atau mendalami mata pelajaran yang dirasa kurang. Keempat, status guru dihargai dan gaji guru relatif tinggi. Hal ini mengakibatkan pekerjaan guru mempunyai daya tarik.



Di fihak lain, pendidikan di Amerika tidaklah sebagaimana digambarkan orang, dimana anak didik mempunyai kesempatan yang luas untuk mengembangkan kreatifitasnya. Penelitian nasional yang dilakukan oleh Goodlad yang kemudian diterbitkan menjadi buku yang berjudul "A Place called school" ternyata menunjukkan sesuatu yang lain. Antara lain disebutkan ternyata hanya sekitar 5 % dari waktu jam pelajaran yang digunakan untuk berdiskusi. Sebagian besar waktu, sekitar 25 % untuk mendengarkan keterangan guru, sekitar 17 % waktu untuk mencatat dan sisa waktu yang lain untuk praktek, mempersiapkan pekerjaan dan test. Jadi dengan kata lain, sistem pendidikan di Amerika tidak sepenuhnya berjalan sebagaimana dicita-citakan para ahli.



B. Kiblat Pendidikan



Membaca laporan kedua team di atas, setidak-tidaknya memberikan nuansa baru. Yakni bahwa sistem pendidikan untuk suatu bangsa harus sesuai dengan falsafah dan budayanya sendiri. Mengambil alih suatu sistem atau gagasan dibidang pendidikan dari bangsa lain harus dikaji penerapannya dengan latar belakang budaya yang ada. Sebagai contoh, sekarang ini dunia pendidikan Indonesia sedang dilanda semangat untuk mengetrapkan sistem pengajaran yang menekankan "proses", dengan metode pengajaran yang disebut "Inquiry Teaching Method". Metode ini sangat ampuh untuk meningkatkan critical thinking anak didik. Tapi dalam praktek metode ini sulit untuk bisa diterapkan di kelas kelas di Indonesia. Mengapa ? Sebab metode ini menuntut adanya suasana yang bebas di kelas dan anak didik memiliki semangat untuk mencari kebenaran dan keberanian untuk mengutarakan gagasannya. Dan hal ini yang belum dimiliki oleh kelas-kelas dinegara kita. Oleh karena itu gagasan menerapkan metode inquiry perlu didahului mengembangkan kondisi-kondisi yang diperlukan. Misalnya dengan mulai menerapkan di tingkat sekolah dasar kelas satu. Atau, malahan sebaliknya, lebih baik memantapkan pelaksanaan pengajaran dengan metode yang sudah dikenal tetapi sebenarnya belum dilaksanakan sebagaimana mestinya. Sebagaimana yang pernah penulis temui pada suatu pertemuan dengan guru-guru sekolah menengah yang menyatakan "Apakah tidak sebaiknya kita mencoba untuk mengembangkan bagaimana cara mengajarkan dengan metode ceramah yang efektif, dari pada menggunakan metode baru yang masih sangat asing ?" Nampaknya, kiblat pendidikan tidak hanya Amerika Serikat, kita perlu berkiblat juga ke Jepang dalam rangka menyusun dan mengembangkan sistem pendidikan yang cocok dengan falsafah dan budaya Indonesia.

1.2. Konsep Pendidikan Desentralisasi, dan De-Berlinisasi



Persoalan yang kini dihadapi oleh banyak negara, termasuk Indonesia, adalah bagaimana meningkatkan kualitas pendidikan. Kualitas pendidikan umumnya dikaitkan dengan tinggi rendahnya prestasi yang ditunjukkan dengan kemampuan siswa mencapai skore dalam tes dan kemampuan lulusan mendapatkan dan melaksanakan pekerjaan. Kualitas pendidikan ini dianggap penting karena sangat menentukan gerak laju pembangunan di negara manapun juga. Oleh karenanya, hampir semua negara di dunia menghadapi tantangan untuk melaksanakan pembaharuan pendidikan sebagai upaya untuk meningkatkan kualitas pendidikan.



A. Desentralisasi



Untuk meningkatkan kualitas pendidikan di Amerika Serikat, Friedman ekonom yang pernah menjabat sebagai penasehat ekonomi Reagan menyarankan agar sekolah-sekolah negeri dihapuskan sebab sumber dari rendahnya mutu pendidikan pada dasarnya adalah sekolah negeri itu sendiri yang keberadaannya sangat tergantung kepada anggota Pemerintah sehingga motivasi untuk mencapai prestasi pendidikan pada sekolah-sekolah negeri tersebut rendahnya. Sebagai ganti sistem sekolah negeri, pemerintah mengembangkan sistem "voucher", yakni pemerintah memberikan bantuan pendidikan kepada masyarakat dengan memberikan voucher, dimana pemegang voucher dapat memilih sekolah yang diinginkan. Sekolah pada gilirannya akan menukar voucher dengan uang kepada pemerintah. Dengan system voucher ini akan terjadi kompetisi di antara sekolah-sekolah. Sekolah yang bermutu tinggi akan banyak mendapatkan uang. Dan sebaliknya sekolah yang bermutu rendah akan miskin muridnya, miskin voucher yang berarti miskin uang. Lebih lanjut, karena sebagian besar keuangan sekolah bersumber dari voucher ini, maka sekolah yang tidak laku akan gulung tikar secara alamiah. Sekolah yang bisa terus hidup adalah sekolah yang bermutu tinggi. Sudah barang tentu sebagai ekonom yang terkenal berpandangan liberal, ide Friedman tentang voucher ini bersumberkan dari ide "free fight competition". Dari ide voucher ini nampak jelas bahwa sekolah harus diorganisir dengan desentralisasi, malahan sangat ekstrim, masing-masing sekolah mempunyai kemandirian dalam melaksanakan pendidikan.



Ide yang berkembang di Sovyet pada hakekatnya tidak jauh dengan ide Friedman di atas. Untuk meningkatkan pembangunan masyarakat sosialis di Uni Sovyet sistem pendidikan negara yang bersangkutan diusulkan untuk diperbaharui. Yegor Ligachev, orang nomor dua di Sovyet setelah Mikhail Gorbachev, menilai bahwa mutu pendidikan di negara "beruang merah" tersebut tidak lagi sepenuhnya sejalan dengan perkembangan yang ada. Artinya, sistem pendidikan yang ada tidak bisa lagi berperan secara maksimal sebagaimana yang diharapkan. Oleh karenanya, Ligachev mengusulkan terdapat usaha yang terus menerus untuk meningkatkan kualitas pendidikan.



Tetapi, boleh juga dipertanyakan, betulkah adanya desentralisasi akan meningkatkan kualitas pendidikan di negara kita? Tidaklah mudah menjawab pertanyaan tersebut. Hal ini dikarenakan, pertama kebijaksanaan desentralisasi memerlukan pelaksana-pelaksana yang bertanggungjawab, inovatif, kreatif, dan berjiwa mandiri. Karena pengalaman dibawah sistem pendidikan sentralisasi yang cukup lama dan berlebihan, maka pelaksanaan pendidikan dengan sifat-sifat di atas tidak banyak. pelaksanaan pendidikan kita sudah terbiasa dengan instruksi, juklak dan dan juknis. Sehingga adanya kebijaksanaan desentralisasi setidak-tidaknya untuk waktu tertentu akan menimbulkan kemandegan dalam dunia pendidikan. Kedua, desentratisasi mungkin bisa untuk meningkatkan kualitas pendidikan dalam arti meningkatkan penguasaan anak atas mata pelajaran yang diberikan sebagaimana ditunjukkan oleh skore tes, tetapi desentralisasi belum merupakan jaminan bisa ditingkatkan eksternal effisiensi, dalam arti lulusan sekotah bisa mendapatkan dan melakukan pekerjaan sebagaimana seharusnya.



B. De-berlinisasi



Apabila disebut Berlin, maka gambaran yang ada pada benak kita adalah hadirnya suatu tembok yang kokoh dan kuat yang berada di Jerman. Tembok tersebut betul-betul memisahkan Berlin bagian barat dan Berlin bagian timur secara total. Tembok yang kokoh kuat sebagaimana tembok Berlin tersebut muncul dan memisahkan "dunia pendidikan''.di satu fihak dan "dunia kerja" di fihak lain. Adanya tembok pemisah tersebut menjadikan adanya kesenjangan antara kedua dunia tersebut. Akibatnya, hubungan antara dunia pendidikan dan dunia kerja tidak harmonis. Kemajuan yang terjadi di dunia kerja tidak bisa cepat disadap oleh dunia pendidikan. Akibatnya, apa yang dihasilkan dunia pendidikan tidak cocok dengan kebutuhan dunia kerja. Dan, adanya pengangguran bersamaan kekurangan tenaga kerja di dunia kerja tidak bisa dielakkan lagi.



Penghilangan tembok pemisah antara dunia kerja dan dunia pendidikan atau deberlinisasi ini sangat diperlukan untuk melengkapi desentralisasi. Sebab desentralisasi hanya akan meningkatkan kualitas pendidikan dalam arti meningkatkan penguasaan pelajaran, tetapi bukan meningkatkan kemampuan bekerja. De-berlinisasi berarti memberikan kesempatan orang-orang dari dunia pendidikan untuk mendapatkan sesuatu yang riil dari dunia kerja, sebaliknya orang-orang dari dunia kerja bisa mendapatkan informasi- informasi dari dunia pendidikan yang dapat digunakan untuk meningkatkan produktivitas dunia kerja. Pelaksanaan deberlinisasi dalam ujud konkret dapat dilakukan dengan memberikan kesempatan yang luas dan mudah orang-orang dari dunia pendidikan untuk praktek kerja, observasi dan magang di dunia kerja. Demikian pula, tenaga-tenaga ahli dari dunia kerja diajak untuk mengembangkan kurikulum, pendidikan, bahkan sudah masanya mereka ini diundang masuk ke dunia pendidikan. Hal ini dapat dilakukan di mana dunia kerja menyumbangkan tenaga ahli yang berpengalaman untuk pada waktu tertentu menjadi staf pengajar luar biasa di lembaga pendidikan. Kehadiran tenaga dari dunia kerja ini tidak hanya akan menjadikan apa yang disampaikan sangat menarik sehingga meningkat aspek kognitif mahasiswa atau siswa, tetapi yang lebih penting lagi, kehadirannya akan membawa semangat dan mentalitas dunia kerja ke dalam dunia pendidikan.



Nampaknya usaha peningkatan kualitas pendidikan sangat besar perannya bagi peningkatan pembangunan bangsa. Dan peningkatan kualitas tidak cukup hanya dengan kebijaksanaan desentralisasi di bidang pendidikan, tetapi harus juga diiringi dengan penjebolan tembok pemisah antara dunia pendidikan dan dunia kerja

1.3. Restrukturisasi Pendidikan



Pada hakekatnya, struktur dan mekanisme praktek pendidikan yang tengah kita laksanakan berdasarkan pada pembaharuan pendidikan yang lahir di Amerika Serikat pada tahun 50-an yang hanya menitikberatkan pada metode agar siswa menguasai basic skills dan mata pelajaran yang diajarkan. Struktur dan mekanisme praktik pendidikan tersebut dalam implementasinya di negara-negara sedang berkembang menghasilkan suatu sistem pendidikan yang tidak sensitive terhadap ide-ide baru dan perkembangan masyarakat, khususnya perkembangan dunia kerja. Seperti, pendidikan mengabaikan ide-ide baru tentang peran pendidikan dalam masyarakat yang berubah atau era globalisasi sistem pendidikan mengabaikan hakekat peserta didik sebagai individu yang memiliki karakteristik tertentu, pendidikan mengabaikan adanya kecenderungan perkembangan demokrasi dari demokrasi formal ke arah demokrasi substansial.



Ditinjau berdasarkan paradigma pendidikan: lnput-Proses-Output, struktur dan mekanisme praktik pendidikan yang dilaksanakan tersebut terlalu menekankan aspek proses. Hal ini tidak aneh karena pengambil kebijaksanaan mendasarkan pada premis bahwa kalau proses berjalan dengan baik secara otomatis akan menghasilkan output yang berkualitas. Oleh karena itu, kebijaksanaan yang diputuskan adalah mengatur proses dengan mengembangkan kebijakan agar para guru dapat dan harus melaksanakan perilaku sebagaimana yang telah ditentukan sehingga proses dapat berjalan sebagaimana yang telah dirancang dan diyakini akan menghasilkan output yang berkualitas. Para pengambil kebijaksanaan tidak pernah membayangkan atau tidak mau tahu bahwa proses pendidikan tidak dapat diseragamkan. Terlalu banyak variasi yang tidak memungkinkan seragamisasi proses pendidikan tersebut.



A. “Teaching Vs Learningâ€Â



Struktur dan mekanisme praktik pendidikan yang terlalu menekankan pada proses melahirkan proses pendidikan lebih sebagai "proses pengajaran oleh guru" (teacher teaching) dibandingkan yang seharusnya sebagai "proses pembelajaran oleh murid" (student learning). Guru harus melaksanakan tugas dengan metode yang telah ditentukan sebagaimana "petunjuk dari atas", terlepas guru suka atau tidak terhadap perilaku tersebut, cocok atau tidaknya metode tersebut dengan materi yang harus disampaikan di depan peserta didik. Guru harus menggunakan metode tersebut karena suatu "perintah" atasan. Oleh karena itu, muncullah robot- robot yang mengajarkan di kelas (robotic teacher). Konsekuensi lebih lanjut adalah muncul iklim sekolah yang cenderung bersifat otoriter. lklim yang tidak demokratis ini menyebabkan proses sekolah menjadi statis dan beku serta menimbulkan efek destruktif pada "keingintahuan, kepercayaan diri, kreatifitas, kebebasan berfikir, dan self-respect" di kalangan peserta didik. Sudah barang tentu struktur dan mekanisme praktik pendidikan sebagaimana tersebut di atas tidak akan sanggup menghadapi masyarakat dan bangsanya. Oleh karena itu, restrukturisasi dan deregulasi pendidikan merupakan tunututan yang perlu segera dilaksanakan agar pendidikan bisa berperan secara maksimal dalam menghadapi tantangan pembangunan nasional, di masa kini dan di masa mendatang.



C. Kebebasan dan Otonomi



Restrukturisasi dan deregulasi pendidikan yang diperlukan adalah mencakup empat aspek: a). Orientasi pembelajaran siswa, b). Profesionalitas guru, c). Accountability sekolah, dan d). Partisipasi orang tua peserta didik dan masyarakat sekitar dalam penyelenggaraan pendidikan. Dilihat dari paradigma pendidikan, Input-Proses-Output, tiga aspek pertama menyangkut aspek input dan aspek keempat menyangkut output. Dengan demikian, restrukturisasi dan deregulasi pendidikan lebih mengarah pada pembenahan aspek input daripada aspek proses. Secara spesifik restrukturisasi dan deregulasi pendidikan ditujukan untuk meningkatkan komitmen dan kompetensi guru dan murid untuk mencapai prestasi setinggi mungkin.



Komitmen dan kompetensi guru diharapkan terutama adalah bahwa guru harus memiliki pemahaman yang mendalam atas materi yang akan disampaikan (Depth of Understanding) dan mampu menyampaikan materi dengan penuh kreatifitas dan improvisasi yang orisinil, sehingga proses belajar mengajar terasa segar dan alami (authentic learning).



Sudah barang tentu komitmen dan kompetensi guru semacam itu banyak dipengaruhi proses yang terjadi pada pre-service training pada lembaga pendidikan guru. Oleh karena itu, kebijakan yang perlu dikembangkan pada pasca proses pendidikan guru adalah mengembangkan kemandirian guru dan memberikan otonomi serta kebebasan yang lebih luas pada sekolah dan guru. Sebagai pekerja profesional dan orang yang paling tahu keadaan peserta didik dan lingkungannya, guru harus diberikan kebebasan penuh dalam menjalankan tugas. lnstruksi, pengarahan, dan petunjuk dari atas perlu direduksir semaksimal mungkin.



Kalau guru mendapatkan otonomi dan kepercayaan penuh mereka akan memiliki rasa tanggung jawab yang lebih besar dalam mencapai keberhasilan pendidikan. Demikian juga, otonomi ini akan memungkinkan guru mempergunakan kemampuan dan pengalaman profesional yang mereka miliki secara penuh dalam proses belajar mengajar. Dengan otonomi dan kebebasan dalam menjalankan proses pembelajaran (learning process), guru akan lebih berhasil dibandingkan kalau guru hanya terpaku pada petunjuk dan pengerahan teknik dari birokrat kantoran (the office level bereucrat) yang dalam banyak hal tidak praktis dan terlalu teoritis. Demikian pula dengan adanya otonomi dan kebebasan yang dimiliki sekolah, guru memiliki lebih banyak kesempatan untuk merencanakan kerja sama di sekolah, mengarahkan peserta didik agar lebih banyak individual atau kelompok kecil dibandingkan dalam proses belajar mengajar kelompok besar dan dari itu sekolah akan dapat diciptakan sebagai dunianya peserta didik sendiri.



D. Partisipasi Masyarakat



Dibalik otonomi dan kebebasan yang dimiliki, kepada guru diberikan target yang harus dicapai sebagai standar keberhasilan. Sudah barang tentu target tersebut adalah keberhasilan untuk semua peserta didik tanpa membedakan latar belakang sosial ekonomi yang dimiliki, mencapai prestasi pada tingkat tertentu. Target bisa dikembangkan pada berbagai skop sekolah. Dengan adanya target sebagai standar, masyarakat bisa ikut mengevaluasi seberapa jauh keberhasilan sekolah dalam mencapai tujuan.



Terbukanya kesempatan bagi masyarakat dan orangtua peserta didik untuk mengevaluasi proses pendidikan, memungkinkan munculnya partisipasi masyarakat sekitar dan khususnya orangtua peserta didik dalam menyelenggarakan pendidikan. Misalnya, sekolah bisa mengundang orangtua dan masyarakat sekitar untuk berpartisipasi dalam menentukan kebijakan dan operasionalisasi kegiatan sekolah. Orangtua dan masyarakat sekitar yang mampu bisa diajak untuk berpartisipasi dalam pembiayaan pendidikan. Dengan demikian, pada level makro, secara nasional bisa dilaksanakan realokasi anggaran pembangunan pendidikan. Anggaran pendidikan pemerintah yang terbatas hanya diarahkan pada sekolah-sekolah yang memiliki peserta didik dengan latar belakang yang kurang mampu. Sedangkan bagi sekolah-sekolah yang peserta didiknya terdiri dari orangtua berlatar belakang sosial ekonomi relatif kaya, diharapkan bisa self-supporting dalam pembiayaan sekolah.



Bahkan tidak hanya masyarakat sekitar, karena target dan standar yang harus memiliki skop regional dan daerah, maka pemerintah daerah akan secara langsung terlibat dalam menyukseskan pendidikan di wilayah masing-masing. Diharapkan pemerintah setempat bisa mengeluarkan berbagai kebijakan yang mendukung pencapaian target pendidikan tersebut. Misalnya, pemerintah kelurahan menetapkan "jam belajar" bagi anak usia tertentu. Pada jam-jam tersebut anak-anak tidak boleh bermain. Dengan kata lain pelayanan kemasyarakatan perlu dikaitkan dengan proses pendidikan.



Kepada setiap sekolah dan guru diberikan kebebasan apa yang harus dilakukan dalam proses pembelajaran. Yang penting adalah pencapaian target yang telah ditentukan, dengan kata lain proses pendidikan bersifat product oriented, berlawanan process oriented, yang dilakukan sekarang ini. Untuk mencapai target yang telah ditentukan kepada guru perlu diberikan insentif dan sekaligus sanksi. Insentif diberikan kepada guru yang berhasil melampaui target yang telah ditentukan. Sebaliknya, sanksi diberikan kepada guru yang melakukan tindak kecurangan, misalnya mengubah, menambah atau memalsu nilai hasil pembelajaran peserta didik.

1.4. Paradigma Baru Pengajaran



Selama masih ada kesenjangan antara hasil pendidikan dengan kebutuhan tenaga kerja, ada kesenjangan harapan akan prestasi yang ada, selama itu pula problema pendidikan senantiasa dibicarakan dan gaung tuntutan pembaharuan pendidikan akan terus bergema. Ada dua pendekatan yang dapat digunakan membedah problem kependidikan: macrocosmic dan microcosmic. Macrocosmic merupakan pendekatan yang bersifat makro, di mana proses pendidikan dianalisis dalam kerangka yang lebih luas. Dalam arti, proses pendidikan harus dianalisis dalam kaitannya dengan proses di bidang lain. Sebab proses pendidikan tidak bisa dipisahkan dari lingkungan, baik politik, ekonomi, agama, budaya, dan sebagainya. Oleh karenanya pendekatan ini menekankan bahwa usaha-usaha memecahkan problema di bidang pendidikan tidak ada artinya kalau tidak dikaitkan dengan perbaikan dan penyesuaian di bidang lain.



Pendekatan microcosmic melihat pendidikan sebagai suatu kesatuan unit yang hidup di mana terdapat interaksi di dalam dirinya sendiri. interaksi yang terjadi tersebut berupa proses belajar mengajar yang terdapat di kelas. Pendekatan ini memandang interaksi guru dan murid merupakan faktor pokok dalam pendidikan. Oleh karenanya, menurut pendekatan mikro ini, perbaikan kualitas pendidikan hanya akan berhasil kalau ada perbaikan proses belajar mengajar atau perbaikan dalam bidang keguruan.



A. Paradigma ilmu keguruan



Proses belajar mengajar di mana interaksi murid-guru dilaksanakan secara sadar untuk mencapai tujuan tertentu yang telah ditargetkan disebut sebagai ilmu keguruan. Ilmu ini bisa diklasifikasi sebagai bagian dari ilmu kependidikan. Ilmu keguruan memiliki paradigma yang berkaitan dengan pertanyaan apa dan siapa murid ?, apa dan siapa guru, apa fungsi guru? apa materi pengajaran itu?, ke mana anak akan dibawa?, apa indikator keberhasilan anak didik? bagaimana mengevaluasi keberhasilan tersebut?



Ilmu keguruan yang berkembang dan dipraktekkan di tanah air kita, memandang anak didik sebagai seorang individu yang belum dewasa, memiliki pengetahuan dan keterampilan. Jadi, dalam proses interaksi guru-murid, anak didik merupakan obyek. Sedangkan guru merupakan sumber ilmu dan keterampilan, dimana kehadirannya di muka kelas merupakan suatu kondisi mutlak yang harus ada agar proses belajar mengajar berlangsung. Karena guru memegang peran yang penting dalam proses interaksi tersebut, maka guru harus dihormati dan dipatuhi. Apa yang diajarkan guru sudah tercantum dalam kurikulum atau sudah dideskripsikan dalam buku yang sudah tersedia. Pengembangan pembahasan materi sesuai dengan perkembangan lingkungan dan pembahasan teori dalam kaitan dengan realitas yang ada tidak begitu mendapatkan tekanan. Sebab pembahasan materi pelajaran terletak pada materi itu sendiri. Sebagai hasil proses belajar mengajar yang penting tidak saja anak didik memiliki kemampuan, pengetahuan, keterampilan, tetapi yang tidak kalah pentingnya adalah bagaimana anak didik mendapatkan pengetahuan atau keterampilan tersebut.



Program-program pembaharuan pendidikan, misalnya pembaharuan kurikulum atau sekolah pembangunan, yang merupakan upaya untuk meningkatkan kualitas pendidikan, merupakan program-program yang didesain dengan acuan paradigma di atas. Sejauh ini, belum ada program-program pembaharuan pendidikan yang berhasil dalam memecahkan problem pendidikan. Mengapa?



Jawaban atas pertanyaan mangapa ini bisa panjang. Misalnya, dari aspek perencanaan, hampir semua pembaharuan pendidikan tidak direncanakan secara mantap karena kurang didasarkan pada hasil penelitian yang solid. Aspek monitoring juga lemah, hal ini ditunjukkkan dengan adanya program pembaharuan pendidikan yang berlangsung cukup lama tidak pernah dievaluasi tahu-tahu program tersebut dihentikan. Di samping itu, dan ini yang lebih penting, adalah bahwa kegagalan program-program pembaharuan pendidikan di tanah air terletak pada paradigmanya sendiri. Artinya paradigma ilmu keguruan yang diterapkan di tanah air kita ini sudah tidak bisa digunakan untuk memecahkan problem kependidikan yang kita hadapi. Dalam bukunya The Structure of Scientific Revolution, Thomas Kuhn mengemukakan bahwa ilmu pengetahuan selalu mengalami perkembangan. Perkembangan ini dimulai dengan adanya "krisis", di mana kemapanan ilmu dipertanyakan. Yang kemudian diikuti dengan usaha untuk merubah secara mendasar ilmu pengetahuan tersebut dengan mempertanyakan dan mengembangkan paradigma baru. Dalam kaitan dengan pembahasan interaksi murid-guru, nampaknya krisis ilmu keguruan untuk memecahkan problema pendidikan dewasa ini patut dipertanyakan. Oleh karenanya, sudah saatnya diperlukan adanya keberanian dari para ahli, terutama mereka yang berkecimpung dalam keguruan, untuk mempertanyakan paradigma lama dan mengembangkan paradigma baru.



B. Paradigma baru pengajaran



Angin segar di bidang keguruan telah bertiup dari Cianjur. Di mana di kabupaten ini di sekolah-sekolah dasar sudah diterapkan metode mengajar cara belajar siswa aktif yang dikenal dengan CBSA, sebagai kebalikan dari cara mengajar DDCH (duduk, diam, catat, hafal) atau CMGA cara mengajar guru aktif). Kalau dikaji secara mendalam sesungguhnya CBSA mendasarkan pada paradigma baru. Murid dalam metode CBSA bukan dianggap obyek pendidikan, melainkan sebagai subyek pendidikan. Sesungguhnya yang penting bukan saja pengetahuan atau keterampilan akan diperoleh, melainkan juga bagaimana cara memperoleh pengetahuan atau keterampilan tersebut. Guru bukan merupakan satu-satunya sumber pengetahuan. Malahan, guru hanya berfungsi sebagai fasilitator. Apa yang dikemukakan oleh guru masih bersifat "hypothetical". Oleh karena itu murid perlu menguji kebenaran apa yang dikemukakan oleh guru. Dalam mengajar guru tidak terpancang pada materi yang termaktub dalam kurikulum, melainkan guru akan aktif untuk mengkaitkan kurikulum dengan lingkungan yang dihadapi siswa. Baik lingkungan fisik maupun lingkungan sosial.



Pembaharuan pengajaran yang mendasarkan pada paradigma baru tersebut di Cianjur telah menunjukkan hasil-hasil yang menggembirakan. Dalam bidang prestasi akademik nilai rata-rata NEM untuk daerah Cianjur mencapai 33,88 sedangkan untuk daerah Jawa Barat secara keseluruhan rata-rata NEM hanya mencapai 26,25. Pada aspek perilaku, lulusan SD Cianjur yang sekarang ini sudah di SMP mempunyai ciri-ciri , antara lain, (a) di kelas mereka aktif baik dalam mengajukan pertanyaan maupun dalam mencari bahan-bahan pelajaran yang mendukung apa yang tengah dipelajari, (b). mereka ini bisa bekerjasama dengan membuat kelompok-kelompok belajar, (c). mereka ini bersifat demokratis, berani menyampaikan gagasan, mempertahankan gagasan dan sekaligus berani pula menerima gagasan orang lain, dan (d) di samping mampu bekerjasama, mereka memiliki kepercayaan diri yang besar.



Melihat kehidupan sekolah dasar di Cianjur betul-betul melihat dunia anak : dinamis, aktif dan gembira. Sekolah bagi anak bukan merupakan tempat menakutkan ataupun menjemukan. Dari sekolah dasar semacam inilah akan dapat diharapkan munculnya pribadi yang mandiri dan demokratis. Tetapi masalahnya, bagaimana pembaharuan di bidang pengajaran dengan CBSA ini dapat disebarluaskan di seluruh Indonesia? Masalahnya tidaklah gampang, mengingat pelaksanaan CBSA memerlukan perubahan-perubahan total pada diri siswa maupun guru. Khusus, di fihak guru dituntut untuk memiliki "Duit" (Dedikasi yang lebih tinggi, Usaha yang lebih keras, lkhlas, dan Tekun). Karena melaksanakan proses belajar-mengajar dengan CBSA guru harus lebih aktif, khususnya dalam mempersiapkan bahan pelajaran, merencanakan proses yang akan dilaksanakan, mempersiapkan evaluasi dan tindak lanjut. Dan itu semua harus dilaksanakan dalam kondisi di mana secara ekonomis tidak akan menghasilkan apa-apa. Keberhasilan disiminasi proses belajar mengajar dengan pendekatan CBSA di seluruh tanah air merupakan jembatan menuju revolusi ilmu keguruan.

1.5. Agenda Reformasi Pendidikan



Sejarah perkembangan ekonomi di banyak negara industri telah membuktikan tesis human investment, pentingnya peran kualitas sumber daya manusia dalam pembangunan. Berdasarkan tesis tersebut telah muncul strategi pembangunan yang dikenal dengan istilah human-reseources based economic development, yang telah dipraktekkan dan mengantar negara-negara, seperti Taiwan, Korea Selatan, Singapore menjadi negara-negara industri baru.



Dalam peningkatan kualitas sumber daya manusia. Pendidikan memegang peran yang penting. Sumber daya manusia yang sesuai dengan kebutuhan pembangunan bangsa hanya akan lahir dari sistem pendidikan yang berdasarkan filosofis bangsa itu sendiri. Sistem pendidikan cangkokan dari luar tidak akan mampu memecahkan problem yang dihadapi bangsa sendiri. Oleh karena itu, upaya untuk melahirkan suatu sistem pendidikan nasional yang berwajah Indonesia dan berdasarkan Pancasila harus terus dilaksanakan dan semangat untuk itu harus terus menerus diperbaharui.



Tantangan utama bangsa Indonesia dewasa ini dan di masa depan adalah kemampuan untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Dalam kaitan ini menarik untuk dikaji bagaimana kualitas pendidikan kita dan upaya apa yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kualitas pendidikan sehingga bisa menghasilkan sumber daya manusia yang lebih berkualitas sebagaimana diharapkan, agar bangsa Indonesia menjadi bangsa yang produktif, efisien, dan memiliki kepercayaan diri yang kuat sehingga mampu bersaing dengan bangsa-bangsa lain dalam kehidupan global ini.



A. Kecenderungan Globalisasi



Proses globalisasi akan terus merebak. Tidak ada satu wilayahpun yang dapat menghindari dari kecenderungan perubahan yang bersifat global tersebut, dengan segala berkah, problem dan tantangan-tantangan yang menyertainya. Pembangunan pendidikan harus mengantisipasi kecenderungan-kecenderungan global yang akan terjadi. Beberapa kecenderungan global yang perlu untuk diantisipasi oleh dunia pendidikan antara lain adalah: Pertama, proses investasi dan re-investasi yang terjadi di dunia industri berlangsung sangat cepat, menyebabkan terjadinya perubahan-perubahan yang sangat cepat pula pada organisasi kerja, struktur pekerjaan, struktur jabatan dan kualifikasi tenaga kerja yang dibutuhkan. Sebaliknya, praktek pendidikan tradisional berubah sangat lambat, akibatnya mismacth education and employment cenderung semakin membesar.



Kedua, perkembangan industri, komunikasi dan informasi yang semakin cepat akan melahirkan "knowledge worker" yang semakin besar jumlahnya. Knowledge worker ini adalah pekerjaan yang berkaitan erat dengan information processing.



Ketiga, berkaitan dengan dua kecenderungan pertama, maka muncul kecenderungan bahwa pendidikan bergeser dari ide back to basic ke arah ide the forward to future basics, yang mengandalkan pada peningkatan kemampuan TLC (how to think, how to learn and how to create). How to think menekankan pada pengembangan critical thinking, how to learn menekankan pada kemampuan untuk bisa secara terus menerus dan mandiri menguasai dan mengolah informasi, dan how to create menekankan pada pengembangan kemampuan untuk dapat memecahkan berbagai problem yang berbeda-beda.



Keempat, berkembang dan meluasnya ide demokratisasi yang bersifat substansi, yang antara lain dalam dunia pendidikan akan terwujud dalam munculnya tuntutan pelaksanaan school based management dan site-specific solution. Seiring dengan itu, karena kreatifitas guru, maka akan bermunculan berbagai bentuk praktek pendidikan yang berbeda satu dengan yang lain, yang kesemuanya untuk menuju pendidikan yang produktif, efisien, relevan dan berkualitas.



Kelima, semua bangsa akan menghadapi krisis demi krisis yang tidak hanya dapat dianalisis dengan metode sebab-akibat yang sederhana, tetapi memerlukan analisis system yang saling bergantungan.



Kecenderungan-kecenderungan tersebut di atas menuntut kualitas sumber daya manusia yang berbeda dengan kualitas yang ada dewasa ini. Muncul pertanyaan mampukah praktek pendidikan kita menghasilkan lulusan dengan kualitas yang memadai untuk menghadapi kecenderungan-kecenderungan di atas?



B. Praktek pendidikan dewasa ini



Orientasi pendidikan suatu bangsa akan menunjukkan bagaimana praktek pendidikan berlangsung, dan pada tahap berikutnya akan dapat dijadikan dasar untuk meramalkan kualitas lulusan yang ditelorkan oleh praktek pendidikan tersebut. Setiap orientasi pendidikan dapat dikaji berdasarkan empat dimensi yang ada, yakni dimensi status anak didik, dimensi peran guru, dimensi materi pengajaran dan dimensi manajemen pendidikan. Masing-masing dimensi mempunyai dua kutub ekstrim yang terentang secara kontinyu.



Dimensi status anak didik terentang dari anak didik berstatus sebagai obyek atau klien dan anak didik berstatus sebagai subyek atau sebagai warga dalam pendidikan. Dimensi orientasi pendidikan kedua adalah fungsi guru. Dimensi ini terentang dari kutub fungsi guru sebagai pemegang otoritas tertinggi keilmuan dan indoktrinator sampai pada kutub lain guru sebagai fasilitator dan motivator dalam proses pendidikan. Dimensi yang ketiga adalah materi pendidikan, yang memiliki rentang dari materi bersifat materi oriented atau subject oriented sampai problem oriented. Dimensi keempat, manajemen pendidikan terentang dari manajemen yang bersifat sentralistis sampai manajemen yang bersifat desentralistis atau school-based management.



Orientasi pendidikan kita cenderung memperlakukan peserta didik berstatus sebagai obyek atau klien, guru berfungsi sebagai pemegang otoritas tertinggi keilmuan dan indoktrinator, materi bersifat subject oriented, manajemen bersifat sentralistis. Orientasi pendidikan yang kita pergunakan tersebut menyebabkan praktek pendidikan kita mengisolir diri dari kehidupan yang riil yang ada di luar sekolah, kurang relevan antara apa yang diajarkan dengan kebutuhan dalam pekerjaan, terlalu terkonsentrasi pada pengembangan inteiektual yang tidak berjalan dengan pengembangan individu sebagai satu kesatuan yang utuh dan berkepribadian. Proses belajar mengajar didominasi dengan tuntutan untuk menghafalkan dan menguasai pelajaran sebanyak mungkin guna menghadapi ujian atau test, di mana pada kesempatan tersebut anak didik harus mengeluarkan apa yang telah dihafalkan.



Akibat dari praktek pendidikan semacam itu muncullah berbagai kesenjangan yang antara lain berupa-kesenjangan akademik, kesenjangan okupasional dan kesenjangan kultural. Kesenjangan akademik menunjukkan bahwa ilmu yang dipelajari di sekolah tidak ada kaitannya dengan kehidupan masyarakat sehari-hari. Hal ini disebabkan karena guru tidak menyadari bahwa kita dewasa ini berada pada masa transisi yang berlangsung dengan cepat, dan tetap memandang sekolah sebagai suatu insitusi yang berdiri sendiri yang bukan merupakan bagian dari masyarakatnya yang tengah berubah. Di samping itu, praktek pendidikan kita bersifat melioristik yang tercermin seringnya perubahan kurikulum secara erratic. Ditambah lagi, banyak guru yang tidak mampu mengaitkan mata pelajaran yang diajarkan dengan fenomena sosial yang dihadapi masyarakat. Akibatnya guru terus terpaku pada pemikiran yang sempit. Terbatasnya wawasan para guru dalam memahami fenomena-fenomena yang muncul di tengah-tengah masyarakat menyebabkan mereka kurang tepat dan kurang peka dalam mengantisipasi permasalahan yang dihadapi dunia pendidikan, akibatnya mereka kehilangan gambaran peta pendidikan & kemasyarakatan secara komprehensif. Kesenjangan okupasional, kesenjangan antara dunia pendidikan dan dunia kerja, memang bukanlah sernata-mata disebabkan oleh dunia pendidikan sendiri. Melainkan, juga ada faktor yang datang dari dunia kerja. Sedangkan, kesenjangan kultural ditunjukkan oleh ketidakmampuan peserta didik memahami persoalan-persoalan yang sedang dihadapi dan akan dihadapi bangsanya di masa depan. Kesenjangan kultural ini sebagai akibat sekolah-sekolah tidak mampu memberikan kesadaran kultural-historis kepada peserta didik.



Peserta didik kita tidak memiliki historical-roots dan culturalroot dari berbagai persoalan yang dihadapi. John Simmon dalam bukunya Better Schools sudah memprediksi bahwa hasil pendidikan tradisional semacam itu hanya akan melahirkan lulusan yang hanya pantas jadi pengikut bukannya jadi pemimpin. Jenis kerja yang mereka pilih adalah kerja yang sifatnya rutin dan formal, bukannya kerja yang memerlukan inisiatif, kreatifitas dan entrepreneurship.



Sudah barang tentu dengan kualitas dasar sumber daya manusia tersebut di atas, bangsa Indonesia sulit untuk dapat menghadapi tantangan-tantangan yang muncul sebagai akibat adanya kecenderungan global.



C. Reformasi pendidikan suatu keharusan?



Reformasi pendidikan ditujukan untuk meningkatkan komitmen dan kemampuan guru dan murid untuk mencapai prestasi pendidikan sebagaimana diharapkan. Dengan reformasi pendidikan dimaksudkan untuk mengembangkan struktur dan kondisi yang memungkinkan munculnya komitmen dan kemampuan tersebut di atas. Oleh karena itu, reformasi yang dilakukan harus mencakup tiga aspek dalam pendidikan: aspek organisasi dan kultur sekolah, aspek pekerjaan guru dan aspek interaksi sekolah dan masyarakat.



Dominasi birokrasi dan kontrol politik yang berlebih-lebihan dari pusat atas sekolah dan proses belajar-mengajar melahirkan organisasi dan kultur sekolah yang tidak mendukung proses pendidikan yang mampu menghasilkan lulusan yang berkualitas. Organisasi sekolah yang bersifat birokratis sentralistis cenderung menimbulkan rigiditas dalam proses pendidikan, karena pendidikan diperlakukan secara klasikal dan mekanistis sebagai suatu industri yang bisa dilaksanakan dengan instruksi dari pusat. Birokrasi dan sentralisasi dalam pendidikan telah menimbulkan kultur birokratis di lingkungan sekolah. Kepala sekolah lebih setia berkorban bagi pejabat atasannya dari pada memperjuangkan nasib para guru. Demikian pula guru lebih patuh mengikuti pendapat kepala sekolah dari pada memperjuangkan nasib peserta didiknya. Organisasi sekolah yang bersifat birokratis sentralistis dan kultur sekolah otoriter birokratis telah gagal melaksanakan transmisi pengetahuan, sikap dan pola pikir peserta didik untuk mengantisipasi baik dalam dunia kerja maupun dalam dunia perguruan tinggi.



Oleh karena itu, organisasi sekolah perlu direformasikan ke dalam organisasi sekolah yang mendasarkan school-based management atau site-specific solutions agar muncul berkembangnya budaya dialog profesional di lingkungan sekolah-sekolah.



Organisasi sekolah yang berwajah lokal dalam kegiatannya senderung senantiasa mendasarkan pada consensus lewat dialog dan diskusi yang terbuka dan seimbang. Dalam kaitan ini, jabatan kepala sekolah yang selama ini ditunjukkan oleh pemerintah perlu diganti dengan kepala sekolah yang mungkinkan sekolah sebagai suatu lembaga yang relatif otonom dari kekuatan politik. Kerja kepala sekolah beserta staf administrasi merupakan tim yang demokratis jika orang tua murid dilibatkan dalam pelaksanaan pendidikan sebagai anggota bukan sebagai klien. Guru akan dapat mengajar dengan lebih baik dan peserta didik akan dapat belajar di sekolah lebih baik pula apabila kepala sekolah bertindak sebagai seorang pemimpin pendidik daripada sebagai manajer. Begitu pula proses belajar-mengajar akan lebih "bergairah dan hidup" apabila kultur sekolah demokratis dengan mengundang partisipasi dari segenap warga sekolah.



Organisasi dan kultur sekolah sebagaimana dikemukakan di atas cenderung mengembangkan kerja guru tidak semata-mata sebagai kerja individu melainkan sebagai 'kerja tim, yang memiliki berbagai tugas yang harus dikerjakan bersama. Banyak bukti menunjukkan bahwa sekolah-sekolah akan dapat berjalan dengan lebih baik apabila guru-guru diorganisir dalam suatu tim yang masing-masing anggota memiliki peran yang sederajat, otonom, saling menghormati, dan saling membantu, dari pada guru diorganisir berdasarkan pada otoritas yang bersifat hirarkhis. Bentuk kerja tim akan merupakan suatu keluarga yang satu sama lain memiliki hubungan yang akrab dan masing-masing saling membantu bekerjasama untuk mencapai keberhasilan bagi kesemuanya. Di antara anggota keluarga memiliki pemahaman yang mendalam satu sama lain, sehingga interaksi dan dialog menjadi bersifat alami.



Diibaratkan keluarga yang demokratis, sebagai orang tua guru dilihat sebagai pemegang dan penjaga nilai-nilai yang diperlukan bagi kehidupan keluarga tersebut, lewat mata pelajaran yang disampaikan dan interaksi dialog. Interaksi sebagai seorang guru tetap dijaga dalam sekolah yang demokratis. Guru memiliki kebebasan akademik untuk mencari dan mengkaji pengetahuan yang akan disampaikan kepada peserta didik. Demikian pula, guru sebagai orang tua dalam keluarga memiliki wewenang untuk menganulir keputusan yang bertentangan dengan demokrasi.
FUTURE EDUCATION paradigm

INTRODUCTION

Over the past three decades, the world of education in quantitative Indonesia has grown very rapidly. In 1965 the number of primary school (SD) of 53 233 by the number of students and teachers at 11,577,943 and 274 545 have increased rapidly to 150,921 primary schools and 25,667,578 students and 1,158,004 teachers (Center for Informatics, Balitbang MOEC, 1999). So in about 30 years the number of primary schools increased by about 300%. Of course, the development of education is to be grateful. But unfortunately, the development of education was not followed by a commensurate increase in educational quality. Consequently, there is a variety of educational inequality in the midst of society, including a very prominent are: a) the disparity between the output quality of education and qualification of manpower needed, b) quality of educational disparities between rural and urban, between Java and outside Java, inter pendudukkaya and the poor. In addition, in the world of education also appeared two other problems that can not be separated from the problem of education that has been mentioned above.

First, education tends to be a means of social stratification. Second, the educational school system only transfers to students what is called the dead knowledge, ie knowledge that is too text-bookish is so good as had been divorced from the root of the source and application.

Various educational reform efforts have been undertaken to improve the quality of education, but so far have not revealed the results. Why education policy reform in our country can be said always failed to answer the problems of society? Indeed the failure of various forms of educational reform in our country lies not solely in the form of their own educational reforms that are erratic, patchy, but more fundamentally the failure is due to dependence on the determinants of educational policy paradigm of the role of education in the explanation of social change that is outdated. This dependence led to expectations that are unrealistic and inappropriate to the efficacy of education.

Role of Education: Myth or Reality?

Development is a continuous process that covers all aspects of society, including social, economic, political and cultural, with the main purpose of improving the welfare of citizens of the nation as a whole. In the development process is the role of education is very strategic.

John C. Bock, in Education and Development: A Conflict Meaning (1992), identifies the role of education as: a) promote the ideology and values ​​of socio-cultural nation, b) preparing the workforce for the fight against poverty, ignorance, and promote social change, and c) for flattened and revenue opportunities. The first role is the political function of education and the other two roles is a function of economics.

With regard to the role of education in national development appears to be the center of two paradigms for policy makers in education policy development: Functional Paradigm and socialization paradigm. Functional paradigm view that underdevelopment and poverty is because people do not have enough people who have the knowledge, skills and modern attitudes. According to the experience in Western societies, educational institutions of formal schooling system is the lead agency to develop the knowledge, coaching abilities and skills, and instill modern attitudes of individuals required in the development process. The evidence indicates a close connection between a person's formal education and participation in development. Further developments arise, Human lnvestmen thesis, which states that investment in human beings is more profitable, have economic rate of return higher than the investment in the physical plane.

In line with the functional paradigm, paradigm of socialization see the role of education in development are: a) develop the competencies of individuals, b) higher level of competence is needed to increase productivity, and c) are urnum, improve the ability of citizens and the increasing number of citizens who have the ability will increase the life of society as a whole. Therefore, based on the paradigm of this socialization, education should be expanded on a large scale and comprehensive, if a nation wants progress.

Functional paradigm and the paradigm of socialization has given rise to great influence in the world of education at least in two respects. First, has given birth to the paradigm of education that are mechanistic in analyst-based on the doctrine of reductionism and mechanistic. Reductionism see education as items that can be broken down and broken down with each other. Meka FNS see that the pieces or parts that have a functional linear relationship, one determines the other part directly. As a result, education has been reduced in such a way into small pieces with each other to be separated no relationship, such as, curriculum, credits credits, subject, enrichment programs, uniforms, homework and exercises. A scoring system has been developed to conform with these pieces: value, grade, rank, the average value, compliance, certificates.

Educational paradigm lnput-Process-Output, has made the school like the production process. Pupils are treated like raw-input in a factory. Teachers, curriculum, and facilities are treated as instrumental input. If the raw-input and input instrumental good, it will produce a good process and ultimately better the product that is produced. Weaknesses of the educational paradigm is clear, namely the world of education is treated as a mechanical system that repairs can be partial, which parts that are not considered good. Of course, the assumption is far from reality and wrong. The implication, educational systems and practices based on a false paradigm of education likely will not correspond to reality. Paradigm for education were never seen education as a whole and the process is organic, which is part of the process of community life in totality.

Second, government policy makers to make education as an engine of growth, and locomotive propulsion development. As an engine of development then education must be able to generate invention and innovation, which is the core strength development. In order to successfully carry out its functions, then education must be organized in a formal educational institution school system, which is separate and above the other world, especially the economic world. In fact, education should be a role model and other determinants of world development, in particular, and not the opposite of economic development determines the development of education. In the formal educational institutions is many new ideas and will be reviewed, the various theories will dluji, various techniques and methods will be developed, and the workforce with different types of capabilities will be trained.

In accordance with the role of education as an engine of growth, and the determinant for the development of society, the form most appropriate educational system is single track and organized centrally, so easily directed to the interests of national development. Through this single lane institutions will be able to produce a variety of labor needed by the world of work. To achieve efficient and etektif education, education must be arranged in a structure that is rigid, management (centralized nature, the curriculum is full of knowledge and theories (text bookish).

However, experience so far has shown, national educational school system can not act as a driver and locomotive construction, even Gass (1984) through his writings titled Education versus Qualifications declared education has become an obstacle to economic and technological development, with the emergence of inequality: cultural, social, and in particular vocational gap in the form of an abundance of educated unemployment.

A variety of educational problems that appear above stem from the weakness of national education systems are very basic schooling, so it may not be refined only through reforms that are patchy (Erratic). The renewal of the national education system is fundamental and comprehensive schooling should start looking for a new explanation for the role of education in development paradigm.

Elucidation of the role of education in development paradigm that is followed by policy-makers of today we have weaknesses, both theoretical and methodological. First, it could not be found precisely and exactly how educational process contributing to increasing the ability of individuals. It is easy to say that formal education will develop the skills needed to enter the system of production technology is increasingly complex. But, in reality, the technological capabilities of the institutions received no formal education in accordance with existing needs. In addition, a change in technology is rapid, it gave birth to the so-called de-skilled process, namely the industrial world requires a workforce with a skill that is more simple with the amount of labor a little more.

Second, the functional paradigm and socialization have the assumption that education as a cause and as a result of economic growth. Investment in formal education school system will determine the future economic development. But the reality indicates otherwise. Not that education came first, then you will see economic development, but could be otherwise, the demands of education expansion occurs as a result of economic and political development. In other words, education schooling system rather than engine of growth, but the car in development. Perkemkembangan education depends on economic development. As evidence, because the results of economic development can not be divided equally, consequently no opportunity to get education can also be the same among different groups of people, as happened today.

Third, the functional paradigm and socialization also has individual income reflects the assumption that productivity is concerned. At the macro wage labor is closely related to productivity. In reality this assumption has never been shown. Wages and productivity are not always frequent. The implication is that the conclusions of this study during which always indicates that the economic rate of return and education in our country is very high, much higher than with investments in other fields, is not precise, so it needs to be reassessed.

Fourth, socialization paradigm only managed to explain that education has a role to develop individual competence, but failed to explain how education can improve higher level of competence to enhance productivity. In real formal education managed to increase individual knowledge and skills necessary to participate in modern economic life. The longer time in school the higher the knowledge and capabilities. However, Randal Collins, through his work The Credential Society: An Historicaf Sosiology of Education and Stratification (1979) opposes this thesis. A variety of evidence does not support the thesis of education demands to hold a job-job. Workers with higher formal education should not be construed to have higher productivity than the workers. Who have lower education. Many of the skills and expertise that it can be gained while running a job in the world of formal employment. In other words, where work could serve as an educational institution that is more sophisticated.

New Paradigm: Educational Systemic-Organic

The renewal of the national education schooling should be based on the paradigm of the role of education in national development is appropriate, in accordance with the reality of society and culture of the nation itself.

Paradigm of the role of education in development is not linear and unidimensional, as described by the paradigm of Functional and socialization above. Rather, the role of education in development is very complex and interactional nature with the forces of other development. In such a constellation, education can no longer referred to as the engine of growth, because the ability and the success of formal educational institutions are very much related and determined by other forces, especially economic power in general and in particular the world of work. This brings the consequence that the educational institutions themselves can not predict the number and qualifications of the workforce required by the world of work, manpower requirements for both the number and qualifications necessary change very fast as the speed of economic change and society.

Paradigm of the role of education in development is complex and interactive, educational Systemic delivery paradigm-Organic by basing on the doctrine of expansionism and teleology. Expansionism is a doctrine that emphasizes that all objects, events and experiences are part-part and parcel of an integrated whole. One section will only have meaning if seen and associated with the wholeness of totality, as unity is not just a collection of parts. Wholeness interact with each other in an open system, because the answer to a problem appears in a subsequent occasion.

Systemic educational paradigm-Organic stressed that the process of formal education school system must have the following characteristics: 1) Education is more emphasis on the learning process (learning) from the teaching (teaching), 2) Education is organized in a flexible structure; 3) education treats students as individuals who have particular characteristics and independent, and, 4) Education is a continuous process and continues to interact with the environment.

Systemic educational paradigm-Organic educational demands are double tracks. That is, education as a process can not be separated from development and community dynamics. The world of education is always linked with the educational process in general society, and the world of work in particular. This linkage means that the achievement of learners is not only determined by what they do in the school environment, but also educates achievements of participants is determined by what they do in the workplace and in society at large. In other words, education is stressed that double tracks to develop general and specific knowledge must be integrated structure through a combination of workplace training and education of formal school system.

With this double tracks the educational system will be able to produce graduates who have the ability and flexibility to adjust to the demands of development in these rapidly changing.

Variety of problems that arise in society, especially inequality between the quality of education and qualification of manpower needed by the world of work is a reflection of a fundamental weakness in our education. Any attempt to renew the education would be futile, unless the root of philosophical and educational theories. That is, education can not be seen as a world unto itself, but education should be regarded and treated as part of the community. Therefore, the educational process must have relevance and equivalence in fundamental as well as continuous with processes that take place in the world of work.

This book consists of three chapters. Chapter I discusses education from the perspective of theory, starting from the discussion of the education system in two countries: Japan and the United States. Although at first the Japanese education is a "loan" from the United States, but the final form used today was different. Comparison of these two educational systems represent the two poles: Modern education is represented by the United States education and education that conservatives are represented by the Japanese education system.

The second paper, discuss how the quality of education is closely related to the motivation of people working in education. Motivation, from glasses economy will only appear if there is no competition. Therefore, education policies should stimulate the emergence of competition in the world of education. Strategic step in realizing the competition is the policy of decentralization of education. Decentralization, suspected to be closely related to the success of the school quality improvement. Therefore, decentralization will lead to a boost from his own school to get ahead as a result of the trust they earn.



Of course, decentralization that gives more autonomy for schools is also expected to alter the activity at the class level. That is, the learning process must also change; new paradigm of teaching must be born, as discussed in section 4. Changes in the level of the class may be a consequence of the changes that occur at school level. Sub-chapter 5, memmembahas how changes need to be developed at school level.

In Chapter 2 discussed how important the role of teacher. The role of teachers can not escape from the characteristics of professional workers. That is, teachers will be able to do the job properly if someone has gone through a process of education designed for it. As a professional job, of course, the ability of teachers must be continually improved. Although supposing tidakpun permanent teachers will be able to carry out tasks to meet minimum standards. In this chapter, among others, discussed efforts to improve teacher quality by basing on the willingness and efforts of the teachers themselves. That is, teachers should not be dictated and given the various directives and instructions. What is important is the need to set professional standards of teachers' who will become the reference for the development of quality teachers and guidance teachers are directed to the figure of the teacher in this globalization era. The figure of teacher is important because the teacher is one form of soft rather than hard profession profession such as doctors or engineers. Of course, education and training of teachers will be different with a doctor or engineer. Due to the nature of the work of two different forms of the profession. Chapter 2 concludes with a discussion of the challenges of teachers in the era of globalization that we are ahead. Various changes will occur both technological, economic, social, and cultural. Teachers can not be relativized the various changes. Teachers must develop proactive measures to deal with various changes.



Chapter 3 presents a discussion to seek education that Indonesia faced. Starting from a discussion of a hypothetical statement that the various problems in society such as unemployment, can not be released from the existence of an education system that does not "fit" with the culture of Indonesia. To find a deeply rooted culture of the nation's education needs to be implemented sharpening educational research. But in seeking education rooted in national culture does not mean that education should be exclusive. This contrasts with the reality of globalization. Therefore, the search for cultural education rooted in the nation must also understand that globalization can be studied on the terms of perspective and the perspective of curricular reform. How educational challenges to be faced in the future also discussed in this chapter. The fundamental challenge is how to make education reform that could ultimately affect the level of the class. In line with efforts to find the education that Indonesia faced a grade, teacher's ability, willingness of teachers and teachers' welfare absolutely must be improved. This effort, obviously, it's not easy but yet challenging. Therefore, future teachers will face different problems with in the present. The figure of the teacher in the future must begin to think about. In principle task is to implement the curriculum in teachers' grade level. Curriculum lungs like education, when both lungs were good also the body. Also discussed about how the curriculum should be developed. Two of the foundation curriculum is what the results of research about the brain and what is needed by the workforce in particular and society in general. Furthermore, problems of inequality discussed in classrooms that intangible student achievement. Indeed, inequality of education can not be separated from family socioeconomic inequality. In concrete terms the grade levels should develop policies to reduce these inequalities. Cooperative Learning Model is expected to narrow the gap in student achievement. Student achievement is not only determined by the ability of teachers to teach alone. School culture by various research certainly come plays an important role. Therefore, in this chapter specifically addressed the issue and how the formation of school culture and the role of principal. And of course, the quality of education can not only mean academic achievement alone, it is necessary to discuss about educational achievement or outcome of the piece. The book concludes with a discussion of how education reform should be implemented.

CHAPTER I
DISCOURSE ABOUT EDUCATION
1.1. Comparison of the traditional with the modern education system

(Review of Education System in Japan and the United States)



Japan made a new surprise. This time relates to systems and achievement in education. Many observers of education and development in the United States to see how the education system in Japan has managed to score a workforce with the spirit, motivation and character of the "fit" for development. As a society fully recognizes the role of education in development, experts in the U.S. began to see the education system in Japan, as well as evaluating the education system in the U.S. its own. Japanese team will be established and the U. S. whose task was to evaluate a meeting between Reagan and Nakasone in 1983. On January 4, 1987, simultaneously in both countries announced Mother City of the work of the team.



Team USA announced a 128 page report by an official at the education office in Washington referred to as a portrait of a sophisticated educational system. In the report, as quoted by Newsweek, January 12, 1987, stated that students in Japan are estimated to have a high IQ, illiteracy is no longer known. In addition, based on tests that have been internationally distandardisir were high school students in Japan have scores in the areas of mathematics and science higher than high school students in the U.S. Additionally, this study strengthens the belief that education observers in Japan have played an important and very decisive in the country's economic development in the twenty-five years.



A. Between Memorization and Thinking



Where is the greatness of the education system in Japan? Education experts and observers may be disappointed. Apparently the Japanese education system, when viewed through the eyes of Western education theory, could be categorized as a traditional educational system. The central government retained control of education, including determining the applicable national curriculum for both public school or private school. Teaching emphasizes rote learning and memory to master a given subject matter. The subject matter is directed so that students can pass the final exam or test into a higher school, did not develop the critical power and independence of students. All pupils are treated equally, there is no specific treatment for the student is left behind.



School emphasis on student self-respect and obedience to teachers and schools. Briefly the Japanese education system can be said to be an educational system that is "rigid, uniform and there is no option for students". On the other hand, as many as 78 pages Japanese team reports, among others, expressed his praise for the flexibility of the U.S. educational system. In addition, also called, and that although students in Japan have higher achievement than on American children's achievement, but it was achieved with no sacrifice lightly. Among other students in Japan can not "enjoy" pleasure of the school.



Because from time to time students in Japan was being chased by homework, tests and exams. The results are American students more independent and innovative in thinking, and also of course be happier than proteges in Japan. However, kuranglah right that is expressly drawn the conclusion that the education system that emphasizes discipline and rote learning and memory as practiced in Japan is more powerful than the education system that emphasizes freedom, independence and individual creativity as applied in the United States.



Behind the Japanese education system is rigid and uniform are in fact there are several things worth noting. First, by enforcing adherence to discipline and school teachers lead students in Japan in real time using a larger school than in school children in the United States. Second, the education system in Japan has succeeded in involving parents in students' education of their children. Mother, always pay attention in particular, provide supervision and assistance to their children learn. Moreover, these Ladies continue on an ongoing basis to make contact with the teachers. Third, outside of schools developing courses that help prepare students for exams or explore subjects that are deemed less. Fourth, the status of respected teachers and teachers' salaries are relatively high. This resulted in the work of teachers has appeal.



On the other hand, education in America people are not as described, in which students have ample opportunity to develop their creativity. National study conducted by Goodlad who later published a book entitled "A Place Called School" turns out to show something else. Among others mentioned were only about 5% of the time clock used to discuss the lessons. Most of the time, about 25% to listen to the testimony of teachers, about 17% of the time to record another and the remaining time to practice, prepare and test work. So in other words, the educational system in America is not fully implemented as it aspired to the experts.



B. Qibla Education



Read a second report on the team, at least give new nuances. Namely that for a nation's education system should be in accordance with the philosophy and culture. Take over a system or idea in the field of education from other nations should be reviewed with the application of existing cultural backgrounds. For example, today's world of education in Indonesia was hit by a passion for mengetrapkan teaching system that emphasizes the "process", with a teaching method called "Inquiry Teaching Method". This method is very powerful tool to enhance students' critical thinking. But in practice this method is difficult to be implemented in grade class in Indonesia. Why? Because this method requires the free atmosphere in the classroom and students have the spirit to seek the truth and the courage to express his ideas. And this is not owned by the classes in our country. Hence the idea of ​​applying the method inquiry should be preceded develop the necessary conditions. For example, by starting to implement at the elementary level class. Or, on the contrary, it is better to consolidate the implementation of teaching methods which are well known but it really has not been implemented properly. As I have ever encountered at a meeting with high school teachers who stated "Should not we try to develop how to teach with the lecture method is effective, than using the new method is still very strange?" It seems that the direction of education is not only the United States, we also need to be oriented to Japan in order to construct and develop an education system that fits with the philosophy and culture of Indonesia.

1.2. The concept of Education Decentralization and De-Berlinisasi



Problems now faced by many countries, including Indonesia, is how to improve the quality of education. The quality of education is generally associated with high and low achievement as indicated by the ability of students achieving scores in the tests and the ability of graduates to obtain and carry out the work. The quality of education is considered important because it determines the motion of the pace of development in any country. Therefore, almost all countries around the world face the challenge of implementing educational reforms in an effort to improve the quality of education.



A. Decentralization



To improve the quality of education in the United States, Friedman economist who once served as economic advisor to Reagan suggested that public schools be eliminated because the source of the low quality of education is basically a public school itself that its existence is dependent upon members of the Government so that the motivation to achieve educational achievement in state schools is low. In place of the public school system, the government developed a system of "vouchers", which the government provides educational assistance to the community by providing vouchers, voucher holders can choose which school you want. Schools in turn will exchange the voucher with the money to the government. With this voucher system will be competition among schools. High-quality schools will get a lot of money. And low-quality school otherwise be poor students, poor cash voucher which means poor. Further, because most school finance is sourced from the voucher, then the schools that do not sell will go out of business naturally. Schools can continue to live is a high-quality schools. Of course as a liberal view of the famous economist, Friedman's ideas about this voucher springs from the idea of ​​"free fight competition". From this voucher idea seems clear that the school must be organized with decentralization, even very extreme, each school has autonomy in carrying out education.



The idea that developed in the Soviet essentially does away with the idea of ​​Friedman above. To enhance community development in the Soviet Union socialist state education system in question is proposed to update. Yegor Ligachev, the number two in the Soviet after Mikhail Gorbachev, assessing the quality of education in the state "red bear" is no longer fully in line with the existing development. That is, the existing education system can no longer contribute maximally as expected. Therefore, there is Ligachev propose constant effort to improve the quality of education.



But, may also be questioned, Is it true that decentralization will improve the quality of education in our country? It is not easy to answer that question. This is because, the first policy-implementers implementing decentralization requires a responsible, innovative, creative and independent spirit. Because the experience under the centralized education system is quite old and redundant, then the implementation of education with the properties above are not many. implementation of education we have become accustomed to the instructions, and operational and technical guidelines. So the policy of decentralization, at least for a certain time will lead to stagnation in education. Second, desentratisasi possibly can to improve the quality of education in the sense of increasing mastery of the child to the given subject as indicated by test scores, but decentralization is not yet a guarantee external efficiency can be improved, in the sense sekotah graduates can get and do the job as they should.



B. De-berlinisasi



If the so-called Berlin, then the picture is on our minds is the presence of a strong and sturdy wall that was in Germany. The wall is really separates the western part of Berlin and East Berlin in total. Strong sturdy walls of the Berlin Wall as it appears and separates the "world of education''. On one side and" world of work "on the other. The existence of the separation wall, it makes the gap between both worlds. As a result, the relationship between education and the world of work not harmonious. Progress is happening in the world of work can not be quickly intercepted by the world of education. As a result, what generated the world of education is not suited to the needs of the working world. And, the same unemployment labor shortages in the workforce can not be avoided anymore.



Removal of barriers between the world of work and education or deberlinisasi is necessary to complete decentralization. Because decentralization will only improve the quality of education in the sense of increasing mastery of the lesson, but rather enhance the ability to work. De-berlinisasi means giving people the opportunity of education to get something real from the world of work, otherwise the people of the world of work can get information from the world of education that can be used to improve the productivity of the workforce. Implementation intentions deberlinisasi in concrete can be done by providing ample opportunity and easy to the people from education to employment practices, observation and apprenticeship in the world of work. Similarly, experts from the world of work are invited to develop a curriculum, education, and even had his time they are invited into the world of education. This can be done where the workforce of experienced experts to contribute to at any given time a remarkable faculty in educational institutions. The presence of personnel from the world of work will not only make what is presented is very interesting that increased cognitive aspects of a student or students, but more importantly, his presence would bring the spirit and mentality of the working world into the world of education.



It appears that efforts to improve the quality of education is very big role for the improvement of the nation's development. And quality improvement is not enough just to decentralization policies in education, but must also be accompanied by inroad wall of separation between the world of education and the world of work

1.3. Restructuring Education



In essence, the structure and mechanisms of educational practices that we are carried out based on education reforms that were born in the United States in the 50's that is only focused on methods to enable students to master basic skills and subjects taught. Structure and mechanism of the educational practices in their implementation in developing countries produce an education system that is not sensitive to new ideas and the development of society, particularly the development of the world of work. Like, education ignores new ideas about the role of education in a changing society or the era of globalization education system ignores the nature of learners as individuals who have certain characteristics, education ignores the tendency of development of democracy from formal democracy to substantial democracy.



Judging is based on the paradigm of education: lnput-Process-Output, structures and mechanisms undertaken educational practice overemphasise the process aspect. It is not unusual for policy makers based on the premise that if the process goes well will automatically produce a quality output. Therefore, the policy is decided is to manage the process to develop a policy that teachers can and should implement the behavior as it has been determined so that the process can run as it has been designed and is believed to produce a quality output. Policy makers have never imagined or would not know that the educational process can not be made uniform. Too many variations that do not allow seragamisasi this education process.



A. à ¢ â, ¬ Å "Teaching Vs Learningà ¢ â, ¬ Â



Structure and mechanism of educational practice that too much emphasis on childbirth education process more as a "process of teaching by teachers" (teacher teaching) should be compared as "the process of learning by the student" (student learning). Teachers should carry out tasks with methods that have been determined as "guidance from above", irrespective of teachers like it or not such behavior, whether or not the method suited to the material to be delivered in front of students. Teachers should use such methods because of a "command" superiors. Hence comes the robots that teach in the classroom (robotic teacher). Further consequence is emerging school climate that tends to be authoritarian. lklim this undemocratic process causes the school to be static and frozen as well as destructive effect on the "curiosity, confidence, creativity, freedom of thinking, and self-respect" among the learners. Of course, the structure and mechanisms of educational practices as described above will not be able to face society and nation. Therefore, the restructuring and deregulation of education which is tunututan education needs to be implemented in order to contribute maximally in facing the challenges of national development, in the present and future.



C. Freedom and Autonomy



Restructuring and deregulation that is needed is education includes four aspects: a). Orientation of student learning, b). Professionalism of teachers, c). School accountability, and d). Participation of parents of students and the surrounding community in providing education. Judging from the paradigm of education, Input-Process-Output, the first three aspects concerning aspects related to the fourth aspect of the input and output. Thus, restructuring and deregulation led to the revamping of education more than the input aspect of the process aspect. Specifically restructuring and deregulation of education aimed at increasing the commitment and competence of teachers and pupils to achieve the highest possible achievement.



Commitment and competence of teachers are expected to mainly is that teachers should have a deep understanding of the material to be delivered (Depth of Understanding) and able to deliver the material with great creativity and improvisation of the original, so that teaching and learning process was fresh and natural (authentic learning).



Of course, commitment and competence of such teacher influenced many processes that occur in pre-service teacher training in educational institutions. Therefore, policies need to be developed in the post process of teacher education is to develop independence and autonomy of teachers and provide greater freedom to schools and teachers. As professional workers and people who know best the situation of learners and their environment, teachers must be given full freedom in performing their duties. instruction, direction, and guidance from top to direduksir as much as possible.



If teachers gain autonomy and the full confidence they will have a sense of greater responsibility in achieving educational success. Likewise, this autonomy will allow teachers to use professional skills and experience they have fully in the learning process. With autonomy and freedom in their learning (learning process), the teacher will be more successful than if the teacher is restricted to the directions and deployment techniques of the bureaucrat in an office (the office level bereucrat) which in many ways impractical and too theoretical. Similarly, the presence of autonomy and freedom that owned the school, teachers have more opportunities for collaboration in school planning, directing learners to have more individual or small group than in the learning process and a large group of schools that will be created as the world participants learners themselves.



D. Public Participation



Behind the autonomy and freedom that are owned, the teachers are given targets to be achieved as a standard of success. Of course the target is success for all students regardless of socioeconomic background that is owned, achieved a certain level. Targets can be developed at various schools shovel. With the target as a standard, the public can come to evaluate the success of the school in achieving its objectives.



Opening up an opportunity for the community and parents of students to evaluate the educational process, allowing the emergence of community participation and especially parents of students in conducting education. For example, schools can invite parents and surrounding communities to participate in determining policies and operational activities of the school. Parents and the community around that could be invited to participate in education funding. Thus, on a macro level, can be implemented nationwide educational development budget reallocations. Limited government education budget is only directed at schools that have students with disadvantaged backgrounds. As for the schools participating students consisted of parental socio-economic backgrounds are relatively wealthy, is expected to be self-supporting in school funding.



In fact, not only the surrounding community, because the targets and standards that should have regional and local scope, then the local government will be directly involved in the success of education in their respective territories. It is hoped local governments could issue a range of policies that support the educational achievement of targets. For example, the village government set a "study hours" for children of certain ages. At these times children should not be playing. In other words, social services need to be linked to the educational process.



To each school and the teachers are given the freedom of what to do in the learning process. What is important is the achievement of predetermined targets, in other words the education process are product oriented, process oriented opposite, this is done now. To achieve the set targets to teachers should be given incentives and sanctions as well. Incentives given to teachers who successfully surpassed the set targets. Instead, the sanction given to teachers who commit fraud, such as changing, adding or falsify the value of the learning outcomes of students.

1.4. New Paradigm of Teaching



As long as there is still a gap between education outcomes with workforce needs, there is hope for achievement gaps that exist, as long as it's also always discuss educational problems and echoes the demands of education reform will continue to reverberate. There are two approaches that can be used to dissect problems of education: macrocosmic and microcosmic. Macrocosmic a macro approach, in which the educational process are analyzed within a broader framework. In a sense, the educational process must be analyzed in relation to processes in other fields. Because the process of education can not be separated from the environment, whether political, economic, religious, cultural, and so on. Therefore this approach emphasizes that efforts to solve problems in education is meaningless if not associated with improvements and adjustments in other areas.



Microcosmic approach to look at education as an integral unit of living where there is interaction in its own right. interactions that occur in the form of teaching and learning process contained in the class. This approach views the teacher and student interaction is a key factor in education. Therefore, according to this micro approach, improving the quality of education will only succeed if there is improvement or improvement of teaching and learning process in the field of teacher training.



A. The paradigm of science teacher



Teaching and learning process in which the student-teacher interaction consciously implemented to achieve certain goals that have been targeted as a science teacher called. This science can be classified as a part of science education. Science teacher has a paradigm that relates to the question of what and who the disciple?, What and who the teacher, what is the function of the teacher? What teaching materials that?, to which the child will be taken?, what indicators of success of the students? how to evaluate success?



Science teacher who developed and practiced in our country, looking at students as individuals who are minors, have the knowledge and skills. So, in the process of teacher-student interaction, students are the object. While the teacher is a source of knowledge and skills, where its presence in the classroom is an absolute condition that must exist so that the learning process takes place. Because teachers hold an important role in the interaction process, then teachers should be respected and obeyed. What is taught in the curriculum teachers already listed or described in the book is already available. Development of materials in accordance with the discussion of environmental development and discussion of the theory in relation to the reality that there is not so under pressure. For discussion of the subject matter lies in the matter itself. As a result of the learning process is important not only students have the ability, knowledge, skills, but is no less important is how students gain knowledge or skills.



Education reform programs, such as renewal of the curriculum or school development, which is an effort to improve the quality of education, are programs that are designed with reference to the above paradigm. So far, no education reform programs that succeeded in solving educational problems. Why?



Why did the answers to these questions can be long. For example, from the aspect of planning, nearly all educational reform is not planned in a stable because less is based on solid research results. Aspects of monitoring are also weak, it is ditunjukkkan with the education reform program that took place had not been evaluated long enough before I know the program is terminated. In addition, and this is more important, is that the failure of education reform programs in this country lies in the paradigm itself. That is the paradigm of science teacher who applied in our country is already not be used to solve the educational problems we face. In his book The Structure of Scientific Revolution, Thomas Kuhn argued that science is always progressing. This development began with the "crisis", in which the questionable reliability of science. Which is then followed by an attempt to fundamentally alter science by questioning and developing a new paradigm. In connection with the discussion of student-teacher interaction, the crisis seems to solve problems in science teacher education today is questionable. Therefore, it is time necessary to the courage of the experts, especially those engaged in teacher training, to question old paradigms and develop new paradigms.



B. The new paradigm of teaching



Fresh wind in the area of ​​teacher training has been blowing from Cianjur. Where in this district at the elementary schools have applied the methods of teaching students how to learn actively known by CBSA, as opposed to teaching DDCH ways (sit down, shut up, record, memorized) or CMGA way teachers teach is active). When examined in depth the actual CBSA based on new paradigms. Pupils in CBSA method is not considered to be the object of education, but as the subject of education. Surely it's not just the knowledge or skills to be acquired, but also how to acquire knowledge or skill. Teachers are not the only source of knowledge. Instead, the teacher simply serves as a facilitator. What was raised by the teacher still "hypothetical". Therefore, students need to test the truth of what was raised by the teacher. In teaching teachers are not fixed on the material contained within the curriculum, but teachers will be active to link the curriculum with the environment faced by students. Both the physical environment and social environment.



Renewal of teaching based on the new paradigm in Cianjur has shown encouraging results. In the area of ​​academic achievement NEM average value for the area Cianjur reach 33.88 while for the West Java region as a whole the average NEM only reached 26.25. On the behavioral aspect, SD Cianjur graduates who are now in middle school discrete, inter alia, (a) in the class they are active both in asking questions and in the search for learning materials that support what is being studied, (b). they can work together to create study groups, (c). they are democratic, courageous convey the idea, defended the idea at once bold and also accept other people's ideas, and (d) in addition to be able to cooperate, they have great confidence.



Looking at the life of elementary school in Cianjur really seeing the world child: dynamic, active and happy. School for children is not a scary place or dull. It is this kind of primary schools will be expected the emergence of an independent person and democratic. But the problem is, how innovations in the field of teaching with the CBSA can be disseminated throughout Indonesia? The problem is not easy, given the implementation of the CBSA requires a total changes on students and teachers. Specifically, on the side of teachers required to have a "Money" (Dedication of a higher, Work harder, lkhlas, and Persistence). Since implementing the teaching-learning process with the CBSA teachers should be more active, especially in preparing teaching materials, planning process that will be implemented, prepare an evaluation and follow-up. And it all must be carried out under conditions in which economically will not produce anything. Disiminasi success of teaching and learning process with the CBSA approach in the whole country is a bridge to the revolution of science teacher.

1.5. Education Reform Agenda



History of economic developments in many industrialized countries have proven human investment thesis, the important role of quality human resources in development. Based on this thesis has emerged development strategy known as reseources human-based economic development, which has been practiced and led the countries, like Taiwan, South Korea, Singapore became newly industrialized countries.



In improving the quality of human resources. Education holds an important role. Human resources in accordance with the needs of the nation's development will only be born out of an education system that is based on philosophical nation itself. Grafts from outside the education system will not be able to solve the problems facing our nation. Therefore, attempts to deliver a national education system faced Indonesia based on Pancasila and should continue to be implemented and the enthusiasm for it must be constantly renewed.



The main challenge the Indonesian nation today and in the future is the ability to improve the quality of human resources. In this connection it is interesting to examine how the quality of our education and efforts to what can be done to improve the quality of education so that it can produce human resources of a higher quality, as expected, that the Indonesian nation to nation's productive, efficient, and has a strong self confidence so that they can compete with other nations in this global life.



A. The trend of Globalization



The process of globalization will continue to spread. No one foot area that can avoid the tendency of these changes are global, with all its blessings, problems and challenges that accompany it. Development of education should anticipate global trends that will happen. Several global trends that need to be anticipated by the world of education, among others, are: First, the process of investment and reinvestment that occur in the industrialized world takes place very rapidly, causing changes very quickly as well on work organization, job structure, job structure and qualification of manpower needed. In contrast, traditional educational practices changed very slowly, consequently mismacth education and employment tend to become enlarged.



Second, industrial development, communications and information is the faster it will give birth "knowledge worker" is the greater amount. Knowledge worker is a job that is closely related to information processing.



Third, with regard to the first two trends, it appears a tendency to shift from the idea that education back to basic to the idea forward to the future basics, which relies on increasing the ability of TLC (how to think, how to learn and how to create). How to think the emphasis on the development of critical thinking, how to learn emphasizes the ability to be continuously and independently control and process information, and how to create an emphasis on developing the ability to be able to solve many different problems.



Fourth, developing and expanding the idea of ​​democratization that is the substance, which among other things in the world of education will be realized in a demand made in the implementation of school based management and site-specific solution. Along with that, because the creativity of teachers, it will be popping up various forms of educational practices that differ from one another, all for education toward a productive, efficient, relevant and quality.



Fifth, all nations will face a crisis after crisis that not only can be analyzed by the method of simple cause and effect, but requires an analysis of interdependent systems.



The trends mentioned above require quality human resources that are different qualities that exist today. The question arises can the practice of our education to produce graduates with sufficient quality to face the above trends?



B. The practice of adult education is



Orientation of education of a nation will show how the practice of educational progress, and the next stage will be used as a basis for predicting the quality of graduates who ditelorkan by the educational practice. Each orientation of the education can be assessed based on four dimensions that exist, namely the dimensions of the status of students, the dimensions of the role of teachers, teaching materials and dimensions dimensions of management education. Each dimension has two extremes which stretched continuously.



The dimensions of the status of students ranged from protégé status as an object or a client and protege status as subjects or as citizens in education. The second dimension is a function of the orientation of teacher education. This dimension ranges from polar teachers function as the ultimate authority of science and to the other pole indoktrinator teacher as a facilitator and motivator in the educational process. The third dimension is a matter of education, which has a range of material-oriented material or subject oriented to problem-oriented. The fourth dimension, management education that is stretched from the management that is centralized to decentralized management or school-based management.



The orientation of our educational status tend to treat students as objects or clients, the teacher serves as the ultimate authority of science and indoktrinator, matter is subject oriented, management is centralized. The orientation of the education that we use our education practice cause isolate themselves from real life that exist outside of school, are less relevant between what is taught to the needs of the job, too concentrated on the development inteiektual that does not run with the development of the individual as a unified whole and personality. Teaching and learning process is dominated by demands to memorize and master the lesson as much as possible in order to take an exam or test, where on occasion the students have to spend what has been memorized.



As a result of such educational practices emerged among other gaps-gaps of academic, occupational gaps and cultural gaps. Gaps indicate that academic knowledge learned in school has nothing to do with the life of everyday people. This is because teachers do not realize that today we are in a transition that takes place rapidly, and continued to see the school as an independent institution that is not part of society that was changing. In addition, our educational practices are reflected melioristik frequent curriculum changes are erratic. Plus, many teachers are not able to tie the subjects taught by social phenomena facing society. As a result of teachers continued to stare at the narrow thinking. Limited insight into the teachers in understanding the phenomena that appear in the midst of society cause they are less precise and less sensitive in anticipating the problems facing the world of education, as a result they lose the overview map in a comprehensive education & community. Occupational gap, the gap between education and the world of work, does not sernata-eye caused by the world of education itself. Rather, there is also a factor that comes from the world of work. Meanwhile, the cultural gap is shown by the inability of learners to understand the problems being faced and will face the nation in the future. This cultural gap as a result the schools are not able to provide the historical-cultural awareness to students.



Learners-we have no historical roots and culturalroot of the various problems faced. John Simmon in his book Better Schools are already predicting that the outcome of such traditional education will only give birth graduates who only deserve to be a follower rather than a leader. Type of work they choose is a work routine and formal nature, rather than work that requires initiative, creativity and entrepreneurship.



Of course with the basic quality of human resources mentioned above, the Indonesian nation is difficult to be able to face the challenges that arise as a result of global trends.



C. Education reform is a must?



Educational reforms aimed at increasing the commitment and ability of teachers and students to achieve educational achievement as expected. With the reform of education intended to develop the structures and conditions that allow the emergence of commitment and capability of the above. Therefore, the reforms should include three aspects of education: aspects of school organization and culture, aspects of the work of teachers and school and community aspects of the interaction.



The dominance of bureaucratic and political control of excessive schools and centers for teaching and learning process gave birth to the organization and school culture that does not support the educational process capable of producing quality graduates. Organizations that are bureaucratic centralized schools tend to lead to rigidity in the process of education, because education is treated in the classical and mechanistic as an industry that can be implemented by instructions from the center. Bureaucracy and centralization in education has led to bureaucratic culture in the school environment. The school principal is more faithful to sacrifice for his superior officers of the fight for the teachers. Similarly, teachers are more obedient to follow the opinion of the principal participants in the fight for students. School organizations that are bureaucratic and centralized bureaucratic authoritarian school culture has failed to implement the transmission of knowledge, attitude and mindset of the learners to anticipate both the world of work and in the world of college.



Therefore, organizations need to be reformed school into school organization which bases its school-based management or site-specific solutions in order to appear professional development of cultural dialogue in the neighborhood schools.



Local school organization faces in its activities senderung always based on consensus through dialogue and discussion that is open and balanced. In this connection, the principal position that had been shown by the government need to be replaced with a possible school principal as an authority that is relatively autonomous from political power. Working together with the principal administrative staff is a team that is democratic if the parents are involved in the implementation of education as a member rather than as clients. Teachers will be able to teach better and students will be able to learn better in school if the principal also acts as a leader of educators rather than as a manager. Similarly, the teaching-learning process will be more "vibrant and alive" if the democratic school culture by inviting the participation of all members of the school.



School organization and culture as expressed above tend to develop the work teachers do not work solely as individuals but as' teamwork, which has a variety of tasks to be done together. Much evidence suggests that schools will be able to work better if the teachers are organized in a team each member has an equal role, autonomy, mutual respect, and mutual aid, of the teachers are organized based on the hierarchical nature of authority . Forms of teamwork will be a family to each other have an intimate relationship and their respective work together to help each other achieve success for all. Among the family members have a deep understanding of each other, so that interaction and dialogue becomes natural.



Likened to a democratic family, as parents and teachers is seen as the holder of the guard values ​​necessary for family life, through the subject matter and dialogue interaction. Interaction as a teacher are still maintained in a democratic school. Teachers have academic freedom to seek and assess the knowledge that will be delivered to learners. Similarly, the teacher as a parent in the family has the authority to annul the decisions that are contrary to democracy.