Rabu, 30 Mei 2012

ART NIGHTMARE

ART NIGHTMARE 
A note by hendrotan
Written on March, 20, 2011
This article has been published in the magazine of Visual Arts on April, 2011 (page 42 - 44).

MANY WONDER WHY IS IT THAT SINCE DECEMBER 2010 THROUGH MARCH 2011 COLLECTORS’ INTEREST IN ACQUIRING ART WORKS SHARPLY DECLINED? ALSO, WHY DID THE PRICES OF A LOT OF ARTWORKS GET CORRECTED? THESE QUESTIONS REFLECT CURIOSITY AND WORRY ON THE PART OF SOME IN THE ART WORLD THAT ARE MARKET ORIENTED. KALANGAN SENIRUPA YANG BERKIBLAT KE PASAR.

It would be better for you not to panic. Since time long past, it has even been ordinary, during the period from December through the Chinese New Year, i.e. in February the following year, transactions at art market would be declining in volume. This has something to do with the fact that passionate collectors and art investors would be busy with end-of-year accounting issues or traveling with their families.

Moreover, in this time being, with turmoil in the Middle East region, with their impacts reaching everywhere including Indonesia, passionate collectors (people collecting artworks on the sole basis of fondness), art investors, art traders and art dealers (commonly known as market players) all keep themselves controlled. 

As we know this current era of openness has caused all information to spread so quickly that passionate collectors and market players know better how quality of artworks has to be in concord with the quality of the artists’ outlooks. Passionate collectors and market players now realize, as if they awoke from nightmares, that in the 2000s, or 2007 and 2008 to be specific, they had made a lot of mistakes in their selecting and even buying art works. Now they try to offer the ‘wrong goods’ to the market, no matter the price as long as they can sell the goods. More important is that the ‘wrong goods’ should leave their stock. Consequently very significant correction of price takes place. 

I’d like to describe in brief the quality of the artists’ outlooks as I stated above. Artists of mature outlooks regarding their art are in fact (also) 1) thinkers 2) readers of books on the arts, 3) consistently explorative throughout their careers, 5) regular presenters of their works, running solo exhibitions every two or three years to show their progresses and improved achievements, and, 6) sufferers of their own selves with respect to obsessive mysteries. 

Sufferers of their own selves? By this I mean to refer to an attitude of avoiding complacence thus maintaining aptness to experience unease that in turn drives one to be ever creative and to produce quality works. Pablo Picasso the maestro leaves us this highly famous, ”The chief enemy of creativity is good sense”. For artists comfort will not help them create excellent or radical or sensational works. 

Two Choices

We know that Indonesian artists have been growing fast in numbers. Young artists are emerging from   enclaves of art schools in Java and Bali as well as from art shops all over Indonesia. The big volume of the growth is not proportional to the growth of passionate collectors and art-market players. So those who intend to go into the scene as newcomers have to be prepared (in so many respects) lest they fall new victims making wrong choices and wrong buys (of artworks). 

They could, I hope, take these following tips as reference. Before plunging into the pursuit you should choose between these two available positions: you’d like to become a respected passionate collector or a profit-making market player. 

If you take the being-a-passionate-collector option, find for yourself a professional and reputable art consultant (if you are a wealthy collector) or, at least, an authoritative, reputable gallery owner (if you are not too wealthy a collector). But this won’t be enough. You should also often interact with senior collectors, visit museums abroad at least three times a year and build up your knowledge by reading books on art, good art journals and magazines. In addition, you should visit exhibitions of quality artists at galleries, art fairs and biennials. 

If being a market player is your choice, be active to monitor market trends, frequent the auction houses of Sotheby’s, Christie’s, Larasati, Borobudur, Masterpiece and Sidharta to collect the entire fixed transaction data and to feel floor emotions, don’t forget to record prices of quality works at gallery and other exhibits, and join the market-player community. You should also have data on galleries and passionate collectors, regularly visit good exhibits at galleries, art fairs and biennials, read good books and other publications on art diligently, and, lastly, you should not buy works directly from artists’ studios because it will disrupt existent art infrastructures and potentially create ‘tsunami’ of big loss on your part. 

For market players specializing in Old Master or Modern Art and Mooie Indie it would be better to be part of a network and to help develop small-scale suppliers in the areas of Jabodetabek, Bandung, Cirebon, Semarang, Jogja, Solo, Surabaya, Malang and Bali. Besides, they should pay close attention to the schedules at Christie’s and other smaller auction houses in Europe because there would often be lots of quality goods with low prices. It would also be good for you to know art dealers or suppliers in Europe, particularly the Netherlands, England and Germany.

Contemporary

In my opinion, young people entering art world as passionate collectors would be better to pick contemporary art as their collections or interior home decorations. 

What is contemporary art? In trying to answer so brief a question, even world-class experts in art have not found any agreement as yet. Experts and the so-called laymen have their own definitions of it. 

In my personal view, contemporary art capitalizes on giving form and visualization to the spirit of contemporariness, familiarity with popular culture and its elements of politics and sociality, and execution through artistic techniques that mix art and design. This is to say that contemporary art is not an ism but a spirit, i.e. the spirit of contemporariness. [hendrotan]  

------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------


MIMPI BURUK SENIRUPA
Catatan hendrotan
tertulis tanggal 20 Maret 2011
Artikel ini telah terbit di Majalah Visual Art pada April 2011 (hal. 42 - 44).

BANYAK ORANG BERTANYA-TANYA MENGAPA SEJAK BULAN DESEMBER 2010 SAMPAI MARET 2011, MINAT KOLEKTOR MEMBELI KARYA SENI RUPA MENURUN TAJAM ? MENGAPA PULA HARGA KARYA SENIRUPA BANYAK YANG TERKOREKSI ?  PERTANYAAN-PERTANYAAN INI MENUNJUKKAN KEINGINTAHUAN SEKALIGUS  KEGUNDAHAN SEBAGIAN KALANGAN SENIRUPA YANG BERKIBLAT KE PASAR.

Sebaiknya Anda tidak perlu panik. Sebab sejak dulu, bahkan sudah menjadi kebiasaan bahwa pada setiap bulan Desember sampai dengan hari raya Imlek, bulan Februari tahun berikutnya, pasar senirupa akan mengalami penurunan transaksi. Hal klasik ini disebabkan oleh faktor para passioned collector dan art investor pada sibuk urusan tutup buku di perusahannya masing masing atau berwisata (traveling) bersama keluarganya.

Apalagi pada saat sekarang ini, adanya gonjang-ganjing di kawasan Timur Tengah, yang imbasnya kemana-mana termasuk ke Indonesia, telah berakibat pada  passioned collector (yang mengoleksi karena kesenangan atau kesukaan murni) dan pihak art investor, art trader dan art dealer (lazim disebut pemain pasar) semua pada mengambil sikap menahan diri. 

Seperti kita ketahui bahwa era keterbukaan dewasa ini telah menjadikan semua informasi cepat menyebar, cepat transparan, sehingga para passioned collector dan pemain pasar kian mengerti bahwa kualitas karya harus sejalan atau seiring dengan kualitas sikap si pembuat karya. Passionate Collector dan Pemain Pasar kini tersadar, seperti bangun dari mimpi buruknya, bahwa pada era 2000-an, tepatnya tahun 2007 dan 2008, selama dua tahun itu telah banyak keliru memilih bahkan salah beli karya senirupa. Kini mereka berupaya melempar kembali ”barang salah” itu ke tengah pasar, tidak penting laku dengan harga berapa, yang lebih penting adalah ”barang salah”  itu tidak berada lagi dalam stoknya, sehingga yang terjadi kemudian adalah koreksi harga besar besaran.

Saya ingin  menguraikan secara singkat mengenai kualitas sikap si pembuat karya yang saya maksud. Seniman atau perupa yang sikap keperupaanya matang pada hakekatnya adalah (juga) 1) Seorang pemikir, 2) Pembaca buku pengetahuan seni, 3) Mereka memiliki semangat eksplorasi yang konsisten, 4) Gaya hidupnya sederhana sekali, 5) Secara berkala, setiap dua sampai tiga tahun sekali berpameran tunggal untuk menunjukkan progres pencapaian karyanya, yang sudah seharusnya lebih bermutu dari pameran yang sebelumnya, dan yang terakhir, 6) Penderita diri ( baca menderitakan dirinya )  untuk mencapai sesuatu misteri. 

Apa itu penderita diri? penderita diri adalah sikap hidup yang menghindari rasa nyaman agar tetap ”bisa resah dan gelisah” untuk terus kreatif dan terpacu melahirkan karya-karya yang bermutu. Maestro Pablo Picasso dalam ucapannya yang sangat terkenal,  ”The chief enemy of creativity is good sense”, musuh besar kreativitas seniman adalah rasa nyaman. Bagi seniman, kenikmatan hidup atau kenyamanan tidak akan melahirkan karya bagus atau radikal atau sensasional.

Dua Pilihan

Kita tahu jumlah perupa di Indonesia tumbuh dengan pesat. Perupa-perupa muda muncul dari kantong-kantong perguruan tinggi seni di Pulau Jawa, dan Bali maupun perupa-perupa otodidak yang muncul dari berbagai art shop di pelosok Tanah Air. Jumlah pertumbuhan perupa tersebut tidak sebanding dengan pertumbuhan passioned colector dan pemain pasar senirupa ( lebih banyak perupanya). Maka sebagai orang baru yang berminat terjun ke bidang ini, harus melakukan persiapan (apa saja) agar tidak jadi korban berikutnya, dalam arti keliru memilih dan salah beli barang (baca karya senirupa). 

Mungkin tips saya ini bisa dipakai rujukan. Sebelum terjun, Anda terlebih dahulu harus memilih satu diantara dua posisi yang ada : suka menjadi passioned collector yang terhormat, atau pemain pasar yang cari mencari rejeki.

Jika Anda memilih sebagai passioned collector, maka dapatkan art consultan yang profesional dan bereputasi baik (bagi kolektor kelas konglomerat) atau setidaknya dapatkan owner gallery yang berbobot dan bereputasi sangat baik sebagai konsultan (bagi kolektor non konglomerat). Tidak cukup sampai disini. Anda juga harus rajin berdialog dengan kolektor senior, mengikuti pelbagai diskusi dan seminar komunitas kolektor, minimal tiga tahun sekali travelling keluar masuk museum di luar negeri, menambah pengetahuan lewat buku-buku seni, jurnal dan majalah senirupa yang bermutu. Selain itu juga harus mengunjungi pameran-pameran perupa yang bermutu di galeri, art fair dan bienalle.

Bila Anda memilih posisi sebagai pemain pasar maka aktiflah memonitor tren pasar, keluar masuk Balai Lelang Sotheby’s, Christie’s, Larasati, Borobudur, Masterpiece dan Sidharta untuk mengumpulkan data lengkap fix transaction dan merasakan floor emotion, sangat perlu juga mendata harga karya bermutu dipameran galeri dan anjang pameran lainnya, dan berkomunitas dengan sesama pemain pasar. Selain itu perlu memiliki data galeri dan passion collector, rutin mengunjungi pameran yang bermutu di galeri, art fair dan bienalle, rajin membaca buku dan majalah seni rupa yang bagus dan yang terakhir janganlah membeli langsung ke studio perupa atau seniman, karena akan merusak konstruksi infrastruktur seni rupa yang ada, dan berpotensi ”tsunami” kerugian yang besar bagi Anda.

Untuk Pemain Pasar spesialis Old Master atau  lukisan aliran Modern Art dan Mooij Indie sebaiknya Anda memiliki jaringan dan membina pemasok – pemasok kecil seni rupa di daerah Jabodetabek, Bandung, Cirebon, semarang, Jogja, Solo, Surabaya, Malang dan Pulau Bali. Selain itu juga memperhatikan agenda lelang Christie’s dan balai lelang kecil lainnya di Eropa, karena sering kali keluar lot mutu bagus dengan harga murah. Disarankan pula Anda berkenalan dengan Art Dealer atau pemasok di Eropa, khusus Belanda, Inggris dan Jerman.

Kontemporer

Menurut hemat saya, anak-anak muda yang terjun ke dunia senirupa sebagai passioned collector,akan lebih baik memilih karya kontemporer sebagai koleksinya, atau sebagai pelengkap hiasan interior rumahnya. 

Apakah seni kontemporer itu?  Untuk menjawab pertanyaan pendek ini, para ahli senirupa dunia bahkan, sampai sekarang belum punya kata sepakat. Masing-masing pakar, hingga orang awam mempunyai definisinya masing-masing. 

Saya pribadi berpandangan bahwa senirupa kontemporer berpokok pada perupaan dari semangat kekinian, pengetahuan budaya popular yang berunsur politik dan sosialitas keseharian, dikerjakan dengan teknik artistik tersilang antara senirupa dan desain. Tegasnya seni kontemporer bukan merupakan sebuah aliran melainkan semangat kekinian. [hendrotan]  


DANGEROUS BUBBLES

DANGEROUS BUBBLES
Written on September, 20, 2011
This article has been published in the magazine of Visual Arts Vol. 8 on November - December 2011 #51 (page 46 - 51)

BEHIND THE GAME OF ‘FRYING’ ARTWORK SO FAR DEEMED BENEFITING EVERYBODY, HARMFULNESS LURKS. 

Entering the building of an international auction house visitors will generally find themselves astonished and bedazzled. In addition to its extensiveness, height and grandeur, it boasts charming, neat interior arrangement coupled with cleanness, fragrance and appropriate lighting. Then there are the security system, orderliness, information service, registration, free drinks and snacks, all well integrated. On top of everything else are the attractive displays of art objects to be auctioned, be they paintings, photographs or sculptures, contemporary, modern and traditional ones, as well as Hanji calligraphy, watches, precious stones, jewels, jadeite, various luxurious jewelry, antique ceramics, antique robes or fine wine. 

If you are interested in joining an auction, the entire registration process through the point you get the bidding paddle and auction book, or perhaps you’d prefer the light and practical mini-mag/thumbnail, will only take a short time. Collectors and market players are granted pre-viewing two or three days before the auction day, and they can ask for condition report. 
One day in the auction hours of contemporary painting I was among some 150 people seated or standing on the floor. Part of them had serious interest as potential bidders while some others were there just to record data. On the stage were the auctioneer and two assistants, standing, while by a side platform some fifteen operators were seated, ready to serve collectors or market players making phone bids (or absentee bids to be submitted to the auctioneer). 

Then the sound made by the auctioneer’s gavel reverberated throughout the room. An art object with an estimated price of US$ 40,000 to 60,000 sold at US$ 550,000 (equals to some IDR 4.7 billion). Seeing the very item in the lot, the actual auctioning process of which did not involve bidders on the floor, it was easy to sense the ‘frying game’ vendors had played. As far as I know artist managers and auction hosts/organizers are the ones that usually play this particular ‘game’. 

Experienced Indonesian collectors and market players must have been aware of such practice. So far, in international scenes buyers from Indonesia are known to have ‘a keen sense of smell’ in this regard. Yet sad things could happen to young collectors and fledgling market players and other people that succumb to the persuasion whispered by beautiful girls mesmerizing them to join in crafty auction sessions. See how in a short time an artwork increases its price like crazy, tenfold or even more, while it is only medium in terms of quality as well as the artist’s brand. The artist’s track record is still to be tested nationally and internationally and his/her work is not yet collected by art museums of the MoMA class, and he/she has never exhibits solo at reputable international galleries yet, and never as yet invited as a special invitee to the Venice Biennale for instance. So in this regard the formed price too far exceeds the ceiling of the real price of the object in question. In fact the market price or private sale price of the painting that ‘sells’ at IDR 4.7 never exceeds US$ 70,000 that is equivalent to IDR 600 million. 

People forget that such unnatural instance will sooner or later generate issues and problems that finally betray craftiness. Such an event astonishes potential bidders on floor and cynical grins unfold on their faces. 

Increases in the price of works of contemporary artists should be gradual in accordance with their aesthetic developments and artistic achievements: the qualities of works and their forms, the technical skills involved and the profoundness of the works, and the recognized reputations of the artists. 

The artist’s manager who fries his/her artist’s works in the ‘gigantic frying pan’ (i.e. international auction houses) probably aims at setting a market price construction for the works while branding the artist as soon as possible. By ‘borrowing’ the influence of an auction house the manager heedlessly takes a shortcut, or even sets an expressway, toward millions-of-IDR pricing. However such ‘blown-up bubbles’ will not, again, easily deceive seasoned collectors and market players. 

Among the numerous hazards posed by blowing up bubbles is that a price deviously or very questionably set will never get admitted. In effect when the price stays stagnant (no one wants to buy) public, market players in particular, let go the works of the artist in question, which in turn means that people are not interested in acquiring them. People may even become allergic to hearing/reading the artist’s name. 

International Capitalists’ Game

As we all know many of powerful investors or international capitalists dealing in contemporary artworks and old masters come largely from among players in property and stock exchange business. Because of the crisis befalling the US and some European countries these last years, those investors and capitalists switch their attention and investment to works of art, particularly contemporary art and old masters. 

Now, this is an opportunity that numerous parties do not want to miss, and they include managers of contemporary artists and ... (sorry, please guess). 

Then, the one or those you refer in your guess offer themselves to work together with potential artists (meaning: their works are presumed to be wanted, even hunted at market, circulating only in some small number and the circulation is controlled, and deemed quite good and powerful while the artist’s explorative spirit is considered to be consistent enough). The operation of the system is similar to that of film industry. 1) promotion through public seminars where collectors talk about art; 2) the sending of various exploring teams comprising groups of collectors, museum directors and curators, grandchildren of certain maestros, mostly white, into bases of artists and centers of collectors. Usually those teams do not know each other, and the expats in the teams are perhaps not even aware they are being used; 3) promotion again to pose various kinds of justification (including the incorporation of theories taken from voluminous books) coupled with rumors spread all over that there is Mr. X loving the piece and the estimated hammer price is IDR four billion, and so on and so forth. So the frying is done and items are passed little by little to the auction market at some soaring price, and the profit sharing will be fifty-fifty. Because behind soaring prices reached at an auction house are layers of black curtains, it would be better for you to take a skeptical position. 

Profitable yet rotting 

‘Frying’ art objects at auctions is considered normal and it makes various parties happy with profits they gain. It improves the well-being of the artists whose works are ‘fried’, increases their managers’ capital, while collectors and market players who have the items in question that they acquired earlier at low prices before the frying are also happy because they can make big profit, and auction houses get much higher premium fees’. 

Sarah Thornton, an observer of art from London maintains in her famous Seven Days in the Art World (New York: C.C. Morgan & Company, Inc., 2009: xi) “the contemporary art world is a loose network of overlapping subcultures held together by a belief in art”. 

With that belief contemporary art community has a shared principle, or social morality, which provides a system of value concerning behavior in appreciating, consuming or selling and buying artworks. The world of contemporary art is not concerned with power but with belief in values as well as control over the belief, as power may become vulgar. 
Belief in values and its control is reliable; it indicates things correctly. So controlling belief in true and upright values is the true issue in the world of contemporary art today. 

So if Indonesia sees the rise of the issue of blown-up bubbles or fried artworks, through auction houses in particular, one should realize, despite the claim that such practice brings benefits to artist managers and makes collectors happy, that the harmfulness of the practice will be manifold.
Firstly, it will draw (or entrap) contemporary art community into a power conspiracy where collusion at the auction house – taking the place of belief in value and the control of the belief – will lead to artificial well-being, profit and cheerfulness, and transform the contemporary art community to a castle of sand nice to see but is not to be touched. 

Secondly, it will invisibly destroy the system of value and belief amidst art community that in the end imprison the community in just the vulgar game of money. Thirdly, it will ruin the authority of art community, entrap its members in networks that ignore the issue of dignity and sensitivity thus defiling the creative life of art. 
So if you want to buy artworks for collection and/or investment, in addition to your loving them, it would be better for you to first learn well about investment and how to collect. Or you could consult persons with significant experience in this, for instance owners of reputable galleries. 

At the end of this essay there could be the question whether we still need to voice truth. Is it possible to erect the pillar of truth amidst a horde of lying Pinnochios ?. [hendrotan ] 

----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------


BAHAYA BOLA BOLA BUIH
Tertulis tanggal 20 September 2011
Artikel ini telah terbit di Majalah Visual Art Vol. 8 pada November - December 2011 #51 (hal. 46 -51)

DI BALIK PRAKTIK GORENG-MENGGORENG SENIRUPA YANG SELAMA INI DINILAI MENGUNTUNGKAN SEMUA PIHAK, ADA KERUGIAN DAN BAHAYANYA. 

Memasuki gedung balai lelang internasional, pada umumnya pengunjung dibuat kagum dan terkesima. Sebab, selain bangunannya besar , tinggi dan anggun, penataan interiornya apik, rapi, bersih, aromanya harum, dan pencahayaan memadai. Selain itu sistem keamanan, ketertiban, pelayanan informasi, registrasi, pelayanan minuman dan kue kecil gratis, kesemuanya terpadu. Ditambah pengaturan barang seni yang akan dilelang , baik itu berupa lukisan, fotografi dan patung, yang kontemporer, post-war, modern, impressionist, tradisional; maupun kaligrafi Hanji, sampai dengan arloji, batu mulia, batu permata, jadeite aneka perhiasan mewah, keramik antik, jubah antik dan fine wine tampil menarik. 

Bagi yang berminat ikut lelang, proses pendaftaran hingga mendapatkan pedel dan buku lelang atau memilih yang ringan praktis bernama mini mag / thumbnail berlangsung cepat. Bagi kolektor dan pemain pasar, bisa pre-viewing dua atau tiga hari sebelum hari H, dan bisa minta condition raport. 

Pada suatu hari di jam lelang lukisan kontemporer, saya menjadi bagian dari sekitar 150-an orang yang duduk maupun berdiri di floor. Mereka adalah peminat serius atau sekedar pencatat data. Sedangkan yang di atas panggung selain auctioneer yang didampingi dua asistennya yang pada berdiri, juga ada di mimbar samping duduk sekitar 15 orang operator untuk membantu peminat (kolektor atau pemain pasar) yang berkehendak phone bids (atau absentee bids yang dititipkan pada auctioneer). 

Auctioneer (juru lelang) mengetok palu, suaranya menggema memenuhi ruangan. Harga barang seni yang berestimasi US$ 40 ribu - 60 ribu terjual US$ 550 ribu (setara Rp. 4,7 milyar). Melihat barang di lot tersebut, yang proses lelangnya tidak didukung oleh peserta lelang di floor, segera muncul kecurigaan bahwa ini reka-goreng yang dilakukan vendor. Sepengetahuan saya yang “bermain” begini biasanya manajer perupa atau si empunya hajat. 

Terhadap praktik seperti ini, bagi kolektor maupun pemain pasar dari Indonesia yang telah berpengalaman pasti sudah tahu. Selama ini di kancah internasional, buyer dari Indonesia dikenal memiliki “penciuman yang tajam”. Celakanya bagi kolektor muda dan pemain pasar pemula, serta mereka yang “hanyut” oleh pembisik cantik jelita. ada saja yang tersihir permainan lelang seperti itu. Khususnya karya yang dalam waktu singkat meroket gila-gilaan, bisa sepuluh kali lipat bahkan lebih, sedangkan mutu karya dan brand perupanya berkelas medium. Perupanya belum teruji track recordnya secara nasional apalagi internasional, dalam arti karyanya belum di koleksi museum sekelas MoMA; belum pernah pameran tunggal di galeri internasional; belum terundang sebagai peserta primer (special invitation) di Venice Biennale misalnya. Jadi harga yang terbentuk / dibentuk jauh melewati batas nilai riil karya. Selama ini harga pasar maupun di privat sale-nya lukisan perupa yang “laku” Rp.4,7 milyar itu, tak pernah lebih dari US$ 70.000, setara Rp. 600 juta. 

Mereka lupa, bahwa hal di luar kewajaran ini, cepat atau lambat akan melahirkan persoalan-persoalan baru, yang pada akhirnya akan ketahuan belangnya. Peristiwa tersebut membuat para peserta lelang di floor terheran-heran, lalu menyunggingkan senyum sinis. 
Harusnya, peningkatan harga karya perupa kontemporer, berjenjang mengikuti perkembangan estetika dan pencapaian artistik : mutu karya, kualitas bentuk-capaian, kemahiran teknis dan kedalaman gagasan disertai visi pemikirannya, juga catatan reputasi (perupa) yang telah terbangun. 

Mungkin manajer yang menggoreng karya perupa di “wajan raksasa” (balai lelang internasional) bertujuan ingin membentuk kontruksi harga pasar bagi karya perupa bersangkutan, seraya membranding perupanya dalam waktu sesingkat-singkatnya. Dengan “meminjam” pengaruh atau daya influence sebuah balai lelang dia nekad mengambil jalan pintas bahkan membentuk jalan tol ke harga milyaran rupiah. Namun “penggelembungan bola-bola buih” seperti itu, sekali lagi, tetap tidak akan mudah mengecoh pengamatan para kolektor dan pemain pasar yang berpengalaman. 

Satu di antara banyaknya bahaya penggelembungan bola-bola buih itu, harga yang terbentuk secara awu-awu atau sangat mencurigakan, sampai kapanpun tidak akan memperoleh pengakuan. Imbasnya, ketika harga – harga itu stagnant (macet tidak ada pembeli) maka publik, khususnya pemain pasar pun, melepas karya perupa tergoreng, yang dampak lanjutannya adalah karya – karya perupa tersebut tidak diminati publik lagi; Bahkan mendengar / membaca namanya pun, orang akan alergi. 

Permainan Kapitalis Internasional 

Seperti kita ketahui bersama, para pemodal kuat atau kapitalis internasional yang bermain di barang seni kontemporer dan old master, banyak yang berasal dari pemain di bidang properti, dan pasar modal. Lantaran berbagai krisis yang melanda negeri Paman Sam dan beberapa Negara di Eropa beberapa tahun ini, maka pemodal dan kapitalis itu mengalihkan uang dan perhatiannya ke investasi barang seni, khususnya karya seni kontemporer dan old master. 
Nah, kesempatan ini tidak disia-siakan oleh berbagai pihak, mulai dari manajer perupa kontemporer dan … (silakan ditebak, siapa). 

Peluang emas ini oleh siapa yang Anda tebak itu ditawarkan kerjasamanya kepada seniman atau perupa yang potensial ( baca : menurut mereka karyanya diminati bahkan diburu oleh pasar, jumlah edarnya masih sedikit dan terkendali, kualitas karya cukup bagus, kuat, dan semangat eksplorasi perupanya cukup konsisten). Sistem kerja mereka tak ubahnya seperti industri perfilman, berskenario rapi : 1) Didahului promosi lewat seminar di ruang publik bertema kolektor berbicara tentang seni. 2) Mengirim beberapa tim penjelajah , semuanya bule, terdiri dari rombongan kolektor, direktur museum berikut kuratornya, cucu cicit maestro, masuk ke daerah basis perupa dan sentra kolektor. Pada umumnya antar tim tidak saling mengenal, bahkan mungkin bule-bule itupun tidak sadar kalau dimanfaatkan oleh sebuah sistem. 3) Promosi dengan beragam alasan pembenaran, termasuk menggunakan teori-teori yang diambil dari buku setebal bantal, ditambah info bocoran bisik bisik yang didengungkan kesana- kemari bahwa telah ada si anu yang suka dan diperkirakan hamer pricenya Rp. 4 miliar., 4) Saatnya digoreng dan dilepas berangsur ke pasar lelang dengan harga “langit” dengan pembagiannya 50 : 50. Oleh karena latar belakang harga langit yang tercapai di balai lelang ini adalah tirai hitam yang berlapis, maka sebaiknya Anda tidak mengagumi apalagi mempercayainya. 

Untung, tapi Membusukkan 

Menggoreng barang senirupa di ajang lelang dinilai sudah lumrah dan membuat berbagai pihak happy karena untung. Perupa yang karyanya berhasil digoreng, kekayaannya meningkat ; manajernya kian bermodal; kolektor dan pemain pasar tadinya membeli murah berhasil meraup untung banyak, balai lelang mendapat fee premium jauh lebih tinggi angkanya. 
Pengamat seni rupa dari London, Inggris, Sarah Thornton, dalam bukunya yang terkenal, Seven Days in the Art World (New York: C.C. Morgan & Company, Inc., 2009: xi) menyatakan, dunia seni rupa kontemporer adalah sebuah jaringan kerja kawanan bersama yang bebas-lepas dalam masyarakat khusus yang saling melingkupi dan yang dierat-satukan oleh kepercayaan kepada seni rupa. 

Dengan kepercayaan tersebut, maka masyarakat seni rupa kontemporer memiliki azas bersama atau moralitas sosial sebagai sistem nilai atas perilaku dan tindak-tanduk mereka dalam mengapresiasi dan mengonsumsi atau menjual dan membeli karya seni rupa. Bahwa dunia seni rupa kontemporer bukanlah perkara kekuasaan, melainkan perkara kepercayaan atas nilai dan kontrolnya pada kepercayaan tersebut, karena kekuasaan bisa menjadi vulgar. 

Sedangkan kepercayaan pada nilai dan kontrolnya lebih bijak, lebih menunjukkan sesuatu dengan tepat. Maka kontrol atas kepercayaan pada nilai yang benar dan jujur merupakan sebenar-benarnya perkara di dunia seni rupa kontemporer saat ini. 

Dengan demikian, jika di Indonesia pun kemudian muncul persoalan penggelembungan bola-bola buih atau menggoreng karya seni rupa, utamanya lewat balai lelang, sekalipun ini diklaim menyejahterakan perupa, menguntungkan manajer perupa, dan menggembirakan kolektor—maka harus disadari bahwa persoalan itu bakal mendatangkan kerugian yang berlapis-lapis. 

Kerugian kesatu, persoalan itu akan menghela (kalau bukan menjebak) masyarakat seni rupa kontemporer dalam konspirasi kekuasaan di mana perbuatan kolusi di dalam balai lelang—menggantikan kepercayaan atas nilai dan kontrolnya pada kepercayaan tersebut—yang berujung pada kesejahteraan, keuntungan, dan kegembiraan yang semu, dan akan mengalih-ubah dunia seni rupa kontemporer serupa istana pasir yang enak dipandang, namun jangan ( atau tidak boleh ) disentuh. 

Kerugian kedua, akan merusak sistem nilai dan kepercayaan di tengah masyarakat seni rupa yang akhirnya memenjarakan mereka pada semata permainan uang yang kasar. Dan akan memerangkap mereka dalam jaringan-kerja yang lupa untuk bermartabat dan tak mau berperasaan sehingga membusukkan kehidupan kreatif seni rupa. 

Karena itu kalau ingin membeli karya seni untuk di koleksi maupun investasi selain karena suka sebaiknya Anda mempelajari terlebih dulu ilmu investasi dan ilmu mengoleksi, atau konsultasi pada mereka-mereka yang pengalaman, misalnya saja pemilik galeri yang bereputasi baik. 

Di penghujung tulisan ini mungkin akan timbul pertanyaan masih perlukah kebenaran disuarakan ? mungkinkah tonggak kebenaran bisa ditegakan ditengah kerumunan pinokio ?. [hendrotan]


PINOCCHIO, BLACK HOLE AND THE FRYING GAME

PINOCCHIO, BLACK HOLE AND THE FRYING GAME
by hendrotan – Owner of Emmitan Contemporary Art Gallery
Written on November, 20. 2011

Excessive Frying of artworks will generate a black hole  

Geppetto thinks he is the best in making wooden puppets. Well, it must be admitted that he knows the secret of how to implore a spirit to dwell in the body of a puppet he makes although Geppetto also has “the skill” to beg for mercy in the confession room then complain about many things to the priest. For instance, he complains about his boy (Pinocchio) who already tells lies twenty-three times; should Geppetto just let Pinocchio’s nose keep growing longer along the Kaliurang Road that it will disrupt the movements of the students of Gadjah Mada University and The Indonesian Institute of the Arts in Yogyakarta?

“There must be something wrong in the way you educate the boy”, says Geppetto’s friend Yellag. “Huh”, Geppetto cuts him short. “What’s wrong?! Pinocchio is better and more sophisticated than Asimo  (the humanoid robot from Japan), isn’t it? Pinocchio follows my instruction to tell everyone that I, Mr. Geppetto, only makes six duplicates a year. This is in order to raise their prestige and value from 250 million to 5 billion each, even though only two sculptures sell a year. So nice, so nice ... ha ha...” 
Geppetto, Pinocchio and Yellag disappear in a wink as I wake up. Yet the “event” in my dream that night makes me think about two issues. First, does the dream signify that contemporary artists’ achievements can be authorized and confirmed by their managers and ‘Mr. X’ (please make a guess) who find Geppetto’s Pinocchio amazing and worthy of some instant increase in the pricing so as to make it more lucrative? 

Second, does the quality of Pinocchio the wooden puppet really beat Asimo Robot’s? In fact Asimo the robot has already got international recognition, and thirty years of unrelenting research, various experiments and developments precede its actual production. Pinocchio’s “strong point” in comparison with Asimo is the cleverness of the former in telling lies. “Most interestingly”, the bigness or smallness of the lies is immediately noticeable through the extent of the growth of Pinocchio’s nose. The bigger the lie, the bigger and longer the growth of his nose will be. 

Today it is important for us – shareholders of art – to collectively realize that the world of art should not have been that of Pinocchio. Only then our common home could be comforting to us. 

Regarding contemporary artists in particular I am of the opinion that in order for them to be famous they need to have at least : 

1.   Track or reputation records (portfolios), which form an aesthetic factor.
2.   Consistent explorative spirit coupled with vision and profound thinking that progressively 
      improves from one achievement to the next (they all form an aesthetic factor too). 

3.  The attitude or character that doesn’t let oneself in luxuries, with readiness to live a modest  
      life and compassion for the poor around one and even the willingness to “suffer” for the sake 
      of digging deep into the mystery of art (this, too, concerns aesthetics).
4.  Technical abilities increasingly mature, increasingly charming coloration, progressively  
      improving composition and formal achievements – these are in terms of artistic features. 

Resting on those four pillars the price of an artist’s work will be formed in a natural way, step-by-step. Yet, when a contemporary artist’s manager and a certain ‘Mr. X’ decide to speed up the increase in the price of the artist’s work by means of their ‘frying game’, through inside trading they will be maneuvering in the circle of those who sanctify trickery, abuse of authority, and material greed above aesthetics and well-founded symbolical economic value. They don’t see that in the contemporary art world artists curators, galleries, collectors and market players represent a specific community that establishes and maintains VALUE, BELIEF, CONTROL AND MORALITY. Therefore any imprudent behavior shall be criticized and the discussion over it is growing like a snowball. 

When the contemporary artist’s manager and the ‘Mr. X’ are successful in their frying game and selling a work to a buying victim, the latter will quite soon learn that the work is over-priced. It turns out that when the buyer offers the work in private sale at a fifty-percent reduced price, nobody is interested (well, where have the second and next bidders at the auction gone?) When offered back to the auction house three years later, the work would easily be rejected on various reasons such as ‘the market is not buoyant’, ‘another vendor has supplied it’, ‘your purchasing price was too high, at present it is impossible to reach such level’ and so on and so forth  (which leave the victim whining). Let us remember that actually deceiving and victimizing is not the goal and even the enjoyment of our involvement in art. And such practice must sooner or later be noticed within the art world. 

Contemporary art community comprises so many interrelated networks. The interrelation generates dynamics. Such networks are:

    (1)    Those that deal with relationship and/or exchange of symbolic capital (artists, critics, 
             curators), cultural capital (galleries, museums, auction houses and the mass media), and 
             economic capital (collectors and market players). These three categories of capital often 
              intertwine in contemporary art world to provide its social basis. 

    (2)    Those that house unique and characteristic people who, through their uniqueness and  
             particular characters help art to crystallize art as cultural, symbolic and economic realms 
             where artists’ reputation, quality and price of work are discussed, argued and identified 
             on the basis of Value, Belief, Control and Morality. 

At the end of this note I am still dreaming about the pillar of integrity standing erect on the top of Grand Indonesia Jakarta Art District tower without pinocchios swarming. It is time for us to get mad at those who have disrupted Indonesian art by producing an unfathomable black hole, and shout at them: “Stop, don’t ever do it again!”

 Surabaya, December 6, 2011
.....................................................................................................................................................................


PINOKIO, LUBANG HITAM DAN GORENGAN
oleh hendrotan- Pemilik Emmitan Contemporary Art Gallery
Tertulis tanggal 20 November 2011

Menggoreng karya senirupa kontemporer secara berlebihan 
akan menghadirkan lubang hitam ( black hole )  

Gebeto  merasa dirinya paling jago membuat boneka kayu. Memang harus diakui dia memiliki ilmu mutasi  roh ketubuh boneka buatannya, walaupun Gebeto juga memiliki “kemahiran” memelas di Beichten ( bilik pengakuan dosa di gereja) lalu berkeluh kesah banyak hal pada Pastor. Misalnya saja, tentang anaknya ( Si Pinokio), yang telah berbohong dua puluh tiga kali; apakah harus dibiarkan saja hidungnya “mlanggrang” sepanjang jalan Kaliurang, sebab itu akan mengganggu lalu lalang para siswa UGM dan ISI Yogyakarta.

“Pasti caramu mendidik Pinokio bermasalah”, ujar teman Gebeto yang bernama Yellag. “Huh”, sergah Gebeto. “Apa yang salah! Kan Pinokio boneka lebih bagus dan canggih, dibanding Asimo  ( robot humanoid Jepang ). Pinokio bisa mematuhi kata pesanku untuk bertutur pada semua orang, kalau Pak Gebeto hanya membuat kembarannya setahun 6 patung saja. Ini demi mengangkat martabatnya, yang tadinya 250 juta aku naikkan 5 milyard, biarpun hanya laku 2 patung setahunnya. Sonice sonice he he….”

Gebeto, Pinokio dan Yellag sekejab lenyap begitu saya terhenyak bangun. Tapi “kejadian” dalam mimpi semalam itu membuat saya berfikir dua hal. Pertama, apakah impian tadi bermakna, bahwa pencapaian perupa kontemporer bisa dikukuhkan oleh manajer perupa dan si X ( silahkan ditebak siapa ) yang merasa bahwa Pinokio karya Gebeto itu bagus dan pantas harganya di mahalkan dengan segera dan secepatnya (instant)   agar bisa menghasilkan keuntungan lebih besar.

Kedua, apakah robot Asimo telah dikalahkan kwalitasnya oleh boneka kayu Pinokio ? Pada hal, si robot Asimo telah mendapat pengakuan internasional, dan pada saat membuatnya didahului oleh riset dan berbagai percobaan dan pengembangan tanpa mengenal lelah selama 30 tahun. “Kelebihan” Pinokio, yang tidak dimiliki oleh Asimo, adalah kepandaian berbohong. “Hebatnya”, besar kecilnya kebohongan itu bisa langsung kita lihat dari besar kecil dan panjang pendek, ukuran hidungnya. Semakin besar kebohongan Pinokio, semakin besar dan panjang pula hidungnya.

Kini, penting bagi kita – para pemangku kepentingan seni rupa --  secara bersama-sama menyadari, bahwa dunia seni rupa sudah seharusnya bukan dunianya Si Pinokio. Supaya rumah kita bisa nyaman kita tempati bersama-sama. 

Khusus menyangkut perupa kontemporer, saya berpandangan bahwa untuk mencapai kemashurannya seseorang paling kurang membutuhkan :

1.  Catatan perjalanan atau reputasi ( porto folio ) sebagai faktor estetika.
2.  Semangat eksplorasi yang konsisten disertai visi pemikiran dan kedalaman gagasan                                                
      yang lebih bagus dibanding pencapaian sebelumnya ( ini masuk faktor estetika juga )
3.  Sikap atau Karakter yang tidak memanjakan diri dengan gelimangan kemewahan, berani 
     dan niat hidup sederhana dan mau peduli pada masyarakat miskin sekitarnya bahkan  mau 
    “menderita” untuk menggali dalam –  dalam misteri kesenian (masih estetika )
4.  Kemampuan teknis yang kian matang , perpaduan warna kian menarik, tata atur kian indah 
     dan berkwalitas bentuk capaiannya, ini untuk artistiknya.

Harga karya perupa akan terbentuk secara alami dan berjenjang oleh empat pilar tersebut. Bilamana seorang manajer perupa kontemporer  dan siapa yang Anda tebak itu berkeputusan harus mempercepat naiknya harga karya perupanya lewat gorengan, maka mereka dengan pola inside trading-nya bergaul dilingkungan status yang menghalalkan liciknya kekuasaan dan keserakahan material di atas estetika dan nilai – nilai ekonomi simbolis yang bermartabat. Mereka tidak mengerti bahwa di masyarakat senirupa kontemporer mulai dari Perupa, Kurator, Galeri, Kolektor dan Pemain Pasar adalah merupakan sekawanan masyarakat khusus yang mengukuhkan NILAI, KEPERCAYAAN, KONTROL DAN MORAL. Sehingga, apapun sepak terjang yang kelewatan akan dikritisi dan dibicarakan seperti bola salju menggelinding kian membesar. 

Bilamana manajer perupa kontemporer atau siapa yang Anda tebak itu berhasil menggoreng terjual pada korban, maka korban yang berdarah – darah itu tak lama akan mengetahui bahwa karya yang dia beli adalah amat sangat over price. Terbukti bahwa karya tersebut ditawarkan lewat private sale dengan harga berkurang 50 persen pun tidak akan ada yang berminat ( lah kemana itu si second bidder dan urutan bidder lainnya ). Kalau dimasukan kembali pada balai lelang (setelah 3 tahun), balai lelang akan menolak dengan pelbagai alasan pasarnya masih sepilah, kami sudah dapat dari vendor lainlah, lukisan Anda itu harga belinya terlalu tinggi dan sekarang belum mencapai dan sebagainya, (merintihlah korbannya ). Mari kita ingat, sejatinya mengelabui orang agar menjadi korban, bukan merupakan tujuan bahkan kepuasan berkesenian. Dan praktik seperti itu cepat atau lambat pasti tercium medan sosial seni rupa.

Masyarakat senirupa kontemporer, di dalamnya terdiri begitu banyak jaringan kerja, yang berhubungan satu dengan yang lain. Dan karena hubungan itulah, sehingga timbul dinamika. Jaringan-jaringan dimaksud adalah :

  (1). Jaringan-kerja yang berkenaan dengan relasi dan/atau pertukaran modal simbolis 
         (perupa, kritikus, kurator), modal kultural ( galeri, museum, balai lelang dan media massa ) 
         dan modal ekonomi ( kolektor dan pemain pasar ). Ketiga modal itu saling berkelindan 
         antara satu sama lainnya di dunia seni rupa kontemporer dengan membanguan basis 
         sosialnya. 

  (2). Sekawanan masyarakat khusus, ini artinya, penghuni dunia seni rupa kontemporer 
         adalah orang-orang yang unik dan khas—yang keunikan dan kekhasannya mengkristalkan 
         dunia seni rupa kontemporer sebagai ranah cultural, simbolis  dan ekonomi di mana 
          reputasi, kwalitas, dan harga karya seni rupa (wan) diperbincangkan , diperdebatkan dan 
         ditetapkan berdasarkan Nilai , Kepercayaan, Kontrol dan Moral.

Diakhir tulisan ini saya masih mengimpikan tonggak kebenaran menancap dipucuk menara Grand Indonesia Jakarta Art District tanpa kerumunan Pinokio. Maka, sudah waktunya memarahi mereka yang telah merusak seni rupa Indonesia dengan menciptakan lubang hitam tak berbatas itu , seraya menegur : “Stop, jangan dilakukan lagi! “.