Kamis, 03 November 2011

THE HISTORY VISUAL ARTS OF INDONESIA

PERKEMBANGAN SENI LUKIS INDONESIA MODERN

Pada dewasa ini di Indonesia telah berkembang 2 golongan besar Seni Lukis Modern. Kedua golongan tersebut adalah Seni Lukis Indonesia yang berkembang di Bali dan satu lagi berkembang di kota-kota besar di Indonesia. Keduanya memiliki gaya dan perekembangan yang berbeda karena pada dasarnya di karenakan perbedaan latar, kebudayaan. GOLONGAN PERTAMA Pada golongan pertama adalah Seni Lukis Indonesia yang berkembang di daerah Bali. Sekitar tahun tiga puluhan seni lukis Bali terjadi suatu pembaruan yang dialami sedikit demi sedikit dari pergeseran perubahan dari seni lukis Bali kuno atau klasik. Sebelum terjadi perubahan itu, seni lukis Bali telah berkembang dengan pola seni lukis Klasi Tradisonal yang terkait oleh adat istiadat dan agama Hindu Bali. Sedangkan seni lukis tersebut bermotif dekoratif dan melukiskan kesusastraan kuno bali. Setelah terjadi pembaharuan dalam perkembangannya yang sedikit berbeda dengan seni lukis sebelumya tsb. Maka seni lukis Bali tidak lagi hanya melukiskan kesusastraan kuno,tetapi sudah mengambil objek seperti seni lukis modern. Begitu juga masalah teknik bentuk gayanya. Akan tetapi bagaimanapn juga masih tampak seperti induknya yaitu seni lukis Bali. Maka seni lukis modern yang berkembang di Bali masih dapat dinamakan Seni Lukis Bali karena masih tetap berhubungan dengan kesenian dan kebudayaan Bali sendiri. GOLONGAN KEDUA Sedang pada golongan kedua adalah Seni lukis Indonesia Modern yang berkembang di kota-kota besar. Sepeti Jakarta,Bandung Yogyakarta,Surabaya,Medan dsb. Pada umumnya pelukis-pelukis golongan kedua ini perna mengeyam pendidikan formal. Mereka merupakan hasil produk sekolah kesenian rupa atau sanggar-sanggar. Paling tidak pernah belajar atau membaca beberapa teori tentang hakekat seni modern. Ada beberapa yang memasukan unsur-unsur seni kedaerahan, atau hal yang bersifat tradisonal dalam pengolahan seni lukisnya. Tetapi kenyataannya tidak bisa dimasukan dalam kategori seni budaya daerah. Jadi pada prinsipnya masih tergolong seni lukis modern. Hal ini disebabkan terjadinya akibat pengaruh kebudayaan yang telah berkembang dan juga masuknya anasir kebudayaan Barat. Terutama pada masa penjajahan sampai pada sistim pendidikannya. Sehingga tidak dapat dipungkiri lagi bahwa perkembangan seni modern Barat atau Eropah memberikan adil berkembangnya Seni Lukis Modern di Indonesia.

GOLONGAN PERTAMA  SENI LUKIS BALI

Sebelum kita membahas tentang seni lukis Bali,sebaiknya lebih dulu kita melihat latar sejarah dan aspek kehidupan masyarakat Bali serta beberapa unsur-unsur penunjang kesenian di Bali. Bali dikenal sebagai daerah yang menarik dalam keseniaannya itu, pada kenyataanya ditunjang oleh berbagai aspek antara lain
a. Aspek kehidupan agama Hindu
b. Aspek ditimbulkan oleh benda-benda peninggalan sejarah di Bali.
c. Aspek pemerintah raja-raja di Bali
d. Aspek kehidupan sosial masyarakat
e. Aspek geografis dan alam Bali.

Aspek kehidupan agama Hindu,agama Hindu ini telah berakar kuat pada masyarakat Bali. Sekaligus menjadi tradisi dan adat istiadat masyarakat Bali untuk memeluknya. Dengan adanya berbagai upacara agama seperti piodalan Pura,upacara Panca Yadnya dsb. Maka peranan seni mendukung dan bahkan telah menjadi salah satu bagian integral dari agama Hindu di Bali. Setiap kegiatan keagamaan tidak akan terlepas dari kegiatan kesenian tsb. Sehingga dalam pertumbuhannya kesenian Bali selaras dengan agama menyebabkan keduanya terjalin kesatuan yang harmonis dan mesra. Aspek ditimbulkan oleh benda-benda peninggalan sejarah Peninggalan benda-benda purbakala dari jaman Batu Tua sampai Batu Baru. Juga peninggalan kebudayaan Hindu-Budha (sebelum pengaruh Majapahit). Peninggalan tersebut antara lain: Prasasti Tembaga, Prasasti Batu, Lontar dan Prasi, Arca, Peninggalan perunggu,Gerabah,berbagai gaya ragam hias. Peninggalan kuno antara lain; Neraka perunggu di Pura Penataran Sasih Pejeng. Relief di Yeh Pulu Petanu,gua gajah, pura gunung kawi, patung-patung dewi Gayatri di kuteri dsb. Aspek pemerintahan raja-raja di Bali Mempunyai pusat kebudayaan berkisar dari Pejeng ke Samprangan, Gelgel, Klungkung pada pemerintahan dalam Bali. Pada masa ini pengabdian terhadap seni bermutu tinggi untuk keindahan Pura (religi),dan Puri (istana). Bentuk gaya klasi tradisonal. Seperti hiasan pepatraan,pewayangan. Melukis cerita Mahabarata,Ramayana dsb. Karya seni ini dikerjakan bersama-sama. Aspek kehidupan sosial masyarakat Bali Masyarakat Bali berpegang teguh pada adat istiadat yang berlaku antara lain: Hukum adat, tata pergaulan sehari-hari,cara hidup berkelompok diman induvidu sebagai bagian masyarakat mempunyai hubungan yang erat antara satu dengan yang lainya. Seperti subak sakaha,tunggal kawitan,tunggal sanggah,banjar,desa. Aspek geografis dan alam Bali Bali dengan alam yang menarik dengan segala keindahannya turut melantar belakangi agama seni budaya dan adat istiadat yang serasi dan saling mengisi terwujutnya seni budaya Bali. Seperti pura yang didirikan di sekitar di sekitar pemadangan alam yang indah. Begitu juga dengannya adanya jalan yang berliku-liku di lereng gunung, sawah di punggung berbukitan, gunung membiru ,lembah dan ngarai,danau serta lautan,semua mewujudkan keindahan dan kemesteriusan alam Bali dan banyak menggugah serta menjadi sumber bahan inspirasi bagi seniman.

LATAR BELAKANG SEJARAH

Perkembangan kesenian Bali pada umumnya tidak terlepas dari faktor sejarah serta kondisi geografi daerah Bali. Sejak kerajaan Majapahit berpengaruh di Bali, menyebabkan Bali berhubungan baik dengan Jawa Timur. Sehingga menyebabkan kesenian Hindu Jawa berkembang baik di sana yang bercampur dengan kesenian setempat. Terjadi suatu pembaharuan serta pembauran,timbulah suatu keserasian dan melahirkan seni budaya Bali. Memiliki cita rasa dan ciri tersendiri, maka pembaharuan tadi menghasilkan Kesenian Bali yang kita kenal sekarang. Begitu pula adanya berbagai peninggalan. Menjelang pada abad XX Bali mulai mendapat pengaruh dari unsur budaya Barat. Ditandai dengan masuknya kekuasaan panjajahan Belanda di daerah Bali pada tahun 1908. Pembaruhan dengan adanya pengaruh anasir kebudayaan Barat dalam kesenian.dimulai sejak datangnya pelukis Impessionime dari Jerman bernama Walter Spies pada tahun 1926. Juga disusul dengan datangnya pelukis Belanda bernama Rudolf Bonnet pada tahun 1928. Akibat pengaruh kedua orang tersebut terjadi suatu gejala pembaruhan yang mencapai puncaknya dengan berdirinya kelompok “Pitha Maha” pada tahun 1934. Selanjutnya disusul dengan lahirnya seni gaya Ubud dan gaya Batuan. Pada tahun 1928 telah didirikan museum yang menyimpan benda-benda seni berupa lontar dan prasi. Museum tersebut didirikan di daerah Bali utara yaitu kota Singaraja,dengan di beri nama “Gedung Kirtya” Pada tahun 1956 berdiri sebuah museum yang menyimpan lukisan dengan nama museum “Puri Lukisan’’, sedangkan pendirinya adalah sebuah badan yang bernama Yayasan Ratna Wartha. Kemudian menyusul lagi museum Lukisan “Le Mayeur” berada di sekitar pantai Sanur Bali. Juga pada tahun 1982 yayasan Dharma Seni mendirikan sebuah museum lukisan dengan nama “museum Neka”, didirikan di daerah Ubud. Dengan akibat masuknya pengaruh seni budaya modern, maka timbul juga pembaharuan dalam sikap mental dari yang bersifat komunal menjadi individual. Dari seni “kesanggingan” menjadi bentuk seni “kekinian”. Pembaharuan tersebut karena pada umunya masyarakat Bali mudah menerima sesuatu yang baik dari luar,dengan didahului oleh seleksi dan kemudian menjadi milik sendiri. Akibat tersebut sehingga terjadi tiru-meniru dalam kalangan seni,akibat identitas pribadi semakin menipis menadi identitas banjar attau desa. Sedang pembaruhan yang mendasar dialami oleh generasi muda dengan melalui pendidikan formal dan disiplin ilmu kesenirupaan, dengan teknik modern muncul berbagai bentuk karya seni yang berkonsep modern dan menumbuhkan identitas gaya pribadi.

PEMBAGIAN GAYA DALAM SENI LUKIS BALI

Sejak adanya pengaruh gerakan dari kelompok “Pitha Maha”, maka pembaharuan dan modernisasi dalam seni lukis terjadi perkembangan yang pesat. Akan tetapi dalam bentuk dan gayanya masih dikatakan dalam garis ciri khas seni lukis Bali. Pada perkembangan tampak berbagai kecenderungan yang dapat di kategorikan menjadi beberapa hal antar lain:

1. SENI LUKIS KLASIK KAMASAN
2. SENI LUKIS PITHA MAHA
3. SENI LUKIS YOUNG ARTIS
4. SENI LUKIS AKADEMIS

Seni Lukis Klasik Kamasan Merupakan kelanjutan dari tradisi melukis wayang. Bentuk gayanya tidak auh berbeda dengan wayang kulit. Hanya pelukisan wajah figurnya tampak tiga perempat dan kedua belah biji matanya kelihatan. Perkembangan seni lukis ini sudah dimulai sejak abad XVI, pada saat kerajajn Gelgel jatuh dan pemerintahan berpindah ke Klungkung. Banyak didapatkan berbagi hiasan pada pura dan puri dengan gaya seni lukis ini. Peninggalan yang masih ada dan terawat baik. Terdapat pada gedung Kerthagosa di daerah Klunkung sekarang Pada tahun 1686 muncul seorang pelukis (sangging) bernama Sangging Mahudara di Klungkung,dan beliau menjadi pelopor pada perkembangan seni lukis klasik kemasan ini. Sedang kamasan diambil dari nama sebuah desa yang menjadi pusat berkembangnya seni lukis ini sampai kini. Ciri-cirinya antara lain : • Bahan dasar sebagai kanvas dari kain tenun, blacu, papan, triplek, herd board. • Warna yang digunakan antara lain: merah (dari batu), biru (blau), kuning (tanah pere), hitam (langes), putih (tulang). Untuk warna lain dengan mengolah warna-warna pokok tersebut. • Alat yang berupa kuas dibuat dari bambu dan pena yang di baut dari bahan sejenis kayu yang diruncingkan. • Tema diambil dari cerita Ramayana, Mahabarata, Baratayudha, cerita malet atau cerita panji, Sucasoma, dan pelintangan atau kalender kelahiran. Pada mulanya seni lukis ini dikerjakan secara komunal (kolektif) yaitu dikerjakan bersama oleh beberapa orang. Tapi perkembangan selanjutnya mucul pribadi-pribadi antara lain:

• Mangku Mura • Ida Bagus Made Gelgel • I Nyoman Mandra • I Wayan Lengket Seni

Lukis Pitha Maha

Dengan adanya pengaruh 2 orang pelukis yang datang ke Bali. Mereka adalah Walter Spies dan Rudolf Bonnet, berpengaruh terhadap perkembangan seni lukis Bali dengan adanya pelajaran dan didikan tehnik modern ala Barat pada pelukis-pelukis Bali saat itu. Kemudian atas bantuan dari Cokorda Ngurah Lingsir, pada tahun 1935 mendirikan organisasi tersebut antara lain:

1. Bertujuan memajukan dan mengembangkan seni daerah.
2. Bertujuan untuk meningkatkan mutu hasil seni.
3. Membantu menyelenggaraan pameran hasil karya dari pedan komisi baik ke luar daerah maupun ke luar negri.

Sebagai ciri umum lukisan gaya ini menunjukan perubahan dari gaya klasik tradisonal menuju pada bentuk baru yang sedikit agak berbeda, tetapi masih tetap ada ciri khas gaya akarnya. Pembaharuan ini di pelopori dengan gaya pribadi dari karya I Gusti Nyoman Lempat dalam seni lukisnya. Sedangkan pada seni Patung dipelopori oleh I Tjokot melahirkan “cokotisme”. Serta gejala pembaruan seni patung realis. Pada masa Pitha Maha ini gejala perkembangan terdapat 2 gaya yang agak berbeda yaitu seni lukis gaya Ubud dan seni lukis gaya Batuan. Masing menujukan ciri dan bentuk yang berbeda sesuai daerah perkembangannya. Seni Lukis Gaya Ubud Gaya seni lukis ini berkembang di daerah Ubud dan sekitarnya sampai kini. Merupakan perkembangan dari gaya klasik yang mengalami modernisasi. Adanya gaya pribadi yang tampak. Ciri-cirinya antara lain:

• Tehnik sudah modern, bahan dasar memakai kanvas dari blanco, drill, metting, kertas dsb. • Alat-alat yang dipakai sudah seperi seni lukis modern, seperti potlot, pena, kuas cina dsb. • Cat yang mereka pakai tidak lagi bahan alam melainkan bahan-bahan hasil produksi pabrik, seperi cat air, cat acrylic, cat minyak, dan juga telah memakai fixatif (pelapis). • Tema yang mereka ambil tidak lagi cerita sastra tapi objek sehari-hari seperti petani di sawah, upacara pura, keramaian pasar, tari-tarian dsb. Penganutnya antara lain:

• I Gusti Nyoman Lempat • I Gusti Ketut Kobot • Ida Bagus Made • Anak Agung Gede Sobrat • I Wayan Turun

Seni LukisGaya Batuan

Seni lukis modern gaya Batuan ini berkembang di daerah Batuan dan sekitarnya. Juga merupakan perkembangan gaya seni lukis klasik yang memiliki ciri khas Batuan. Pada gaya Ubud masih tampak gaya lukisan wayang, tetapi pada gaya Batuan ini sudah tidak menampakkan gaya lukisan wayang lagi. Gaya Batuan lebih menonjolkan warna hitam dan putih pada latar belakang, hijau dalam (kolam) untuk warna dedaunan, dan merah kecoklatan untuk warna kulit manusia. Sehingga menampakan suasana malam dan menakutkan. Ciri-cirinya antara lain: • Bahan yang digunakan tidak berbeda dengan gaya lukisan Ubud. • Alat-alat juga sama, begitu pula dengan cat yang dipakai • Tema yang daiambil dari cerita rakyat yang populer dan tema kehidupan sehari-hari yang bebas. • Teknik pada gaya Batuan lebih teliti dengan adanya motif dekoratif yang lebih rumit, maka perlu adanya kecermatan kerja bagi pelukisnya. Penganutnya antara lain: •

Ida Bagus Made Wija • Ida Bagus Made Togog • I Wayan Rajin Seni

Lukis Young Artis

Pada tahun 1961 muncul aliran dengan corak baru yang sebelumnya tidak pernah di duga. Lukisan gaya ini dengan corak dekoratif yang naif. Kemunculannya berpusat di desa Penestan dekat Ubud. Sedang promotor dari gaya ini adalah seorang pelukis dari Belanda Ari Smith. Dengan bimbingan dan motivasi yang diberikan pada anak-anak di desa itu untuk melukis sebebas-bebasnya. Jadi anak melukis bebas sesuai kemampuan yang dimiliki dan segala fantasinya maka lukisan itu menunjukkan spontanitas besar. Lahirlah lukisan dekoratif yang naif dan kekanak-kanakan, warna segar dan cemerlang sehingga lukisan tersebut dinamakan Seni Lukis Gaya Young Artis. Ciri-cirinya antara lain: • Bahan dasar memakai kanvas atau kain yang sudah seperti pada seni lukis modern. • Cat yang dipakai cat minyak, dengan mengunakan medium dari minyak tanah agar tidak mengkilat,menggunakan plamir untuk pelapis dasar dari cat tembok dan lem. • Alat-alat yang dipakai beruupa buatan pabrik seperti pada seni lukis modern. • Tema yang diambil ialah kehidupan sehari-hari yang terus terbawa, petani, nelayan, tari Barong, tari Arja dsb. Penganutnya antara lain:

• I Nyoman Cakra • I Ketut Soki • I Ketut Puduh • I Ketut Tagen • I Ketut Pugur • I Ketut Londo • I Ketut Mujung


SENI LUKIS MODERN YANG BERKEMBANG DI KOTA-KOTA BESAR

Seperti yang telah dijelaskan di muka bahwa pada golongan seni lukis kedua ini berkembang di daerah kota-kota besar di Indonesia. Terutama kota-kota antara lain: Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Surabaya, Medan, Semarang, Ujung Pandang dsb. Pada umumnya di kota banyak tersedianya sarana dan prasarana yang memungkinkan berkembangnya seni lukis modern berkembang dengan pesat. Apalagi ditunjang dengan adanya pendidikan formal, yakni akademi kesenirupaan dan munculnya berbagai kelompok seniman dengan sanggarnya, ataupun studio seni pribadi dimana seniman bekerja. Begitu pula ditunjang adanya fasilitas lain seperti faktor transportasi yang mudah, komunikasi, serta ekonomi yang lebih memungkinkan, sdang yang lebih penting adalah faktor kebutuhan dan pandangan hidup masyarakat dengan kebudayaan yang modern. Perubahan dari sikap hidup masyarakat inilah yang memungkinkan bertumbuhnya seni modrn dalam masyarakat modern seperti yang tampak dalam masyarakat kota besar tersebut. Walaupun tidak dapat dipungkiri faktor tradisional masih dibawa sebagai suatu kecenderungan kecil. Begitu pula dalam hal karya seni modern yang berkembang di Indonesia masih juga terdapat kecenderungan untuk memasukan unsur seni tradisonal. Tetapi pada dasarnya masih tetap sebagai seni modern. Dalam seni lukis pada golongan kedua, dapat dikatakan seperti bentuk seni lukis modern yang ada di negara-negara Barat. Karena pada dasarnya adanya pengaruh baik itu secara langsung maupun tidak langsung. MASA KEDUA Pada sekitar tahun 1940 telah tumbuh seni lukis dengan gaya mengungkapkan pengalaman dalam hidup. Tampak adanya perwatakan dan keadaan jiwa tegang dan gelisah pada lukisan. Mengingat perasaan atau energi terhadap objek yang dilukiskan oleh mereka MASA KETIGA Berlangsung sesudah masa tahun 1960. Pada masa ketiga ini telah tumbuh gaya atau corak seni lukis abstrak. Objek lukisannya telah sukar untuk dinikmati dan dikenal bentuknya.

I. SENI LUKIS PADA MASA PERTAMA 1900-1940

Yaitu seni lukis yang tumbuh di Indonesia dengan berobjek pada pemandangan alam. Faktor-faktor penyebabnya antara lain: Karena pengaruh pelukis Belanda pada jaman Hindia Belanda. Seni lukis tersebut telah berkembang sejak tiga sampai empat abad yang lalu di Eropa. Adanya cita – cita kaum pedagang Eropa dengan membawa seni lukis pemandangan alam sejalan dengan kemajuan dan perkembangan kaum pengusaha dan saudagar. Serta pada kenyataanya pelukis jaman itu memang senang membuat objek dari lukisannya mengambil tema pemandangan alam. Karena saat itu seni lukis ini mendapat tanggapan yang baik, terutama dari kaum menengah. Penganutnya antara lain:

• Abdullah S.R. • Mas Pirngadi • Wakidi

Dalam lukisan mereka telah mencoba membuat suatu gaya dengan cara menghilangkan bayangan peradapan jaman modern. Dengan memindahkan dan mengaturnya letak dan susunan pohon atau rerumputan. Seolah-olah mereka memperbaiki keadaan alam dalam lukisannya. Perhatian yang lain ialah dengan adanya kesan warna panas, dingin dsb. Hal tersebut memang berusaha untuk mengubah suasana segar dan menyenangkan. Sedang teknik melukis merka masih menggunakan ketentuan-ketentuan dalam seni lukis Belanda. Perspektif juga mendapat perhatian khusus, dalam bidang di bagi menjadi 3 yaitu depan, tengah, dan belakang. Pada ruang yang ditojolkan diberi penekana cahaya. Warna telah diatur pada palet agar tidak menimbulkan warna yang kotor, kemudian dikuaskan dengan halus serta teliti pada kanvas.

II. SENI LUKIS PADA MASA KEDUA 1940-1960

Di masa ini telah berkembang gaya seni lukis yang mengungkapkan perasaan dan gaya emosi pibadi. Beberapa faktor kecendrungan: Pertama, Pelukis dengan langsung menghadapi objeknya saat melukis serta digerakan oleh emosinya yang erat dengan objeknya. Kecenderungan mendistorsi objek dengan mengubah bentuk dan proposinya serta warna. Sehingga terjalin hubungan erat antara emosi dan distorsi yang menyatu dalam bentu lukisan yang terlahir. Tampak susunan rupa yang dinamis dengan ditunjang tarikan garis dan sapuan kuas yang leluasa, spotan dan tegas. Oleh karena itu tampak kusam karena warna di campur di atas kanvas. Tergeraknya emosi tidak saja pada wujud rupa melainkan juga pada makna obyeknya. Hubungan antara dengan pengalaman dan pikiran. Pengalaman akan kehidupan sosial rakyat di sekitar banyak memberikan inspirasi atas lahirnya karya lukis. Terutama bagi mereka yang tergabung pada SIM ( Seniman Indonesia Muda ) dan pelukis Rakyat antara lain:

Sujoyono, Affandi, Hendra Gunawan, Surono, Henk Ngantung, Trubus, Tarmizi, Otto Jaya, Dullah, Hariyadi, Amrus Natalsya.

Beberapa yang menunjukan kecendrungan ungkapan emosi pribadi antara lain:

Basuki Resobowo, Sholikin, Oesman Effendi, Zaini, Nashar.

Kedua, Gaya dengan objektifitas lebih besar juga berkembang dalam masa ini.

Pelukis mengamati suatu objek, lalu emosinya mendistorsi yang dilihatnya tadi. Mereka yang menganut konsep ini antara lain:Sujoyono, Menk Ngantung, Hariyadi, Dullah, Trubus. Pada perkembangan sekitar tahun 1940-1960 ini, sementara kritikus banyak yang mengecam pada seni lukis modern,karena sukarnya untuk dipahami oleh masyarakat biasa. Mereka lebih suka pada gaya realistis (nyata). Mereka menolak dan mengeritik agar seni lukis masa itu berkembang dengan meninggalkan abstraksi objeknya. Akan tetapi pada kenyataanya seni lukis tetap mengarah pada abstraksi lebih besar. Demikian juga para pelukis tetap pada konsep pribadi yang mengarah pada gaya lukisan yang jauh dari realisme.

Ketiga, Pada kencendrungan lainya mengarah adanya subjektifitas dan fantasi.

Berbagai proses kejiwaan seperti khayal, lamunan, mimpi, mithos dan sebagainya terlahir dalam karya seni lukis. Dari tinjauan seni psikologis menunjukkan bahwa semuanya itu merupakan protes terhadap kenyataan yang bermakna. Tetapi munculnya tidak berdasarkan logika kenyataan saat kita dalam keadaan terbangun. Dengan fantasi dapat melahirkan citra yang menyenangkan, mencekam atau juga menakutkan yang melalui prinsip irrasional. Beberpa pelukis yang berkecenderungan ini antara lain:

Sudibio, Agus Jaya, Sukirno.

Keempat Gaya seni lukis dekoratif atau hias juga berkembang pada masa ini.

Kebanyakan menggunakan obyek pohon atau daun yang digayakan atau dipolakan. Watak garis diperjelas, irama berulang-ulang, serta pola teratur dan rapi. Perkembangan dari gaya hias ini tidak cenderung menggayakan bentuk obyek sebagai model, melainkan menyusun berbagai elemen-elemen rupa yaitu garis, warna, tekstur, bidang menjadi bentuk umum. Sedang obyek manusia atau binatang bukan lagi seperti yang kita kenal. Tidak lagi melukiskan potret sesorang. Tetapi melukiskan perlambangan juga tidak oyektif melainkan adanya abstraksi yang lebih besar. Beberapa penganutnya antara lain:

Kartono Yudhokusumo, Hendra Gunawan, batara Lubis, Widayat, Abas Alibasyah, bagong Kusudiarjo, Suparto.

III. MENJELANG SENI LUKIS ABSTRAK 1955-1960

Pada masa ini berkembang gaya seni lukis yang menunjukkan peralihan dari gaya yang telah ada menuju pada perwujudan gaya seni lukis abstrak. Gaya ini terutama muncul di kota-kota seperti Jakarta, Bandung, dan Jogjakarta. Di Bandung tampak pada karya-karya dari Ahmad Sadali, Mochtar Apin, Srihadi, Popo Iskandar, But Mochtar, Yusuf Effendi. Sedang di Jakarta pada Oesman Effendi. Di Yogyakarta pada karya G. Sidharta, Fajar Sidik, Handriyo, Abbas Alibasyah. Pada masa peralihan ini tampak suatu usaha untuk merombak bentuk-bentuk obyek menjadi motif-motif yang datar. Terjadi dari perpotongan garis lurus dan lengkung yang membagi permukaan dari kanvas, warna serta bidang-bidang geometris. Kecenderungan dari masa ini tampak lebih bebas dalam penyusunan bentuk-bentuk abstrak. Penyusunan rupa yang ekspresif sebagai segi liris serta memuaskan perasaan rupa untuk segi estetik. Maka mulai saat ini telah muncul suatu gejala peralihan dalam pembaharuan seni lukis Indonesia. Kemudian lahir bentuk seni lukis abstrak Indonesia.

IV. SENI LUKIS PADA MASA KETIGA (SESUDAH 1960)

Perkembangan sesudah tahun 1960, Indonesia memiliki bentuk baru dalam seni lukis, yaitu Seni Lukis Abstrak. Gaya tersebut tidak menyuguhkan objek yang kita kenal dalam kenyataan. Karena itu dikatakan seni lukis abstrak non objektif atau non figuratif. Seni lukis abstrak pada dasarnya tidak terlepas dari hubungan rupa yang ada. Kita tidak bisa menutup penglihatan dunia laur dari kenyataan di sekitar kita. Kita bisa menangkap apa aja yang ada di dunia dengan berbagai kemungkinannya. Bumi dilihat dari angkasa, detail dari permukaan tanah dan batu, benda yang dilihat dari mikroskop. Bentuk-bentuk tersebut menyadarkan pada kita akan kekayaan rupa yang bisa menumbuhkan ide yang beraneka. Jadi latar belakang pengalaman dan pengetahuan tentang rupa, baik itu secara fisiologi maupun faktor psikologis sebagai faktor yang penting dalam menghayati seni lukis abstrak. Serta adanya usaha persiapan tentang kekayaan dan kedalaman pengalaman akan dunia rupa yang beraneka.

PERKEMBANGANNYA Pertumbuhan seni lukis abstrak di mulai sekitar tahun 1960, dengan ditandai dari faktor abstraksi yang lebih besar dari sebelumnya.

Srihadi (1960-1962)

Muncul eksperimen dengan menghasilkan seni lukis abstrak dalam mengisi perkembangan baru seni lukis Indonesia. Lukisannya berupa coretan-coretan yang lepas dinamis dan warna-warna transparan.

A.Sadali 1963

Menyuguhkan warna-warna redup seperti tanah, oker, biru dalam dan hitam. Tekstur memegang peranan penting, yang merupakan tenaga dari proses alam, seperti penegangan dan pengerutan, peretakan dan pemecahan, penyobekan, pengikisan, pelapukan, proses menua dan hancur. Bahkan juga menempatkan lelehan dari sisa-sisa emas, juga bentuk lambang di pasang di ambil dari ayat suci alquran, segi empat hitam mengingatkan pada ka’bah, bentuk gunungan, serta gerakan ke atas. Fajar

Fadjar Sidik 1963

Menghasilkan lukisan abstrak dengan menyuguhkan susunan geometris. Membuat sketsa Vignet dalam bulatan, segi tiga dsb. Juga bentuk-bentuk yang menyerupai manusia, binatang, tumbuh-tumbuhan. Menggunakan warna-warna biru, merah, kuning terang dengan rata.

Oesman Effendi 1960

Dengan menjauhi bentuk alam, pada tahun 1968 membawa seni lukis abstrak dengan adanya kontras, harmoni dan variasi garis, warna cerah serta adanya tekanan susunan yang terbuka, dan bergerak leluasa serta beriama hampir mendekati irama pada seni musik.

Popo Iskandar 1970

Pelukis satu ini tampil dengan liris alam dan kehidupan. Masih tetap menggunakan hubungan dengan objek alam seperti panati, pemandagan, bunga, kucing dsb. Beberapa pelukis lain yang datang dengan improvisasi tanpa pikiran pokok, membawa objek yang kita kenal walaupun tidak jelas. Pelukis-pelukis tersebut antara lain:

A. D. Pirous, Yusup Effendi, Rustam Arief, Amri Yahya, D. A. Peransi O.H. Supono

Melukis dengan membawa konsep fantasi abstrak. Dengan menampilkan obyek dan figur yang bergerak serta auh dari dunia alam nyata. Sedang pelukis-pelukis lain mencoba bereksperimen dengan tekstur, bahan serta teknik. Menempel potongan kertas, kain, kaca, logam, dengan teknik menjahit, mengelas, melubangi kanvas. Merakit bermacam-macam barang dan bahan serta teknik berkembang pesat. Mereka tersebut antara lain: Sapto Hudoyo, Abas Alibasyah, Amri Yahya, Bagong Kusudiardjo, Mujita, Mustika.

V. TINJAUAN UMUM SENI LUKIS ABSTRAK

Seni lukis abstrak yang berkembang pada masa ketiga ini mengarah pada corak ‘Lirisme’. Merupakan ungkapan emosi dan perasaan pelukis dalam dunianya. Lukisan sebagai bidang ekspresif untuk memproyeksikan rasa emosi dan getaran perasaan. Bidang lukisan sebagai dunia imajiner yang memiliki kodrat sendiri. Sedang pada tahun 1970 seni lukis abstrak Indonesia muncul suatu kecenderungan yang anti ‘lirisme’. Memiliki kecenderungan antara lain:

Pertama

Mereka menyingkirkan asosiasi dengan alam dan kehidupan. Pada dasarnya berpegang pada prinsip perasaan dalam tertib matematis dan rasionalitas dalam sni rupa. Lukisan sebagai susunan matematis dengan bentuk-bentuk geometris. Melukis merupakan penelitian, analisa, mengukur, menghitung untuk menimbulkan gejala optis dalam struktur bersistem. Pendukung dari paham ini antara lain:

Harsono, Nanik Mirna,Anyyol Subroto, Sugeng Santoso.

Pada tahun 1970-1973 muncul Seni Rupa Baru Indonesia yang sebenarnya merupakan dampak dari Pop Art. Kemudian pada tahu 1973, Danarto dengan pamerannya menyuguhkan kanvas kosong dalam ukuran besar dan tanpa pigora. Dari eksperimennya itu ia memberikan filosofi bahwa lukisan menjadi lingkungan bagi si pengamat. Tidak lagi dunia imajiner yang terkucil di dinding dengan dibatasi pigora. Kedua Anti ‘lirisme’ dari kecenderungan kedua ini terwujud pada kekongritan bentuk. Kalau ‘lirisme’ menyaring dan kemudian menjelmakan pengalaman serta emosi dalam dunia imajiner . Akan tetapi pada anti ‘lirisme’ tampak tidak menyaring dari transformasi alam. Bukan lagi gambaran benda itu disuguhkan tetapi benda itu sendiri. Bukan rasa jijik yang disuguhkan untuk kepuasan imajiner, melainkan rasa jijik itu sediri disuguhkan tanpa batas, sehingga menimbulkan rasa jijik jika orang melihatnya. Sebab mereka berdalih bahwa seni bukan sepotong dunia imajiner yang mesti direnungi dengan jarak tetapi meampilkan obyek kongkrit yang mampu melibatkan pengamat secara fisik. Hal ini tampak pada pameran ‘seni lukis 74’ oleh B. Munniardhi, Harsono dan Nanik Mirna. Juga gerakan Seni Rupa Baru Indonesia pada tahun 1975 oleh Jim Supangat, Hardi, Harsono, B. Munniardhi, Siti Adyati.

A. LATAR BELAKANG SENI LUKIS INDONESIA

Dalam perkembangan Seni Lukis Indonesia Baru tidak terlepas dari kaitan kemasyarakatan dan kebudayaan Indonesia sendiri. Maka diperlukan pewarisan budaya dalam watak manusia Indonesia, dengan dasar hubungan manusia dan realita sekelilingnya sendiri, sehingga terjalin intuisi, emosi, serta realitas. Perkembangan peradaban masyarakat Indonesia tetap memperlihatkan bertahannya unsur-unsur kebudayaan lama, telah memberi nafas tersendiri dalam perkembangan Seni Lukis Indonesia Baru. Terutama tampak jelas pengaruh motip dari ragam hias. Dimana sebelumnya merupakan bagian dari seni tradisional. Begitupula dengan kekuatan sejarah dalam kehidupan sosial di sekeliling para seniman, memiliki pengaruh yang besar; seperti pergolakan politik, perjuangan, pembaharuan, cita-cita dari masyarakat membawa akibat kejiwaan yang tegang serta gelisah. Pada tahun 1928 saat tercetusnya Sumpah Pemuda, merupakan pengaruh yang sangat besar atas bangkitnya Seni Lukis Indonesia memiliki kepribadian sendiri yang kuat. Juga tidak daat disangkal bahwa kekuatan sejarah dimasa penjajahan Belanda menyebabkan adanya persentuhan Seni Lukis Indonesia dengan Seni Lukis Barat (Eropa). Namun tidak semua gaya seni lukis Barat memiliki pengaruh terhadap seni lukis Indonesia. Tetapi yang jelas terjadi akulturisasi di antara keduanya. Seni lukis yang lahir dan tumbuh serta bernafas di indonesia adalah milik bangsa Indonesia. Begitu pula didukung dengan lahirnya lembaga pendidikan kesenirupaan, sanggar-sanggar, serta gerakan yang mengarah pada pembangunan Seni Rupa Indonesia. Juga perlu adanya motivasi untuk membangkitkan rasa cinta dan memiliki seni lukis itu sendiri. A.

IKHTISAR PERISTIWA SENI RUPA INDONESIA

KURUN JAMAN I: RADEN SALEH DAN PELUKIS-PELUKIS HINDIA JELITA

1807 Raden Saleh Syarif bustaman lahir di Terboyo, Kabupaten Semarang. 1829 Setelah belajar pada pelukis Belgia A.A.J. Payen di Batavia, dikirim ke Belanda untuk studi atas biaya pemerintahan Kerajaan 1839 – 1845 Selama sepuluh tahun bermukim di Belanda, mendapat kesempatan keliling Eropa.

1848 Raden Saleh terkenal dengan karyanya ‘Antara Hidup dan Mati’ yang dilukis saat di Paris.

1870 Raden Saleh melukis di Batavia dengan karyanya ‘Perkelahian Dengan Singa’ sebagai koleksi Istana Negara sekarang.

1914 Berdiri Gedung Kunstkring Batavia sebagai tempat masyarakat Belanda mengadakan kegiatan pameran.
1922 Ki Hajar Dewantara mendirikan perguruan Taman Siswa di Yogyakarta, tumbuh pemuda-pemuda dengan jiwa seni seperti Rusli, S. Sudjojono, Basuki Rosobowo dan Abbas Alibasyah. 1923 Perkumpulan Seni ‘Raden Saleh’ berdiri di Surabaya oleh Maskan, Soepardi, Pik Gan, Joyowisastra.

1926 Pelukis kelahiran Jerman Walter Spies datang di pulau Bali, menetap di Campuan, Ubud. 1934 Penguasa Regnault mengadakan Pameran Lukisan Eropa koleksi pribadinya di gedung Kunstkring karya-karya asli dari : Chagal, Utrillo, Dufy, Gaugin dll.
1935 Cokorda Gede Agung Sukawati beserta Walter Spies dan Rudolf Bonet mendirikan perkumpulan pelukis dan pematung Bali ‘PITHA MAHA’

1936 Pameran koleksi Regnault untuk kedua kalinya menampilkan karya-karya asli dari: Campigli, Chirico dan Van Gogh.


KURUN JAMAN II: PERSAGI DAN SANGGAR-SANGGAR PELUKIS REVOLUSI

1937 Persatuan Ahli Gambar Indonesia (Persagi) berdiri di Jakarta dipimpin Agus Jaya dan S. Sujoyono.

1930 Pelukis Indonesia diperbolehkan mengikuti acara di Kunstkring Batavia

1941 Penyelenggaran pameran Lukisan Indonesia karya-karya seniman, Otto Jaya, Emiria Sunarsa, RM Surono dan Sujoyono oleh lingkaran seni masyarakat Belanda ‘Kunstkring Batavia’

1942 Keimin Bunka Shidosho Pusat Kebudayaan yang didirikan pemerintah Dai yang dipimpin oleh seniman Sasoe Ono dan Yamamoto. Sedang anggota dari Indonesia antara lain: Agus Jaya (ketua), Otto Jaya, Basuki Resobowo, Sujoyono dan Affandi.

1943 Lembaga Kesenian dari Pusat Tenaga Rakyat (Putera) dibentuk dibawah pimpinan Ir. Soekarno, M. Hatta, Ki Hajar Dewantara, dan KH Mansyur. Sedang bagian lukis diserahkan pada pelukis-pelukis Sujoyono, Affandi, basuki Abdullah, Kartono Yudhokusumo, Surono, Dullah, Hendra dll. 1945 Pusat Tenaga Pelukis Indonesia didirikan oleh Jayengasmoro. Angkatan Seni Rupa Indonesia (ASRI) didirikan di kota Medan oleh Nasjah Jamin.

1946 Seniman Indonesia Muda (SIM) didirikan oleh Sujoyono di Madiun kemudian pindah ke Solo, selanjutnya menetap di Jogyakarta 1948.

1947 Hendra Gunawan keluar dari SIM dan mendirikan Pelukis Rakyat (PR) dimana Hendra dan Affandi berkecimpung dalam sanggar. Pada tahun ini juga di Jogyakarta diadakan pameran pelukis-pelukis Revolusi dengan menampilkan sebanyak 70 buah karya lukisan dari Sujoyono, Affandi, Trubus, Haryadi. Saat itu Ipphos membuat dokumentasi foto yang lengkap. Di Bandung berdiri Balai Pendidikan Universitas Guru Gambar yang kelak menjadi bagian seni rupa ITB.

1948 Gabungan Pelukis Indonesia (GPI) didirikan di Jakarta oleh Sutiksna dan Affandi dengan anggotanya: Handriyo, Zaini, Nashar, Oesman Effendy, Suparto, Basuki Rosobowo. Seniman Indonesia Muda Indonesia (SEMI) didirikan oleh Ali Akbar di Bukit Tinggi.

1949 Seniman di Madiun membentuk Tunas Muda Madiun dipimpin oleh Sudiyono, sedang anggotanya al. Kartono, Sudibio, Sunindio. Di Surakarta terbentuk Himpunan BudayaSurakarta pimpinan Murdowo, himpunan ini lebih dikenal HBS.

KURUN JAMAN III: TIMBULNYA AKADEMI-AKADEMI DAN PERKEMBANGAN SENI RUPA MUTAKHIR

1950 Berdiri Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI) didirikan di Jogyakarta dengan dukungan Pusat Tenaga Pelukis Indonesia (PTPI), PIPIM dan pemerintah. Sedang yang menjadi direktur pertama RJ. Katamsi. Bagian Seni Rupa ITB dibentuk dengan pimpinan T. Sumarja. Lembaga Kebudayaan Rakyat (LEKRA) di bentuk di Jogyakarta. Pelukis Indonesia (PI) didirikan antara lain olh Kusnadi dan Sholikin dengan anggota Nasyah Jamin, Gambir Anom, Bagong Kusudiardjo, dan Motinggo Busye. Di Surabaya kelompok seniman al: Karyono, Bandarkum dan Wiwiek Hidayat membentuk ikatan seniman Prabangkara dengan anggotanya Imam Sunaryo, Sunarto Timur, dll. Dengan pimpinan Widagdo di Malang terbentuk Angkatan Pelukis Muda Malang (APMM). Sedang anggotanya Hasan Salman, Joko Irawan, Armand.

1952 Pelukis Indonesia Muda (PIM) berdiri dengan anggota G. Sidharta, Widayat, Sayogo dan seniman angkatan ASRI di Yogyakarta. Kartono Yudhokusumo mendirikan “Sanggar Seniman” di kota Bandung. Pada tahun ini juga berdiri Badan Musyawarah Kebudayaan Nasional (BMKN). 1953 Di Bandung berdiri “Tjipta Pantjaran Rasa” (TPR) oleh R.Waluyo, Abedy dan Angkama.

1954 Atas prakasa Cokorda Gede Agung Sukawati dan Rudolf Bonnet didirikan sebuah Museum “Puri Lukisan” di Ubud Bali.

1955 Sanggar “Matahari” dibentuk oleh Zaini, Trisno, Sumarjo, Oesman Effendi, Nashar, Alex Wetik, Puranta, Alimin.

1956 Pelukis Dullah diangkat sebagai kuraktor koleksi Sukarno dan menerbitkan buku “Koleksi Presi dan Sukarno” dalam 2 jilid.

1958 Berdirinya “Yayasan Seni dan Design Indonesia” oleh Goos Harjasumantri, Oesman Effendi, Zaini, dan Trisno Sumarjo.

1961 Atas dorongan dari pelukis Arie Smit maka muncul corak baru dalam seni lukis Bali dengan gaya dekoraktif naif “ The Young Artist” di daerah Penestanan, Ubud Bali.

1963 Pada tanggal 17 Agustus 1963, Manifes Kebudayaan ditanda tangani oleh seniman-seniman dan cendekiwan seperti; H.B. Yassin, Trisno Sumarjo, Zaini, Taufiq Ismail, Gunawan Muhammad dll. Pelukis Le Man Fong diangkat sebagai kurator koleksi Seni Rupa Presiden Sukarno.

1964 Terbentuk panitia penerbit buku lukisan-lukisan dan patung koleksi Presiden Sukarno menerbikan buku koleksi Sukarno yang ke 2 dalam lima jilid.

1967 Akademi Seni Rupa (Aksera) didirikan oleh seniman-seniman Surabaya saat itu.

1968 Gubenur Ali Sadikin membentuk Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) dengan ketuanya Trisno Sumarjo yang pertama Pusat Kesenian Jakarta “Taman Ismail Marzuki” (TIM) diresmikan oleh gubenur Ali Sadikin. 1970 Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta (LPKJ) di bentuk oleh DKI. Kemudian sekarang berubah nama menjadi Institut Kesenian Jakarta (IKJ) Pameran Seni Lukis Indonesia dengan sponsor Menteri Luar Negri Adam Malik di Jakarta dan New York dalam rangka HUT ke 25 PBB.

1971 Terbentuk Akademi Jakarta di Jakarta 1972 R. Bonnet kembali ke Indonesia atas kerja sama kebudayaan Indonesia, Belanda maka terjadi usaha memperluas dan melengkapi museum “Puri Lukisan” di Ubud Bali.

1976 Diselengarakan sebuah pameran besar lukisan Lukisan karya Basuki Abdullah di Hotel Borobudur. Pada tanggal 20 Agustus sampai 28 Nopember selama 100 hari, diselengarakan pameran seni rupa “ Seabad Seni Rupa Indonesia” yang diikuti oleh seniman seni rupa se Indonesia.



At present in Indonesia has developed two major categories of Modern Art. Both groups are growing Indonesian Painting in Bali and one growing in big cities in Indonesia. Both have different styles and perekembangan because basically in because of differences in background, culture.

FIRST GROUP
In the first group is growing Indonesian Painting in Bali. Around the thirties there was a Balinese art updates that experienced little by little from the shift changes from the ancient Balinese art or classical. Before the change, Balinese art has grown with the pattern of art-related Traditional classification by customs and religion of Hindu Bali. While painting the decorative motifs of ancient literature and describe bali.
Once an update is in progress a little different to painting previous page. Then the Balinese painting is no longer just depict ancient literature, but it takes an object such as modern painting. So is his style of engineering problems. However, bagaimanapn also still looks like its parent the Balinese painting. So modern painting which flourished in Bali still be called the Art of Bali because they still keep in touch with the arts and culture of Bali itself.

SECOND GROUP
The second group is currently in Indonesia Modern Art painting which flourished in big cities. A case of Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Surabaya, Medan and so on. In general painters of this second type of formal education mengeyam breathing. They are the product of art or art school studios. Most have never studied or read some theories about the nature of modern art.
There are some that incorporate elements of regional art, or things that are traditional in the processing of his art. But the reality could not be included in the regional cultural arts categories. So in principle, still relatively modern painting. This is due to the result of cultural influences that have been developed and also the entry of elements of Western culture. Especially in the colonial period until the education system. So can not be denied that the development of modern art of Western or European give fair development of Modern Art in Indonesia.



FIRST GROUP
 Painting BALI
Before we discuss about Bali's art, we should first look at the background history and aspects of Balinese life and some of the elements supporting the arts in Bali.

Bali is known as an area of ​​interest in keseniaannya was, in fact supported by various aspects, among others
a. Aspects of Hindu life
b. Aspects caused by the relics of history in Bali.
c. Aspects of the kings in Bali
d. Aspects of social life
e. Geographical and natural aspects of Bali.

Aspects of the life of the Hindu religion, Hindu religion has been deeply rooted in Balinese society. Both a tradition and customs of the Balinese people to embrace him. With the variety of religious ceremonies such as piodalan Pura, etc. Yadnya ceremony Panca. The role of supporting the arts and even has become an integral part of Hinduism in Bali. Any religious activities will not be separated from artistic activity TSB. Balinese art so that in its growth in harmony with religion led to a harmonious unity both knit and intimate.
Aspects generated by the objects of heritage
Relics of ancient objects from the time of the Old Stone to the New Stone. Also Hindu-Buddhist cultural heritage (before the influence of Majapahit). Relics include: Copper Inscription, Inscription Rock, Lontar and Prasi, ARCA, Heritage bronze, pottery, a variety of decorative styles. Ancient relics, among others; Hell bronze in Penataran Sasih Pejeng. Yeh Pulu Relief in Petanu, elephant cave, temple Gunung Kawi, statues goddess Gayatri in kuteri etc..

Governance aspects of the kings in Bali
Have ranged from cultural centers to Samprangan Pejeng, Gelgel, Klungkung on governance in Bali. At this time devotion to the art of high quality to the beauty of temple (religion), and Puri (palace). Form style of traditional classification. As decoration pepatraan, puppet. Painting the Mahabharata, Ramayana etc.. This artwork was done together.

Social aspects of Balinese life
Balinese people cling to the customs prevailing among others: Customary law, procedures for daily life, how to live in groups Diman induvidu as part of the public has a close relationship with each other. Such as subak sakaha, kawitan single, single corrected, banjo, village.

Geographical and natural aspects of Bali
Bali with interesting natural beauty with all the co-culture art melantar backs on religion and customs co-exist harmoniously and terwujutnya art of Balinese culture. Like the temple which was established in the vicinity around a beautiful natural sights. So also with the existence of a winding road on the slopes of mountains, rice fields in back berbukitan, blue mountains, valleys and gorges, lakes and oceans, all embody the beauty and natural kemesteriusan Bali and many evocative and become a source of inspiration for artists.

HISTORICAL BACKGROUND
The development of Balinese art in general can not be separated from historical factors and geographical area of ​​Bali.
Since the influence of the Majapahit kingdom in Bali, Bali causes associated both with the East Java. Thus causing the Hindu Javanese art well developed there are mixed with the local arts. There was a renewal and integration, harmony and childbirth timbulah a Balinese art and culture. Has a distinctive taste and characteristics, then the renewal had produced Bali Arts we know today. Similarly, the existence of various relics.
Ahead of the twentieth century began under the influence of Balinese elements of Western culture. Marked by the entry of the Dutch power panjajahan in Bali in 1908.
Pembaruhan with the influence of Western cultural elements in kesenian.dimulai Impessionime since the arrival of German painter Walter Spies in 1926. Also followed by the arrival of the Dutch painter Rudolf Bonnet named in 1928.
Due to the influence of the two men occurred a phenomenon pembaruhan which culminated with the establishment of the group "Pitha Maha" in 1934. Subsequently followed by the birth of Ubud art style and the style rocks.
In 1928 the museum has been established that stores objects of art in the form of palm and prasi. The museum was established in the area north of the city of Singaraja Bali, with the name "House Kirtya"
In 1956 established a museum that holds the museum of paintings with the name "Castle Painting'', while the founder is an entity called the Foundation Ratna Wartha. Then followed another museum painting "Le Mayeur" be around the coast of Sanur Bali. Also in 1982 the foundation of Dharma Art founded a museum of paintings with the name "Neka Museum", was established in the Ubud area.
With the influx due to the influence of modern art and culture, will arise in the reform of the mental attitude that is communal to individual. Of art "kesanggingan" into a form of art "contemporary".
Renewal because in general the people of Bali readily accept anything good from the outside, preceded by a selection and then become the property itself. Due to the resulting echoes in the art-imitating, due to dwindling personal identity menadi banjar attau village identity.
Moderate pembaruhan fundamental experienced by young people through formal education and artistic disciplines, with modern techniques, various forms of art which the modern concept of identity and foster personal style.

DISTRIBUTION OF BALI STYLE in painting

Since the influence of the movement of the group "Pitha Maha", then the renewal and modernization in the art of rapid development occurred. However, in the form and style are said to be in line characteristic of Balinese painting.
In the development of various trends that seem to be categorized into several things among others:
1. CLASSICAL Kamasan Painting
2. Painting PITHA ALMIGHTY
3. Painting YOUNG ARTISTS
4. ACADEMIC Painting

Classical Painting of Kamasan

A continuation of the tradition of painting puppet. Auh not form his style different from shadow puppets. Only portrayal face and figure looked three-quarters of both pupils of her eyes visible.
The development of this painting has been started since the XVI century, when kerajajn Gelgel fell and government moves to Klungkung. Many gained share in the decoration of temples and palaces in the style of this painting. Relics that are still there and well maintained. Posted at Kerthagosa buildings in the area now Klunkung
In 1686 appeared a painter (Sangging) named Sangging Mahudara in Klungkung, and he became a pioneer in the development of this packaging of classical painting.
Kamasan being taken from the name of a village that became the center of the development of this art until now.

Characteristics include:
• The basic ingredients of the woven fabric as a canvas, calico, boards, plywood, boards herd.
• Colors used include: red (stone), blue (Blau), yellow (ground pere), black (langes), white (bone). For other colors by processing these basic colors.
• Tools that form a brush made from bamboo and pen in the bolt of a sharpened wood-like material.
• The theme is taken from the Ramayana, Mahabharata, Baratayudha, Malet story or story banner, Sucasoma, and pelintangan or calendar birth.
At first painting was done communally (collectively) that is carried along by some people. But subsequent developments appear personalities, among others:
• Mangku Mura
• Ida Bagus Made Gelgel
• I Nyoman Mandra
• I Wayan Sticky

Painting Pitha Maha

With the influence of 2 people painter who came to Bali. They are Walter Spies and Rudolf Bonnet, influence the development of Balinese painting with the education and training of modern techniques of Western-style painters in Bali at that time.
Then with the help of Cokorda Ngurah Lingsir, in 1935 founded the organization include:
1. Aiming to promote and develop local arts.
2. Aiming to improve the quality of the art.
3. Helping menyelenggaraan exhibition of the works either Pedan commission outside of the region and abroad.
As a general characteristic of this style painting shows a change from traditional classical styles into a new form of a little bit different, but still remains the hallmark of the style of roots.
These reforms in the personal style of the pioneering work of I Gusti Nyoman Lempat in his art. While the Statue of art pioneered by I Tjokot birth "cokotisme". Updates and symptoms of realist sculpture.
During development of the Pitha Maha these symptoms there are two rather different styles of Ubud style of painting and art rock styles. Each addressing different characteristics and shapes according to regional development.

Ubud Style Painting

This style of painting developed in Ubud and surrounding area until now. An outgrowth of classical style modernization. The existence of a personal style that looks.
Characteristics include:
• Engineering is a modern, wearing canvas base material of the blanco, drill, Metting, paper etc..
• The tools used already are like modern painting, such as pencil, pen, brush, etc. china.
• Paint that they no longer use natural materials but the materials production plant, are like watercolor, acrylic paint, oil paint, and has also been put on fixatif (coatings).
• Themes that they take no longer literature but the story of everyday objects such as farmers in the rice, temple ceremonies, the market crowd, dance, etc..
Adherents among others:
• I Gusti Nyoman Lempat
• I Gusti Ketut Kobot
• Ida Bagus Made
• Anak Agung Gede Sobrat
• I Wayan Down

Batuan Style

Modern painting style evolved rocks in the Rock and the surrounding area. Is also a development of classical style of painting which has a typical rock.
In Ubud style of painting still looks stylish puppet, but the style has not revealed this rock painting style puppet anymore. Further highlight the rock style black and white in the background, green in (swimming) for foliage colors, and maroon for the color of human skin. So it appears the night and eerie atmosphere.
Characteristics include:
• The materials used are no different from Ubud painting style.
• The tools are also similar, as well as the paint used
• The theme daiambil of popular folklore and themes of everyday life are free.
• Engineering in style rocks more closely by the decorative motifs are more complicated, it is necessary for the artist working precision.

Adherents among others:
• Ida Bagus Made Wija
• Ida Bagus Made Togog
• I Wayan Diligent

Young Artists Painting

In 1961 appeared the flow with a new style that had not previously been in thought. This style of painting with the decorative style is naive. They appear centered in the village near Ubud Penestan. Being the promoter of this style is a painter from the Netherlands Ari Smith. With guidance and motivation given to children in the village to paint freely. So the children paint freely according to the capabilities and all the fantasies of the painting suggests spontaneity. Decorative painting was born naive and childish, fresh and bright colors so that the painting was named Young Artist Painting Style.
Characteristics include:
• The basic ingredients to use canvas or cloth that has been as in modern painting.
• Paint used oil paint, using the medium of kerosene that is not shiny, use plamir for basic coating of paint and glue.
• The tools used beruupa manufactured as in modern painting.
• The theme is taken everyday life that continues to get carried away, farmers, fishermen, Barong dance, dance, etc. Arja.
Adherents among others:
• I Nyoman Chakra
• I Ketut Soki
• I Ketut Puduh
• I Ketut Tagen
• I Ketut Pugur
• I Ketut Londo
• I Ketut Mujung






Modern painting
IN DEVELOPING THE MAJOR CITIES

As was explained in advance that on this second type of painting developed in the big cities in Indonesia. Especially among other cities: Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Surabaya, Medan, Semarang, Ujung Pandang and so on.
In general in the city a lot of availability of facilities and infrastructure that enable the development of modern painting is growing rapidly. Moreover, supported by the existence of formal education, namely artistic academy and the emergence of a diverse group of artists with sanggarnya, or private art studios where artists work.
Similarly, supported the existence of other facilities such factors are easy to transport, communication, and enabling economic, sdang more important is the factor of the needs and views of people living with modern culture.
The change of attitude is what allows the growth of community arts modrn in modern society as it appears in the big city. Although it can not be denied the traditional factors are still taken as a minor trend.
Similarly, in the case of works of modern art that developed in Indonesia still have a tendency to incorporate elements of traditional art. But in essence still remains as modern art.
In the art of painting in the second group, it can be said as a modern form of art that exist in Western countries. Because, basically, the influence of either directly or indirectly.

SECOND PERIOD
At around 1940 has grown with the style of painting reveals experiences in life. There appear to characterization and mood tense and anxious at the painting. Given the feeling or energy of objects described by their


THIRD PERIOD
Took place after the year 1960. In this third period has grown style or abstract style of painting. The object of his paintings have been difficult for enjoyed and known shape.

I. ON THE FIRST Painting 1900-1940

Painting that is growing in Indonesia with berobjek on the landscape. Cause factors such as:
Due to the influence of Dutch painter in the era of the Dutch East Indies. The painting has grown from three to four centuries ago in Europe.
The existence of ideals - ideals of the European traders to bring the art of landscape painting in line with the progress and development of entrepreneurs and merchants.
And in fact the painter of that time was pleased to make the object of his paintings took the theme of landscape. Since that time this painting received a good response, especially from the middle class.
Adherents among others:

• Abdullah S.R.
• Mas Pirngadi
• Wakidi


In painting they have tried to create a style by eliminating shadow modern civilization.
With the move and arrange the location and arrangement of trees or grass. As if they improve the state of nature in his paintings. Attention of others is the presence of the color impression of heat, cold etc.. It is indeed trying to change the atmosphere fresh and fun.
Moderate merka painting techniques still use the provisions of Dutch painting. Perspective also receive special attention, in the field is divided into 3, namely the front, middle, and rear.
In the space ditojolkan given the emphasis of light. The color palette has been set in order not to cause a dirty color, then gently and carefully dikuaskan on canvas.

II. ON THE SECOND Painting 1940-1960


In the past this has evolved style of art that express feelings and emotions pibadi style.
Several factors have a tendency:
First, the
Painters with direct face painting and when its object is moved by his emotions close to its object. Tendency to distort the object by changing the shape and color as well proportioned. Thus established a close link between emotion and distortion fused in bentu painting is born. It appears that the dynamic arrangement of a way to pull line and supported the free brushwork, spotan and firm. Therefore it seems dull because of the color is mixed on canvas.
Tergeraknya emotion not only in form but also on the way as the meaning of its object. The relationship between the experiences and thoughts. The experience of the social life of the people in the vicinity of the birth of many inspired paintings. Especially for those who are incorporated in the SIM (Young Indonesian Artists) and the People's painter, among others:

Sujoyono, Affandi, Hendra Gunawan, Surono, Henk Ngantung, Poster, Tarmizi, Otto Jaya, Dullah, Hariyadi, Amrus Natalsya.
Some trends that show the expression of personal emotion, among others: Basuki Resobowo, Sholikin, Oesman Effendi, Zaini, Nashar.

Second,
the Style with greater objectivity is also growing in this period. Painter observing an object, then he had seen his emotions distort. Those who embrace this concept include: Sujoyono, Menk Ngantung, Hariyadi, Dullah, Trubus.
In the development around the year 1940-1960, while many are criticizing the critics of modern painting, due to difficult to understand for ordinary people. They prefer the realistic style of (real). They refused and criticized for that period of painting developed by leaving the object abstraction. But in fact the art of painting still lead to greater abstraction. Similarly, the painter still at the concept of personal style of painting that leads away from realism.

Third,
On the other kencendrungan leads the subjectivity and fantasy. A variety of mental processes such as imagination, daydreams, dreams, myth and so born in art painting.
From a psychological art review showed that it was a protest against the fact that meaningful. But the appearance is not based on the logic of reality when we are in a state of waking.
With the fantasy can bear the image of a fun, tense or fearful that the principle is also irrational.
Beberpa painter who is prone to include: Sudibio, Agus Jaya, Sukirno.

Fourth

Style of painting decorative or ornamental is also developing at this time. Most use the object tree or a stylized or patterned leaves. Character of the line made clear, repetitive rhythms, and patterns of neat and tidy.
The development of this ornamental style is not likely to menggayakan shape of an object as a model, but to codify various elements that form a line, color, texture, the field became a common form. Being the object of human or animal is no longer as we know it. No longer describes the portrait of someone. But the symbolism depicts oyektif but there is also no greater abstraction.
Some adherents among others: Kartono Yudhokusumo, Hendra Gunawan, god Lubis, Widayat, Abas Alibasyah, ponderous Kusudiarjo, Suparto.

III. TOWARDS Abstract Painting 1955-1960


At this time of evolving styles of painting that shows the transition from the existing styles toward the realization of abstract painting style. This style appeared primarily in cities such as Jakarta, Bandung, and Yogyakarta.
In Bandung look at the works of Ahmad Sadali, Mochtar Apin, Srihadi, Popo Iskandar, But Mochtar, Yusuf Effendi. Currently in Jakarta on Oesman Effendi. In Yogyakarta on the work of G. Sidhartha, Dawn Sidik, Handriyo, Abbas Alibasyah.
In this transitional period seems an attempt to recast the forms of objects into the motives of the flat. Occurred from the intersection of straight and curved lines which divide the surface of the canvas, color and geometric areas.
The tendency of this period seem more freely in the preparation of abstract shapes. Preparation of the expressive way in terms of lyrical as well as satisfying a way as to terms of aesthetic feeling. So from this moment has come a transitional phenomenon in the newness of Indonesian art. Then the birth of abstract art form Indonesia.

IV. Painting ON THIRD PERIOD (AFTER 1960)


Developments after 1960, Indonesia has a new form in painting, namely Abstract Painting. The style does not serve the object that we know in reality. Because it is said to be non-objective abstract painting or a non-figurative.
Abstract painting is basically no way apart from the existing relationship. We can not close the curved world vision of the reality around us. We can capture what wrote that exist in the world with many possibilities. Earth seen from space, details of surface soil and stones, objects are viewed from the microscope. The forms are people aware of the richness of a way that could foster diverse ideas.
So the background experience and knowledge of the way, whether it be physiological or psychological factors as an important factor in experiencing the art of abstract painting. And the presence of preparation effort on wealth and depth of experience will form a diverse world.

Development
Growth in abstract painting began around 1960, with marked abstraction of a factor greater than ever.


Srihadi (1960-1962)
Experiments appeared to produce an abstract painting in filling new developments Indonesian art. His paintings form a loose graffiti dynamic and transparent colors.

A. Sadali 1993
Presents a dim colors such as land, ocher, blue inside and black. Texture plays an important role, which is the power of natural processes, such as tension and shrinkage, cracking and breaking, penyobekan, erosion, weathering, aging and destroyed. In fact also puts a melt of the remnants of gold, also in pairs in the form of symbols taken from the holy Quran verse, reminiscent of the black rectangle Ka'bah, the form of mountains, as well as upward movement.

Fadjar Sidik 1963
Produce an abstract painting by presenting the geometric arrangement. Vignet sketched in the spheres, triangles and so on. Also the forms that resemble humans, animals, plants. Using the colors blue, red, bright yellow with a flat.

Oesman Effendi 1960
With away from its natural form, in 1968 brought the art of abstract painting in the presence of contrast, harmony and variety of lines, bright colors and arrangement of the pressure that is open, and move freely and close beriama rhythm in art music.

Popo Iskandar 1970
The painter was performed with a lyrical nature and life. Still use the connection with natural objects such as panati, pemandagan, flowers, cats, etc..
Some of the other painters who came up with improvisations without thinking subject, bringing the object even though we know it is not clear. Painters, among others:
A. D. Pirous, Yusuf Effendi, Rustam Arief, Amri Yahya, D. A. Peransi

O.H. Supono

Painting by bringing the concept of abstract fantasy. By displaying moving objects and figures as well as real-auh of the natural world. Other painters'm trying to experiment with textures, materials and techniques. Sticking pieces of paper, fabric, glass, metal, with a sewing techniques, welding, punching holes in the canvas. Assemble a variety of goods and materials and techniques developed rapidly. They include: Sapto Hudoyo, Abas Alibasyah, Amri Yahya, Bagong Kusudiardjo, Mujita, Mustika.

V. OVERVIEW Abstract Painting

Abstract painting that developed during this third lead to the shades 'Lirisme'. Is an expression of emotions and feelings of painters in the world.
Painting as an expressive field to project a sense of emotion and feeling vibrations. The field of painting as an imaginary world that has its own nature.
Being in 1970 Indonesia abstract painting appears a tendency of the anti 'lirisme'. Have a tendency, among others:

First
They get rid of associations with nature and life. Basically adhered to the principle of orderly mathematical sense and rationality in a way sni.
Painting as a mathematical structure with geometric forms. Painting is a research, analysis, measuring, counting to cause symptoms in the structure of the optical collection system.
Proponents of this understanding include: Harsono, Nanik miRNA, Anyyol Subroto, Sugeng Santoso. In 1970-1973 appeared the New Art Indonesia which actually is the impact of Pop Art.
Then in the know, 1973, Danarto the exhibition presents a blank canvas in large size and without pigora. From his experiments, he gave the philosophy that the painting becomes the environment for the viewer. No longer isolated in an imaginary world with limited pigora wall.

Second
Anti 'lirisme' of this second tendency manifested in the form kekongritan. If 'lirisme' filter and then transforming the experience and emotions in an imaginary world.
However, the anti 'lirisme' did not seem to filter out of the natural transformation. It's no longer the picture it presented, but the object itself. Not a sense of disgust that were served to the satisfaction of an imaginary, but a sense of disgust that sediri served without limit, so it creates a feeling of disgust when people see it.
Because they argue that art is not a piece of imaginary worlds with the distance but must direnungi meampilkan concrete object that can involve physical observer.
This is evident in the exhibition 'painting 74' by B. Munniardhi, Harsono and Nanik miRNA. New Art movement also Indonesia in 1975 by Jim Supangat, Hardi, Harsono, B. Munniardhi, Siti Adyati.

A. BACKGROUND Art INDONESIA

In the development of a New Painting Indonesia is inseparable from social and cultural association Indonesia itself. It would require cultural inheritance in human nature Indonesia, on the basis of human relationships and the reality around her own, so interwoven intuition, emotion, and reality.
The development of civilization Indonesia still show the persistence of elements of the old culture, has given its own breath in the development of Indonesia New Painting. Especially apparent motive of decorative effects. Where previously a part of the traditional arts.
Similarly with the forces of history in the social life around the artist, has a great influence, such as political upheaval, struggle, renewal, the ideals of community mental health consequences are tense and agitated.
In 1928 when the outbreak of the Youth Pledge, is a huge influence on the rise Painting Indonesia has its own strong personality. Nor does daat denying that future history of the Dutch colonial power led to the contiguity Painting Painting Indonesia with the West (Europe). However, not all styles of Western painting has an influence on Indonesian art. But it is clear acculturation occurs between them.
Paintings are born and grow and breathe in Indonesia is owned by the Indonesian nation. Similarly, educational institutions supported by the birth of artistic, studios, and the movement that led to the development of Indonesian Arts. Also need the motivation to evoke feelings of love and have a painting itself.

A. SUMMARY OF EVENTS ART INDONESIA

1807 Raden Saleh Sharif was born in Terboyo Bustaman, Semarang regency.
1829 After studying at the Belgian painter A.A.J. Payen in Batavia, sent
to the Netherlands to study at the expense Kingdom government
1839 - 1845 Over the past ten years living in the Netherlands, had the opportunity around Europe.
1848 Raden Saleh is famous for his work 'Between Life and Death' which was painted while in Paris.
Raden Saleh's 1870 painting in Batavia with his work 'Fight With Lions' as a collection of the State Palace today.
1914 House Standing Kunstkring Batavia as a place to hold exhibitions of Dutch society.
Ki Hajar Dewantara 1922 Student Park founded the university in Yogyakarta, growing youths with artistic soul like Rush, S. Sudjojono, Basuki Alibasyah Rosobowo and Abbas.
1923 Society of Arts 'Raden Saleh' stand in Surabaya by worried about, Soepardi, Pik Gan, Joyowisastra.
1926-born German painter Walter Spies arrived on the island of Bali, settled in Campuan, Ubud.
Regnault Ruler 1934 European Painting Exhibition held in the building Kunstkring personal collection of original works of: Chagal, Utrillo, Dufy, Gaugin etc..
1935 Cokorda Gede Agung Sukawati and Walter Spies and Rudolf Bonet established painters and sculptors association Bali 'PITHA ALMIGHTY'
1936 Exhibition for the second time Regnault collection featuring original works from: Campigli, Chirico and Van Gogh.






Period TIMES I: Raden Saleh and beautiful INDIAN PAINTER PAINTER-

Period TIMES II: PERSAGI studios PAINTER AND REVOLUTION
1937 Association of Picture Experts Indonesia (Persagi) standing in Jakarta led by Agus Jaya and S. Sujoyono.
1930 Painters Indonesia is allowed to follow the event in Batavia Kunstkring
Indonesia 1941 Painting exhibition organizing the works of artists, Otto Jaya, Emiria Sunarsa, RM Surono and Sujoyono by art circle of Dutch society 'Kunstkring Batavia'
1942 Keimin Shidosho Bunka Cultural Center established government led by artists Dai Sasoe Ono and Yamamoto. Being a member of Indonesia, among others: Agus Jaya (chairman), Otto Jaya, Basuki Resobowo, Sujoyono and Affandi.
1943 Art Institute of Energy Center for the People (Son) was formed under the leadership of Ir. Sukarno, M. Hatta, Ki Hajar Dewantara, and KH Mansyur. The painting is being handed over to the painters Sujoyono, Affandi, Basuki Abdullah, Kartono Yudhokusumo, Surono, Dullah, Hendra etc..
Indonesia Power Center 1945 Painters was founded by Jayengasmoro.
Indonesia Force Arts (ASRI) was established in the city of Medan by Nasjah Jamin.
1946 Indonesia Young Artists (SIM) was established by Sujoyono in Madison and then moved to Solo, then settled in Jogyakarta 1948.
Hendra Gunawan 1947 out of the driver's license and founded the People's painter (PR) where Hendra and Affandi dabbling in the studio.
In this year also held exhibitions in Yogyakarta painters Revolution by displaying as many as 70 pieces of paintings Sujoyono, Affandi, Trubus, Haryadi. At that Ipphos create a complete photo documentation.
In Bandung Institute of Education University Teacher standing image that would become part of art ITB.
1948 Combined Painters Indonesia (GPI) was established in Jakarta by Sutiksna and Affandi with its members: Handriyo, Zaini, Nashar, Oesman Effendy, Suparto, Basuki Rosobowo.
Young artist Indonesia Indonesia (SEMI) was established by Ali Akbar at Bukit Tinggi.
1949 Artists in Madison forming Tunas Muda Sudiyono led by Madison, were members of al. Kartono, Sudibio, Sunindio.
Association formed in Surakarta BudayaSurakarta Murdowo leadership, this set is better known HBS.

Period TIMES III:
The emergence-ACADEMY ACADEMY OF ART AND cutting-edge
1950 Academy of Fine Arts Standing Indonesia (ASRI) was established in Yogyakarta with the support of the Central Power Painters Indonesia (PTPI), PIPIM and government. Who's who became the first director of the RJ. Katamsi.
Section of Fine Arts ITB was formed with the leadership of T. Sumarja.
People's Cultural Institute (LEKRA) in the form in Jogyakarta.
Painters Indonesia (PI) was established, among others, olh Kusnadi and Sholikin with members Nasyah Jamin, Gambier Anom, Bagong Kusudiardjo, and Motinggo Busye.
In Surabaya group of artists al: Karyono, Bandarkum and Wiwiek Hidayat Prabangkara artists form bonds with members of Imam Sunaryo, Sunarto East, etc..
With the leadership Widagdo formed in Malang Malang Young Painters Force (APMM). Moderate members Salman Hasan, Joko Irawan, Armand.
1952 Painters Indonesia Muda (PIM) stand with members of G. Sidhartha, Widayat, ASRI force Sayogo and artists in Yogyakarta.
Kartono Yudhokusumo founded "Studio Artist" in the city of Bandung.
In this year also established the National Culture Consultative Body (BMKN).
1953 In Bandung standing "Tjipta Pantjaran Sense" (TPR) by R. Waluyo, Abedy and Angkama.
1954 Top Prakasa Cokorda Gede Agung Sukawati and Rudolf Bonnet founded a Museum "Puri Paintings" in Ubud Bali.
1955 Studio "Sun" was formed by Zaini, Trisno, Sumarjo, Oesman Effendi, Nashar, Alex Wetik, Puranta, Alimin.

1956 Painters Dullah Sukarno appointed as kuraktor collection and published the book "Collection President and Sukarno" in 2 vols.
1958 The establishment of the "Foundation for Art and Design Indonesia" by Goos Harjasumantri, Oesman Effendi, Zaini and Trisno Sumarjo.
1961 On the encouragement of artist Arie Smit then emerged a new style in the style of Balinese painting dekoraktif naive "The Young Artist" in the area Penestanan, Ubud Bali.
1963 On August 17, 1963, the Cultural Manifesto signed by artists and cendekiwan like; HB Yassin, Trisno Sumarjo, Zaini, Taufiq Ismail, Gunawan Muhammad etc..
Painter Le Man Fong was appointed as curator of Fine Arts collection of President Sukarno.
Formed in 1964 the committee publishers paintings and sculpture collection of President Sukarno Sukarno menerbikan book collection into two in five volumes.
1967 Academy of Fine Arts (Aksera) was founded by artists Surabaya at that time.
1968 Governor Ali Sadikin form the Jakarta Arts Council (DKJ) with the first chairman Trisno Sumarjo
Jakarta Art Center "Taman Ismail Marzuki" (TIM) was inaugurated by governor Ali Sadikin.
1970 Education of the Jakarta Arts Institute (LPKJ) in the form by DKI. Then now changed its name to the Jakarta Arts Institute (IKJ)
Indonesia Art Exhibition sponsored by Foreign Minister Adam Malik in Jakarta and New York in the framework of the UN's 25th anniversary.
Formed 1971 Academy Jakarta in Jakarta
1972 R. Bonnet returned to Indonesia in cooperation between cultures of Indonesia, the Netherlands then there is business to expand and complement the museum "Castle Painting" in Ubud Bali.
1976 held a major exhibition of paintings
Paintings by Basuki Abdullah at Hotel Borobudur.
On 20 August to 28 November for 100 days, held art exhibition "Century Indonesian Art" which was followed by fine arts artists across Indonesia.




Baru! Klik kata di atas untuk melihat terjemahan alternatif. Singkirkan
Kamus
Google Terjemahan untuk:PenelusuranVideoEmailPonselObrolan
Bisnis:Perangkat PenerjemahPeluang Pasar GlobalPenerjemah Situs Web
Tentang Google TerjemahanMatikan terjemahan instanPrivasiBantuan
Simak
Baca secara fonetik
Simak
Baca secara fonetik

Klik untuk terjemahan alternatif
Seret dengan menahan tombol shift untuk menyusun ulang.
Beri peringkat terjemahan
Tukar bahasa
Africa Latin I




1. +Anda
2. Web
3. Gambar
4. Maps
5. Berita
6. Terjemahan
7. Gmail
8. Lainnya
1. Buku
2. Tanya Jawab
3. Cendekia
4. Blog
5.
6. Kalender
7. Foto
8. Documents
9. Sites
10. Grup
11.
12. Masih banyak lagi »

Account Options

1. sutikno tiko hamzah
sutikno tiko hamzahtikohamzah519@gmail.com
1. Profil
2. Privasi
3. Setelan akun
Keluar
2.
3.
1. Bantuan

Terjemahan
Dari: Bahasa Indonesia
Ke: Inggris
Bahasa Indonesia
Inggris
Jepang
Merjemahkan teks atau laman web
B. PERKEMBANGAN SENI LUKIS INDONESIA MODERN Pada dewasa ini di Indonesia telah berkembang 2 golongan besar Seni Lukis Modern. Kedua golongan tersebut adalah Seni Lukis Indonesia yang berkembang di Bali dan satu lagi berkembang di kota-kota besar di Indonesia. Keduanya memiliki gaya dan perekembangan yang berbeda karena pada dasarnya di karenakan perbedaan latar, kebudayaan. GOLONGAN PERTAMA Pada golongan pertama adalah Seni Lukis Indonesia yang berkembang di daerah Bali. Sekitar tahun tiga puluhan seni lukis Bali terjadi suatu pembaruan yang dialami sedikit demi sedikit dari pergeseran perubahan dari seni lukis Bali kuno atau klasik. Sebelum terjadi perubahan itu, seni lukis Bali telah berkembang dengan pola seni lukis Klasi Tradisonal yang terkait oleh adat istiadat dan agama Hindu Bali. Sedangkan seni lukis tersebut bermotif dekoratif dan melukiskan kesusastraan kuno bali. Setelah terjadi pembaharuan dalam perkembangannya yang sedikit berbeda dengan seni lukis sebelumya tsb. Maka seni lukis Bali tidak lagi hanya melukiskan kesusastraan kuno,tetapi sudah mengambil objek seperti seni lukis modern. Begitu juga masalah teknik bentuk gayanya. Akan tetapi bagaimanapn juga masih tampak seperti induknya yaitu seni lukis Bali. Maka seni lukis modern yang berkembang di Bali masih dapat dinamakan Seni Lukis Bali karena masih tetap berhubungan dengan kesenian dan kebudayaan Bali sendiri. GOLONGAN KEDUA Sedang pada golongan kedua adalah Seni lukis Indonesia Modern yang berkembang di kota-kota besar. Sepeti Jakarta,Bandung Yogyakarta,Surabaya,Medan dsb. Pada umumnya pelukis-pelukis golongan kedua ini perna mengeyam pendidikan formal. Mereka merupakan hasil produk sekolah kesenian rupa atau sanggar-sanggar. Paling tidak pernah belajar atau membaca beberapa teori tentang hakekat seni modern. Ada beberapa yang memasukan unsur-unsur seni kedaerahan, atau hal yang bersifat tradisonal dalam pengolahan seni lukisnya. Tetapi kenyataannya tidak bisa dimasukan dalam kategori seni budaya daerah. Jadi pada prinsipnya masih tergolong seni lukis modern. Hal ini disebabkan terjadinya akibat pengaruh kebudayaan yang telah berkembang dan juga masuknya anasir kebudayaan Barat. Terutama pada masa penjajahan sampai pada sistim pendidikannya. Sehingga tidak dapat dipungkiri lagi bahwa perkembangan seni modern Barat atau Eropah memberikan adil berkembangnya Seni Lukis Modern di Indonesia. GOLONGAN PERTAMA  SENI LUKIS BALI Sebelum kita membahas tentang seni lukis Bali,sebaiknya lebih dulu kita melihat latar sejarah dan aspek kehidupan masyarakat Bali serta beberapa unsur-unsur penunjang kesenian di Bali. Bali dikenal sebagai daerah yang menarik dalam keseniaannya itu, pada kenyataanya ditunjang oleh berbagai aspek antara lain a. Aspek kehidupan agama Hindu b. Aspek ditimbulkan oleh benda-benda peninggalan sejarah di Bali. c. Aspek pemerintah raja-raja di Bali d. Aspek kehidupan sosial masyarakat e. Aspek geografis dan alam Bali. Aspek kehidupan agama Hindu,agama Hindu ini telah berakar kuat pada masyarakat Bali. Sekaligus menjadi tradisi dan adat istiadat masyarakat Bali untuk memeluknya. Dengan adanya berbagai upacara agama seperti piodalan Pura,upacara Panca Yadnya dsb. Maka peranan seni mendukung dan bahkan telah menjadi salah satu bagian integral dari agama Hindu di Bali. Setiap kegiatan keagamaan tidak akan terlepas dari kegiatan kesenian tsb. Sehingga dalam pertumbuhannya kesenian Bali selaras dengan agama menyebabkan keduanya terjalin kesatuan yang harmonis dan mesra. Aspek ditimbulkan oleh benda-benda peninggalan sejarah Peninggalan benda-benda purbakala dari jaman Batu Tua sampai Batu Baru. Juga peninggalan kebudayaan Hindu-Budha (sebelum pengaruh Majapahit). Peninggalan tersebut antara lain: Prasasti Tembaga, Prasasti Batu, Lontar dan Prasi, Arca, Peninggalan perunggu,Gerabah,berbagai gaya ragam hias. Peninggalan kuno antara lain; Neraka perunggu di Pura Penataran Sasih Pejeng. Relief di Yeh Pulu Petanu,gua gajah, pura gunung kawi, patung-patung dewi Gayatri di kuteri dsb. Aspek pemerintahan raja-raja di Bali Mempunyai pusat kebudayaan berkisar dari Pejeng ke Samprangan, Gelgel, Klungkung pada pemerintahan dalam Bali. Pada masa ini pengabdian terhadap seni bermutu tinggi untuk keindahan Pura (religi),dan Puri (istana). Bentuk gaya klasi tradisonal. Seperti hiasan pepatraan,pewayangan. Melukis cerita Mahabarata,Ramayana dsb. Karya seni ini dikerjakan bersama-sama. Aspek kehidupan sosial masyarakat Bali Masyarakat Bali berpegang teguh pada adat istiadat yang berlaku antara lain: Hukum adat, tata pergaulan sehari-hari,cara hidup berkelompok diman induvidu sebagai bagian masyarakat mempunyai hubungan yang erat antara satu dengan yang lainya. Seperti subak sakaha,tunggal kawitan,tunggal sanggah,banjar,desa. Aspek geografis dan alam Bali Bali dengan alam yang menarik dengan segala keindahannya turut melantar belakangi agama seni budaya dan adat istiadat yang serasi dan saling mengisi terwujutnya seni budaya Bali. Seperti pura yang didirikan di sekitar di sekitar pemadangan alam yang indah. Begitu juga dengannya adanya jalan yang berliku-liku di lereng gunung, sawah di punggung berbukitan, gunung membiru ,lembah dan ngarai,danau serta lautan,semua mewujudkan keindahan dan kemesteriusan alam Bali dan banyak menggugah serta menjadi sumber bahan inspirasi bagi seniman. LATAR BELAKANG SEJARAH Perkembangan kesenian Bali pada umumnya tidak terlepas dari faktor sejarah serta kondisi geografi daerah Bali. Sejak kerajaan Majapahit berpengaruh di Bali, menyebabkan Bali berhubungan baik dengan Jawa Timur. Sehingga menyebabkan kesenian Hindu Jawa berkembang baik di sana yang bercampur dengan kesenian setempat. Terjadi suatu pembaharuan serta pembauran,timbulah suatu keserasian dan melahirkan seni budaya Bali. Memiliki cita rasa dan ciri tersendiri, maka pembaharuan tadi menghasilkan Kesenian Bali yang kita kenal sekarang. Begitu pula adanya berbagai peninggalan. Menjelang pada abad XX Bali mulai mendapat pengaruh dari unsur budaya Barat. Ditandai dengan masuknya kekuasaan panjajahan Belanda di daerah Bali pada tahun 1908. Pembaruhan dengan adanya pengaruh anasir kebudayaan Barat dalam kesenian.dimulai sejak datangnya pelukis Impessionime dari Jerman bernama Walter Spies pada tahun 1926. Juga disusul dengan datangnya pelukis Belanda bernama Rudolf Bonnet pada tahun 1928. Akibat pengaruh kedua orang tersebut terjadi suatu gejala pembaruhan yang mencapai puncaknya dengan berdirinya kelompok “Pitha Maha” pada tahun 1934. Selanjutnya disusul dengan lahirnya seni gaya Ubud dan gaya Batuan. Pada tahun 1928 telah didirikan museum yang menyimpan benda-benda seni berupa lontar dan prasi. Museum tersebut didirikan di daerah Bali utara yaitu kota Singaraja,dengan di beri nama “Gedung Kirtya” Pada tahun 1956 berdiri sebuah museum yang menyimpan lukisan dengan nama museum “Puri Lukisan’’, sedangkan pendirinya adalah sebuah badan yang bernama Yayasan Ratna Wartha. Kemudian menyusul lagi museum Lukisan “Le Mayeur” berada di sekitar pantai Sanur Bali. Juga pada tahun 1982 yayasan Dharma Seni mendirikan sebuah museum lukisan dengan nama “museum Neka”, didirikan di daerah Ubud. Dengan akibat masuknya pengaruh seni budaya modern, maka timbul juga pembaharuan dalam sikap mental dari yang bersifat komunal menjadi individual. Dari seni “kesanggingan” menjadi bentuk seni “kekinian”. Pembaharuan tersebut karena pada umunya masyarakat Bali mudah menerima sesuatu yang baik dari luar,dengan didahului oleh seleksi dan kemudian menjadi milik sendiri. Akibat tersebut sehingga terjadi tiru-meniru dalam kalangan seni,akibat identitas pribadi semakin menipis menadi identitas banjar attau desa. Sedang pembaruhan yang mendasar dialami oleh generasi muda dengan melalui pendidikan formal dan disiplin ilmu kesenirupaan, dengan teknik modern muncul berbagai bentuk karya seni yang berkonsep modern dan menumbuhkan identitas gaya pribadi. PEMBAGIAN GAYA DALAM SENI LUKIS BALI Sejak adanya pengaruh gerakan dari kelompok “Pitha Maha”, maka pembaharuan dan modernisasi dalam seni lukis terjadi perkembangan yang pesat. Akan tetapi dalam bentuk dan gayanya masih dikatakan dalam garis ciri khas seni lukis Bali. Pada perkembangan tampak berbagai kecenderungan yang dapat di kategorikan menjadi beberapa hal antar lain: 1. SENI LUKIS KLASIK KAMASAN 2. SENI LUKIS PITHA MAHA 3. SENI LUKIS YOUNG ARTIS 4. SENI LUKIS AKADEMIS Seni Lukis Klasik Kamasan Merupakan kelanjutan dari tradisi melukis wayang. Bentuk gayanya tidak auh berbeda dengan wayang kulit. Hanya pelukisan wajah figurnya tampak tiga perempat dan kedua belah biji matanya kelihatan. Perkembangan seni lukis ini sudah dimulai sejak abad XVI, pada saat kerajajn Gelgel jatuh dan pemerintahan berpindah ke Klungkung. Banyak didapatkan berbagi hiasan pada pura dan puri dengan gaya seni lukis ini. Peninggalan yang masih ada dan terawat baik. Terdapat pada gedung Kerthagosa di daerah Klunkung sekarang Pada tahun 1686 muncul seorang pelukis (sangging) bernama Sangging Mahudara di Klungkung,dan beliau menjadi pelopor pada perkembangan seni lukis klasik kemasan ini. Sedang kamasan diambil dari nama sebuah desa yang menjadi pusat berkembangnya seni lukis ini sampai kini. Ciri-cirinya antara lain : • Bahan dasar sebagai kanvas dari kain tenun, blacu, papan, triplek, herd board. • Warna yang digunakan antara lain: merah (dari batu), biru (blau), kuning (tanah pere), hitam (langes), putih (tulang). Untuk warna lain dengan mengolah warna-warna pokok tersebut. • Alat yang berupa kuas dibuat dari bambu dan pena yang di baut dari bahan sejenis kayu yang diruncingkan. • Tema diambil dari cerita Ramayana, Mahabarata, Baratayudha, cerita malet atau cerita panji, Sucasoma, dan pelintangan atau kalender kelahiran. Pada mulanya seni lukis ini dikerjakan secara komunal (kolektif) yaitu dikerjakan bersama oleh beberapa orang. Tapi perkembangan selanjutnya mucul pribadi-pribadi antara lain: • Mangku Mura • Ida Bagus Made Gelgel • I Nyoman Mandra • I Wayan Lengket Seni Lukis Pitha Maha Dengan adanya pengaruh 2 orang pelukis yang datang ke Bali. Mereka adalah Walter Spies dan Rudolf Bonnet, berpengaruh terhadap perkembangan seni lukis Bali dengan adanya pelajaran dan didikan tehnik modern ala Barat pada pelukis-pelukis Bali saat itu. Kemudian atas bantuan dari Cokorda Ngurah Lingsir, pada tahun 1935 mendirikan organisasi tersebut antara lain: 1. Bertujuan memajukan dan mengembangkan seni daerah. 2. Bertujuan untuk meningkatkan mutu hasil seni. 3. Membantu menyelenggaraan pameran hasil karya dari pedan komisi baik ke luar daerah maupun ke luar negri. Sebagai ciri umum lukisan gaya ini menunjukan perubahan dari gaya klasik tradisonal menuju pada bentuk baru yang sedikit agak berbeda, tetapi masih tetap ada ciri khas gaya akarnya. Pembaharuan ini di pelopori dengan gaya pribadi dari karya I Gusti Nyoman Lempat dalam seni lukisnya. Sedangkan pada seni Patung dipelopori oleh I Tjokot melahirkan “cokotisme”. Serta gejala pembaruan seni patung realis. Pada masa Pitha Maha ini gejala perkembangan terdapat 2 gaya yang agak berbeda yaitu seni lukis gaya Ubud dan seni lukis gaya Batuan. Masing menujukan ciri dan bentuk yang berbeda sesuai daerah perkembangannya. Seni Lukis Gaya Ubud Gaya seni lukis ini berkembang di daerah Ubud dan sekitarnya sampai kini. Merupakan perkembangan dari gaya klasik yang mengalami modernisasi. Adanya gaya pribadi yang tampak. Ciri-cirinya antara lain: • Tehnik sudah modern, bahan dasar memakai kanvas dari blanco, drill, metting, kertas dsb. • Alat-alat yang dipakai sudah seperi seni lukis modern, seperti potlot, pena, kuas cina dsb. • Cat yang mereka pakai tidak lagi bahan alam melainkan bahan-bahan hasil produksi pabrik, seperi cat air, cat acrylic, cat minyak, dan juga telah memakai fixatif (pelapis). • Tema yang mereka ambil tidak lagi cerita sastra tapi objek sehari-hari seperti petani di sawah, upacara pura, keramaian pasar, tari-tarian dsb. Penganutnya antara lain: • I Gusti Nyoman Lempat • I Gusti Ketut Kobot • Ida Bagus Made • Anak Agung Gede Sobrat • I Wayan Turun Seni LukisGaya Batuan Seni lukis modern gaya Batuan ini berkembang di daerah Batuan dan sekitarnya. Juga merupakan perkembangan gaya seni lukis klasik yang memiliki ciri khas Batuan. Pada gaya Ubud masih tampak gaya lukisan wayang, tetapi pada gaya Batuan ini sudah tidak menampakkan gaya lukisan wayang lagi. Gaya Batuan lebih menonjolkan warna hitam dan putih pada latar belakang, hijau dalam (kolam) untuk warna dedaunan, dan merah kecoklatan untuk warna kulit manusia. Sehingga menampakan suasana malam dan menakutkan. Ciri-cirinya antara lain: • Bahan yang digunakan tidak berbeda dengan gaya lukisan Ubud. • Alat-alat juga sama, begitu pula dengan cat yang dipakai • Tema yang daiambil dari cerita rakyat yang populer dan tema kehidupan sehari-hari yang bebas. • Teknik pada gaya Batuan lebih teliti dengan adanya motif dekoratif yang lebih rumit, maka perlu adanya kecermatan kerja bagi pelukisnya. Penganutnya antara lain: • Ida Bagus Made Wija • Ida Bagus Made Togog • I Wayan Rajin Seni Lukis Young Artis Pada tahun 1961 muncul aliran dengan corak baru yang sebelumnya tidak pernah di duga. Lukisan gaya ini dengan corak dekoratif yang naif. Kemunculannya berpusat di desa Penestan dekat Ubud. Sedang promotor dari gaya ini adalah seorang pelukis dari Belanda Ari Smith. Dengan bimbingan dan motivasi yang diberikan pada anak-anak di desa itu untuk melukis sebebas-bebasnya. Jadi anak melukis bebas sesuai kemampuan yang dimiliki dan segala fantasinya maka lukisan itu menunjukkan spontanitas besar. Lahirlah lukisan dekoratif yang naif dan kekanak-kanakan, warna segar dan cemerlang sehingga lukisan tersebut dinamakan Seni Lukis Gaya Young Artis. Ciri-cirinya antara lain: • Bahan dasar memakai kanvas atau kain yang sudah seperti pada seni lukis modern. • Cat yang dipakai cat minyak, dengan mengunakan medium dari minyak tanah agar tidak mengkilat,menggunakan plamir untuk pelapis dasar dari cat tembok dan lem. • Alat-alat yang dipakai beruupa buatan pabrik seperti pada seni lukis modern. • Tema yang diambil ialah kehidupan sehari-hari yang terus terbawa, petani, nelayan, tari Barong, tari Arja dsb. Penganutnya antara lain: • I Nyoman Cakra • I Ketut Soki • I Ketut Puduh • I Ketut Tagen • I Ketut Pugur • I Ketut Londo • I Ketut Mujung SENI LUKIS MODERN YANG BERKEMBANG DI KOTA-KOTA BESAR Seperti yang telah dijelaskan di muka bahwa pada golongan seni lukis kedua ini berkembang di daerah kota-kota besar di Indonesia. Terutama kota-kota antara lain: Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Surabaya, Medan, Semarang, Ujung Pandang dsb. Pada umumnya di kota banyak tersedianya sarana dan prasarana yang memungkinkan berkembangnya seni lukis modern berkembang dengan pesat. Apalagi ditunjang dengan adanya pendidikan formal, yakni akademi kesenirupaan dan munculnya berbagai kelompok seniman dengan sanggarnya, ataupun studio seni pribadi dimana seniman bekerja. Begitu pula ditunjang adanya fasilitas lain seperti faktor transportasi yang mudah, komunikasi, serta ekonomi yang lebih memungkinkan, sdang yang lebih penting adalah faktor kebutuhan dan pandangan hidup masyarakat dengan kebudayaan yang modern. Perubahan dari sikap hidup masyarakat inilah yang memungkinkan bertumbuhnya seni modrn dalam masyarakat modern seperti yang tampak dalam masyarakat kota besar tersebut. Walaupun tidak dapat dipungkiri faktor tradisional masih dibawa sebagai suatu kecenderungan kecil. Begitu pula dalam hal karya seni modern yang berkembang di Indonesia masih juga terdapat kecenderungan untuk memasukan unsur seni tradisonal. Tetapi pada dasarnya masih tetap sebagai seni modern. Dalam seni lukis pada golongan kedua, dapat dikatakan seperti bentuk seni lukis modern yang ada di negara-negara Barat. Karena pada dasarnya adanya pengaruh baik itu secara langsung maupun tidak langsung. MASA KEDUA Pada sekitar tahun 1940 telah tumbuh seni lukis dengan gaya mengungkapkan pengalaman dalam hidup. Tampak adanya perwatakan dan keadaan jiwa tegang dan gelisah pada lukisan. Mengingat perasaan atau energi terhadap objek yang dilukiskan oleh mereka MASA KETIGA Berlangsung sesudah masa tahun 1960. Pada masa ketiga ini telah tumbuh gaya atau corak seni lukis abstrak. Objek lukisannya telah sukar untuk dinikmati dan dikenal bentuknya. I. SENI LUKIS PADA MASA PERTAMA 1900-1940 Yaitu seni lukis yang tumbuh di Indonesia dengan berobjek pada pemandangan alam. Faktor-faktor penyebabnya antara lain: Karena pengaruh pelukis Belanda pada jaman Hindia Belanda. Seni lukis tersebut telah berkembang sejak tiga sampai empat abad yang lalu di Eropa. Adanya cita – cita kaum pedagang Eropa dengan membawa seni lukis pemandangan alam sejalan dengan kemajuan dan perkembangan kaum pengusaha dan saudagar. Serta pada kenyataanya pelukis jaman itu memang senang membuat objek dari lukisannya mengambil tema pemandangan alam. Karena saat itu seni lukis ini mendapat tanggapan yang baik, terutama dari kaum menengah. Penganutnya antara lain: • Abdullah S.R. • Mas Pirngadi • Wakidi Dalam lukisan mereka telah mencoba membuat suatu gaya dengan cara menghilangkan bayangan peradapan jaman modern. Dengan memindahkan dan mengaturnya letak dan susunan pohon atau rerumputan. Seolah-olah mereka memperbaiki keadaan alam dalam lukisannya. Perhatian yang lain ialah dengan adanya kesan warna panas, dingin dsb. Hal tersebut memang berusaha untuk mengubah suasana segar dan menyenangkan. Sedang teknik melukis merka masih menggunakan ketentuan-ketentuan dalam seni lukis Belanda. Perspektif juga mendapat perhatian khusus, dalam bidang di bagi menjadi 3 yaitu depan, tengah, dan belakang. Pada ruang yang ditojolkan diberi penekana cahaya. Warna telah diatur pada palet agar tidak menimbulkan warna yang kotor, kemudian dikuaskan dengan halus serta teliti pada kanvas. II. SENI LUKIS PADA MASA KEDUA 1940-1960 Di masa ini telah berkembang gaya seni lukis yang mengungkapkan perasaan dan gaya emosi pibadi. Beberapa faktor kecendrungan: Pertama, Pelukis dengan langsung menghadapi objeknya saat melukis serta digerakan oleh emosinya yang erat dengan objeknya. Kecenderungan mendistorsi objek dengan mengubah bentuk dan proposinya serta warna. Sehingga terjalin hubungan erat antara emosi dan distorsi yang menyatu dalam bentu lukisan yang terlahir. Tampak susunan rupa yang dinamis dengan ditunjang tarikan garis dan sapuan kuas yang leluasa, spotan dan tegas. Oleh karena itu tampak kusam karena warna di campur di atas kanvas. Tergeraknya emosi tidak saja pada wujud rupa melainkan juga pada makna obyeknya. Hubungan antara dengan pengalaman dan pikiran. Pengalaman akan kehidupan sosial rakyat di sekitar banyak memberikan inspirasi atas lahirnya karya lukis. Terutama bagi mereka yang tergabung pada SIM ( Seniman Indonesia Muda ) dan pelukis Rakyat antara lain: Sujoyono, Affandi, Hendra Gunawan, Surono, Henk Ngantung, Trubus, Tarmizi, Otto Jaya, Dullah, Hariyadi, Amrus Natalsya. Beberapa yang menunjukan kecendrungan ungkapan emosi pribadi antara lain: Basuki Resobowo, Sholikin, Oesman Effendi, Zaini, Nashar. Kedua, Gaya dengan objektifitas lebih besar juga berkembang dalam masa ini. Pelukis mengamati suatu objek, lalu emosinya mendistorsi yang dilihatnya tadi. Mereka yang menganut konsep ini antara lain:Sujoyono, Menk Ngantung, Hariyadi, Dullah, Trubus. Pada perkembangan sekitar tahun 1940-1960 ini, sementara kritikus banyak yang mengecam pada seni lukis modern,karena sukarnya untuk dipahami oleh masyarakat biasa. Mereka lebih suka pada gaya realistis (nyata). Mereka menolak dan mengeritik agar seni lukis masa itu berkembang dengan meninggalkan abstraksi objeknya. Akan tetapi pada kenyataanya seni lukis tetap mengarah pada abstraksi lebih besar. Demikian juga para pelukis tetap pada konsep pribadi yang mengarah pada gaya lukisan yang jauh dari realisme. Ketiga, Pada kencendrungan lainya mengarah adanya subjektifitas dan fantasi. Berbagai proses kejiwaan seperti khayal, lamunan, mimpi, mithos dan sebagainya terlahir dalam karya seni lukis. Dari tinjauan seni psikologis menunjukkan bahwa semuanya itu merupakan protes terhadap kenyataan yang bermakna. Tetapi munculnya tidak berdasarkan logika kenyataan saat kita dalam keadaan terbangun. Dengan fantasi dapat melahirkan citra yang menyenangkan, mencekam atau juga menakutkan yang melalui prinsip irrasional. Beberpa pelukis yang berkecenderungan ini antara lain: Sudibio, Agus Jaya, Sukirno. Keempat Gaya seni lukis dekoratif atau hias juga berkembang pada masa ini. Kebanyakan menggunakan obyek pohon atau daun yang digayakan atau dipolakan. Watak garis diperjelas, irama berulang-ulang, serta pola teratur dan rapi. Perkembangan dari gaya hias ini tidak cenderung menggayakan bentuk obyek sebagai model, melainkan menyusun berbagai elemen-elemen rupa yaitu garis, warna, tekstur, bidang menjadi bentuk umum. Sedang obyek manusia atau binatang bukan lagi seperti yang kita kenal. Tidak lagi melukiskan potret sesorang. Tetapi melukiskan perlambangan juga tidak oyektif melainkan adanya abstraksi yang lebih besar. Beberapa penganutnya antara lain: Kartono Yudhokusumo, Hendra Gunawan, batara Lubis, Widayat, Abas Alibasyah, bagong Kusudiarjo, Suparto. III. MENJELANG SENI LUKIS ABSTRAK 1955-1960 Pada masa ini berkembang gaya seni lukis yang menunjukkan peralihan dari gaya yang telah ada menuju pada perwujudan gaya seni lukis abstrak. Gaya ini terutama muncul di kota-kota seperti Jakarta, Bandung, dan Jogjakarta. Di Bandung tampak pada karya-karya dari Ahmad Sadali, Mochtar Apin, Srihadi, Popo Iskandar, But Mochtar, Yusuf Effendi. Sedang di Jakarta pada Oesman Effendi. Di Yogyakarta pada karya G. Sidharta, Fajar Sidik, Handriyo, Abbas Alibasyah. Pada masa peralihan ini tampak suatu usaha untuk merombak bentuk-bentuk obyek menjadi motif-motif yang datar. Terjadi dari perpotongan garis lurus dan lengkung yang membagi permukaan dari kanvas, warna serta bidang-bidang geometris. Kecenderungan dari masa ini tampak lebih bebas dalam penyusunan bentuk-bentuk abstrak. Penyusunan rupa yang ekspresif sebagai segi liris serta memuaskan perasaan rupa untuk segi estetik. Maka mulai saat ini telah muncul suatu gejala peralihan dalam pembaharuan seni lukis Indonesia. Kemudian lahir bentuk seni lukis abstrak Indonesia. IV. SENI LUKIS PADA MASA KETIGA (SESUDAH 1960) Perkembangan sesudah tahun 1960, Indonesia memiliki bentuk baru dalam seni lukis, yaitu Seni Lukis Abstrak. Gaya tersebut tidak menyuguhkan objek yang kita kenal dalam kenyataan. Karena itu dikatakan seni lukis abstrak non objektif atau non figuratif. Seni lukis abstrak pada dasarnya tidak terlepas dari hubungan rupa yang ada. Kita tidak bisa menutup penglihatan dunia laur dari kenyataan di sekitar kita. Kita bisa menangkap apa aja yang ada di dunia dengan berbagai kemungkinannya. Bumi dilihat dari angkasa, detail dari permukaan tanah dan batu, benda yang dilihat dari mikroskop. Bentuk-bentuk tersebut menyadarkan pada kita akan kekayaan rupa yang bisa menumbuhkan ide yang beraneka. Jadi latar belakang pengalaman dan pengetahuan tentang rupa, baik itu secara fisiologi maupun faktor psikologis sebagai faktor yang penting dalam menghayati seni lukis abstrak. Serta adanya usaha persiapan tentang kekayaan dan kedalaman pengalaman akan dunia rupa yang beraneka. PERKEMBANGANNYA Pertumbuhan seni lukis abstrak di mulai sekitar tahun 1960, dengan ditandai dari faktor abstraksi yang lebih besar dari sebelumnya. Srihadi (1960-1962) Muncul eksperimen dengan menghasilkan seni lukis abstrak dalam mengisi perkembangan baru seni lukis Indonesia. Lukisannya berupa coretan-coretan yang lepas dinamis dan warna-warna transparan. A.Sadali 1993 Menyuguhkan warna-warna redup seperti tanah, oker, biru dalam dan hitam. Tekstur memegang peranan penting, yang merupakan tenaga dari proses alam, seperti penegangan dan pengerutan, peretakan dan pemecahan, penyobekan, pengikisan, pelapukan, proses menua dan hancur. Bahkan juga menempatkan lelehan dari sisa-sisa emas, juga bentuk lambang di pasang di ambil dari ayat suci alquran, segi empat hitam mengingatkan pada ka’bah, bentuk gunungan, serta gerakan ke atas. Fajar Sidik 1963 Menghasilkan lukisan abstrak dengan menyuguhkan susunan geometris. Membuat sketsa Vignet dalam bulatan, segi tiga dsb. Juga bentuk-bentuk yang menyerupai manusia, binatang, tumbuh-tumbuhan. Menggunakan warna-warna biru, merah, kuning terang dengan rata. Oesman Effendi 1960 Dengan menjauhi bentuk alam, pada tahun 1968 membawa seni lukis abstrak dengan adanya kontras, harmoni dan variasi garis, warna cerah serta adanya tekanan susunan yang terbuka, dan bergerak leluasa serta beriama hampir mendekati irama pada seni musik. Popo Iskandar 1970 Pelukis satu ini tampil dengan liris alam dan kehidupan. Masih tetap menggunakan hubungan dengan objek alam seperti panati, pemandagan, bunga, kucing dsb. Beberapa pelukis lain yang datang dengan improvisasi tanpa pikiran pokok, membawa objek yang kita kenal walaupun tidak jelas. Pelukis-pelukis tersebut antara lain: A. D. Pirous, Yusup Effendi, Rustam Arief, Amri Yahya, D. A. Peransi O.H. Supono Melukis dengan membawa konsep fantasi abstrak. Dengan menampilkan obyek dan figur yang bergerak serta auh dari dunia alam nyata. Sedang pelukis-pelukis lain mencoba bereksperimen dengan tekstur, bahan serta teknik. Menempel potongan kertas, kain, kaca, logam, dengan teknik menjahit, mengelas, melubangi kanvas. Merakit bermacam-macam barang dan bahan serta teknik berkembang pesat. Mereka tersebut antara lain: Sapto Hudoyo, Abas Alibasyah, Amri Yahya, Bagong Kusudiardjo, Mujita, Mustika. V. TINJAUAN UMUM SENI LUKIS ABSTRAK Seni lukis abstrak yang berkembang pada masa ketiga ini mengarah pada corak ‘Lirisme’. Merupakan ungkapan emosi dan perasaan pelukis dalam dunianya. Lukisan sebagai bidang ekspresif untuk memproyeksikan rasa emosi dan getaran perasaan. Bidang lukisan sebagai dunia imajiner yang memiliki kodrat sendiri. Sedang pada tahun 1970 seni lukis abstrak Indonesia muncul suatu kecenderungan yang anti ‘lirisme’. Memiliki kecenderungan antara lain: Pertama Mereka menyingkirkan asosiasi dengan alam dan kehidupan. Pada dasarnya berpegang pada prinsip perasaan dalam tertib matematis dan rasionalitas dalam sni rupa. Lukisan sebagai susunan matematis dengan bentuk-bentuk geometris. Melukis merupakan penelitian, analisa, mengukur, menghitung untuk menimbulkan gejala optis dalam struktur bersistem. Pendukung dari paham ini antara lain: Harsono, Nanik Mirna,Anyyol Subroto, Sugeng Santoso. Pada tahun 1970-1973 muncul Seni Rupa Baru Indonesia yang sebenarnya merupakan dampak dari Pop Art. Kemudian pada tahu 1973, Danarto dengan pamerannya menyuguhkan kanvas kosong dalam ukuran besar dan tanpa pigora. Dari eksperimennya itu ia memberikan filosofi bahwa lukisan menjadi lingkungan bagi si pengamat. Tidak lagi dunia imajiner yang terkucil di dinding dengan dibatasi pigora. Kedua Anti ‘lirisme’ dari kecenderungan kedua ini terwujud pada kekongritan bentuk. Kalau ‘lirisme’ menyaring dan kemudian menjelmakan pengalaman serta emosi dalam dunia imajiner . Akan tetapi pada anti ‘lirisme’ tampak tidak menyaring dari transformasi alam. Bukan lagi gambaran benda itu disuguhkan tetapi benda itu sendiri. Bukan rasa jijik yang disuguhkan untuk kepuasan imajiner, melainkan rasa jijik itu sediri disuguhkan tanpa batas, sehingga menimbulkan rasa jijik jika orang melihatnya. Sebab mereka berdalih bahwa seni bukan sepotong dunia imajiner yang mesti direnungi dengan jarak tetapi meampilkan obyek kongkrit yang mampu melibatkan pengamat secara fisik. Hal ini tampak pada pameran ‘seni lukis 74’ oleh B. Munniardhi, Harsono dan Nanik Mirna. Juga gerakan Seni Rupa Baru Indonesia pada tahun 1975 oleh Jim Supangat, Hardi, Harsono, B. Munniardhi, Siti Adyati. A. LATAR BELAKANG SENI LUKIS INDONESIA Dalam perkembangan Seni Lukis Indonesia Baru tidak terlepas dari kaitan kemasyarakatan dan kebudayaan Indonesia sendiri. Maka diperlukan pewarisan budaya dalam watak manusia Indonesia, dengan dasar hubungan manusia dan realita sekelilingnya sendiri, sehingga terjalin intuisi, emosi, serta realitas. Perkembangan peradaban masyarakat Indonesia tetap memperlihatkan bertahannya unsur-unsur kebudayaan lama, telah memberi nafas tersendiri dalam perkembangan Seni Lukis Indonesia Baru. Terutama tampak jelas pengaruh motip dari ragam hias. Dimana sebelumnya merupakan bagian dari seni tradisional. Begitupula dengan kekuatan sejarah dalam kehidupan sosial di sekeliling para seniman, memiliki pengaruh yang besar; seperti pergolakan politik, perjuangan, pembaharuan, cita-cita dari masyarakat membawa akibat kejiwaan yang tegang serta gelisah. Pada tahun 1928 saat tercetusnya Sumpah Pemuda, merupakan pengaruh yang sangat besar atas bangkitnya Seni Lukis Indonesia memiliki kepribadian sendiri yang kuat. Juga tidak daat disangkal bahwa kekuatan sejarah dimasa penjajahan Belanda menyebabkan adanya persentuhan Seni Lukis Indonesia dengan Seni Lukis Barat (Eropa). Namun tidak semua gaya seni lukis Barat memiliki pengaruh terhadap seni lukis Indonesia. Tetapi yang jelas terjadi akulturisasi di antara keduanya. Seni lukis yang lahir dan tumbuh serta bernafas di indonesia adalah milik bangsa Indonesia. Begitu pula didukung dengan lahirnya lembaga pendidikan kesenirupaan, sanggar-sanggar, serta gerakan yang mengarah pada pembangunan Seni Rupa Indonesia. Juga perlu adanya motivasi untuk membangkitkan rasa cinta dan memiliki seni lukis itu sendiri. A. IKHTISAR PERISTIWA SENI RUPA INDONESIA 1807 Raden Saleh Syarif bustaman lahir di Terboyo, Kabupaten Semarang. 1829 Setelah belajar pada pelukis Belgia A.A.J. Payen di Batavia, dikirim ke Belanda untuk studi atas biaya pemerintahan Kerajaan 1839 – 1845 Selama sepuluh tahun bermukim di Belanda, mendapat kesempatan keliling Eropa. 1848 Raden Saleh terkenal dengan karyanya ‘Antara Hidup dan Mati’ yang dilukis saat di Paris. 1870 Raden Saleh melukis di Batavia dengan karyanya ‘Perkelahian Dengan Singa’ sebagai koleksi Istana Negara sekarang. 1914 Berdiri Gedung Kunstkring Batavia sebagai tempat masyarakat Belanda mengadakan kegiatan pameran. 1922 Ki Hajar Dewantara mendirikan perguruan Taman Siswa di Yogyakarta, tumbuh pemuda-pemuda dengan jiwa seni seperti Rusli, S. Sudjojono, Basuki Rosobowo dan Abbas Alibasyah. 1923 Perkumpulan Seni ‘Raden Saleh’ berdiri di Surabaya oleh Maskan, Soepardi, Pik Gan, Joyowisastra. 1926 Pelukis kelahiran Jerman Walter Spies datang di pulau Bali, menetap di Campuan, Ubud. 1934 Penguasa Regnault mengadakan Pameran Lukisan Eropa koleksi pribadinya di gedung Kunstkring karya-karya asli dari : Chagal, Utrillo, Dufy, Gaugin dll. 1935 Cokorda Gede Agung Sukawati beserta Walter Spies dan Rudolf Bonet mendirikan perkumpulan pelukis dan pematung Bali ‘PITHA MAHA’ 1936 Pameran koleksi Regnault untuk kedua kalinya menampilkan karya-karya asli dari: Campigli, Chirico dan Van Gogh. KURUN JAMAN I: RADEN SALEH DAN PELUKIS-PELUKIS HINDIA JELITA KURUN JAMAN II: PERSAGI DAN SANGGAR-SANGGAR PELUKIS REVOLUSI 1937 Persatuan Ahli Gambar Indonesia (Persagi) berdiri di Jakarta dipimpin Agus Jaya dan S. Sujoyono. 1930 Pelukis Indonesia diperbolehkan mengikuti acara di Kunstkring Batavia 1941 Penyelenggaran pameran Lukisan Indonesia karya-karya seniman, Otto Jaya, Emiria Sunarsa, RM Surono dan Sujoyono oleh lingkaran seni masyarakat Belanda ‘Kunstkring Batavia’ 1942 Keimin Bunka Shidosho Pusat Kebudayaan yang didirikan pemerintah Dai yang dipimpin oleh seniman Sasoe Ono dan Yamamoto. Sedang anggota dari Indonesia antara lain: Agus Jaya (ketua), Otto Jaya, Basuki Resobowo, Sujoyono dan Affandi. 1943 Lembaga Kesenian dari Pusat Tenaga Rakyat (Putera) dibentuk dibawah pimpinan Ir. Soekarno, M. Hatta, Ki Hajar Dewantara, dan KH Mansyur. Sedang bagian lukis diserahkan pada pelukis-pelukis Sujoyono, Affandi, basuki Abdullah, Kartono Yudhokusumo, Surono, Dullah, Hendra dll. 1945 Pusat Tenaga Pelukis Indonesia didirikan oleh Jayengasmoro. Angkatan Seni Rupa Indonesia (ASRI) didirikan di kota Medan oleh Nasjah Jamin. 1946 Seniman Indonesia Muda (SIM) didirikan oleh Sujoyono di Madiun kemudian pindah ke Solo, selanjutnya menetap di Jogyakarta 1948. 1947 Hendra Gunawan keluar dari SIM dan mendirikan Pelukis Rakyat (PR) dimana Hendra dan Affandi berkecimpung dalam sanggar. Pada tahun ini juga di Jogyakarta diadakan pameran pelukis-pelukis Revolusi dengan menampilkan sebanyak 70 buah karya lukisan dari Sujoyono, Affandi, Trubus, Haryadi. Saat itu Ipphos membuat dokumentasi foto yang lengkap. Di Bandung berdiri Balai Pendidikan Universitas Guru Gambar yang kelak menjadi bagian seni rupa ITB. 1948 Gabungan Pelukis Indonesia (GPI) didirikan di Jakarta oleh Sutiksna dan Affandi dengan anggotanya: Handriyo, Zaini, Nashar, Oesman Effendy, Suparto, Basuki Rosobowo. Seniman Indonesia Muda Indonesia (SEMI) didirikan oleh Ali Akbar di Bukit Tinggi. 1949 Seniman di Madiun membentuk Tunas Muda Madiun dipimpin oleh Sudiyono, sedang anggotanya al. Kartono, Sudibio, Sunindio. Di Surakarta terbentuk Himpunan BudayaSurakarta pimpinan Murdowo, himpunan ini lebih dikenal HBS. KURUN JAMAN III: TIMBULNYA AKADEMI-AKADEMI DAN PERKEMBANGAN SENI RUPA MUTAKHIR 1950 Berdiri Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI) didirikan di Jogyakarta dengan dukungan Pusat Tenaga Pelukis Indonesia (PTPI), PIPIM dan pemerintah. Sedang yang menjadi direktur pertama RJ. Katamsi. Bagian Seni Rupa ITB dibentuk dengan pimpinan T. Sumarja. Lembaga Kebudayaan Rakyat (LEKRA) di bentuk di Jogyakarta. Pelukis Indonesia (PI) didirikan antara lain olh Kusnadi dan Sholikin dengan anggota Nasyah Jamin, Gambir Anom, Bagong Kusudiardjo, dan Motinggo Busye. Di Surabaya kelompok seniman al: Karyono, Bandarkum dan Wiwiek Hidayat membentuk ikatan seniman Prabangkara dengan anggotanya Imam Sunaryo, Sunarto Timur, dll. Dengan pimpinan Widagdo di Malang terbentuk Angkatan Pelukis Muda Malang (APMM). Sedang anggotanya Hasan Salman, Joko Irawan, Armand. 1952 Pelukis Indonesia Muda (PIM) berdiri dengan anggota G. Sidharta, Widayat, Sayogo dan seniman angkatan ASRI di Yogyakarta. Kartono Yudhokusumo mendirikan “Sanggar Seniman” di kota Bandung. Pada tahun ini juga berdiri Badan Musyawarah Kebudayaan Nasional (BMKN). 1953 Di Bandung berdiri “Tjipta Pantjaran Rasa” (TPR) oleh R.Waluyo, Abedy dan Angkama. 1954 Atas prakasa Cokorda Gede Agung Sukawati dan Rudolf Bonnet didirikan sebuah Museum “Puri Lukisan” di Ubud Bali. 1955 Sanggar “Matahari” dibentuk oleh Zaini, Trisno, Sumarjo, Oesman Effendi, Nashar, Alex Wetik, Puranta, Alimin. 1956 Pelukis Dullah diangkat sebagai kuraktor koleksi Sukarno dan menerbitkan buku “Koleksi Presi dan Sukarno” dalam 2 jilid. 1958 Berdirinya “Yayasan Seni dan Design Indonesia” oleh Goos Harjasumantri, Oesman Effendi, Zaini, dan Trisno Sumarjo. 1961 Atas dorongan dari pelukis Arie Smit maka muncul corak baru dalam seni lukis Bali dengan gaya dekoraktif naif “ The Young Artist” di daerah Penestanan, Ubud Bali. 1963 Pada tanggal 17 Agustus 1963, Manifes Kebudayaan ditanda tangani oleh seniman-seniman dan cendekiwan seperti; H.B. Yassin, Trisno Sumarjo, Zaini, Taufiq Ismail, Gunawan Muhammad dll. Pelukis Le Man Fong diangkat sebagai kurator koleksi Seni Rupa Presiden Sukarno. 1964 Terbentuk panitia penerbit buku lukisan-lukisan dan patung koleksi Presiden Sukarno menerbikan buku koleksi Sukarno yang ke 2 dalam lima jilid. 1967 Akademi Seni Rupa (Aksera) didirikan oleh seniman-seniman Surabaya saat itu. 1968 Gubenur Ali Sadikin membentuk Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) dengan ketuanya Trisno Sumarjo yang pertama Pusat Kesenian Jakarta “Taman Ismail Marzuki” (TIM) diresmikan oleh gubenur Ali Sadikin. 1970 Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta (LPKJ) di bentuk oleh DKI. Kemudian sekarang berubah nama menjadi Institut Kesenian Jakarta (IKJ) Pameran Seni Lukis Indonesia dengan sponsor Menteri Luar Negri Adam Malik di Jakarta dan New York dalam rangka HUT ke 25 PBB. 1971 Terbentuk Akademi Jakarta di Jakarta 1972 R. Bonnet kembali ke Indonesia atas kerja sama kebudayaan Indonesia, Belanda maka terjadi usaha memperluas dan melengkapi museum “Puri Lukisan” di Ubud Bali. 1976 Diselengarakan sebuah pameran besar lukisan Lukisan karya Basuki Abdullah di Hotel Borobudur. Pada tanggal 20 Agustus sampai 28 Nopember selama 100 hari, diselengarakan pameran seni rupa “ Seabad Seni Rupa Indonesia” yang diikuti oleh seniman seni rupa se Indonesia.

B. DEVELOPMENT OF MODERN INDONESIA Painting

At present in Indonesia has developed two major categories of Modern Art. Both groups are growing Indonesian Painting in Bali and one growing in big cities in Indonesia. Both have different styles and perekembangan because basically in because of differences in background, culture.

FIRST GROUP
In the first group is growing Indonesian Painting in Bali. Around the thirties there was a Balinese art updates that experienced little by little from the shift changes from the ancient Balinese art or classical. Before the change, Balinese art has grown with the pattern of art-related Traditional classification by customs and religion of Hindu Bali. While painting the decorative motifs of ancient literature and describe bali.
Once an update is in progress a little different to painting previous page. Then the Balinese painting is no longer just depict ancient literature, but it takes an object such as modern painting. So is his style of engineering problems. However, bagaimanapn also still looks like its parent the Balinese painting. So modern painting which flourished in Bali still be called the Art of Bali because they still keep in touch with the arts and culture of Bali itself.

SECOND GROUP
The second group is currently in Indonesia Modern Art painting which flourished in big cities. A case of Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Surabaya, Medan and so on. In general painters of this second type of formal education mengeyam breathing. They are the product of art or art school studios. Most have never studied or read some theories about the nature of modern art.
There are some that incorporate elements of regional art, or things that are traditional in the processing of his art. But the reality could not be included in the regional cultural arts categories. So in principle, still relatively modern painting. This is due to the result of cultural influences that have been developed and also the entry of elements of Western culture. Especially in the colonial period until the education system. So can not be denied that the development of modern art of Western or European give fair development of Modern Art in Indonesia.



FIRST GROUP
 Painting BALI
Before we discuss about Bali's art, we should first look at the background history and aspects of Balinese life and some of the elements supporting the arts in Bali.

Bali is known as an area of ​​interest in keseniaannya was, in fact supported by various aspects, among others
a. Aspects of Hindu life
b. Aspects caused by the relics of history in Bali.
c. Aspects of the kings in Bali
d. Aspects of social life
e. Geographical and natural aspects of Bali.

Aspects of the life of the Hindu religion, Hindu religion has been deeply rooted in Balinese society. Both a tradition and customs of the Balinese people to embrace him. With the variety of religious ceremonies such as piodalan Pura, etc. Yadnya ceremony Panca. The role of supporting the arts and even has become an integral part of Hinduism in Bali. Any religious activities will not be separated from artistic activity TSB. Balinese art so that in its growth in harmony with religion led to a harmonious unity both knit and intimate.
Aspects generated by the objects of heritage
Relics of ancient objects from the time of the Old Stone to the New Stone. Also Hindu-Buddhist cultural heritage (before the influence of Majapahit). Relics include: Copper Inscription, Inscription Rock, Lontar and Prasi, ARCA, Heritage bronze, pottery, a variety of decorative styles. Ancient relics, among others; Hell bronze in Penataran Sasih Pejeng. Yeh Pulu Relief in Petanu, elephant cave, temple Gunung Kawi, statues goddess Gayatri in kuteri etc..

Governance aspects of the kings in Bali
Have ranged from cultural centers to Samprangan Pejeng, Gelgel, Klungkung on governance in Bali. At this time devotion to the art of high quality to the beauty of temple (religion), and Puri (palace). Form style of traditional classification. As decoration pepatraan, puppet. Painting the Mahabharata, Ramayana etc.. This artwork was done together.

Social aspects of Balinese life
Balinese people cling to the customs prevailing among others: Customary law, procedures for daily life, how to live in groups Diman induvidu as part of the public has a close relationship with each other. Such as subak sakaha, kawitan single, single corrected, banjo, village.

Geographical and natural aspects of Bali
Bali with interesting natural beauty with all the co-culture art melantar backs on religion and customs co-exist harmoniously and terwujutnya art of Balinese culture. Like the temple which was established in the vicinity around a beautiful natural sights. So also with the existence of a winding road on the slopes of mountains, rice fields in back berbukitan, blue mountains, valleys and gorges, lakes and oceans, all embody the beauty and natural kemesteriusan Bali and many evocative and become a source of inspiration for artists.

HISTORICAL BACKGROUND
The development of Balinese art in general can not be separated from historical factors and geographical area of ​​Bali.
Since the influence of the Majapahit kingdom in Bali, Bali causes associated both with the East Java. Thus causing the Hindu Javanese art well developed there are mixed with the local arts. There was a renewal and integration, harmony and childbirth timbulah a Balinese art and culture. Has a distinctive taste and characteristics, then the renewal had produced Bali Arts we know today. Similarly, the existence of various relics.
Ahead of the twentieth century began under the influence of Balinese elements of Western culture. Marked by the entry of the Dutch power panjajahan in Bali in 1908.
Pembaruhan with the influence of Western cultural elements in kesenian.dimulai Impessionime since the arrival of German painter Walter Spies in 1926. Also followed by the arrival of the Dutch painter Rudolf Bonnet named in 1928.
Due to the influence of the two men occurred a phenomenon pembaruhan which culminated with the establishment of the group "Pitha Maha" in 1934. Subsequently followed by the birth of Ubud art style and the style rocks.
In 1928 the museum has been established that stores objects of art in the form of palm and prasi. The museum was established in the area north of the city of Singaraja Bali, with the name "House Kirtya"
In 1956 established a museum that holds the museum of paintings with the name "Castle Painting'', while the founder is an entity called the Foundation Ratna Wartha. Then followed another museum painting "Le Mayeur" be around the coast of Sanur Bali. Also in 1982 the foundation of Dharma Art founded a museum of paintings with the name "Neka Museum", was established in the Ubud area.
With the influx due to the influence of modern art and culture, will arise in the reform of the mental attitude that is communal to individual. Of art "kesanggingan" into a form of art "contemporary".
Renewal because in general the people of Bali readily accept anything good from the outside, preceded by a selection and then become the property itself. Due to the resulting echoes in the art-imitating, due to dwindling personal identity menadi banjar attau village identity.
Moderate pembaruhan fundamental experienced by young people through formal education and artistic disciplines, with modern techniques, various forms of art which the modern concept of identity and foster personal style.

DISTRIBUTION OF BALI STYLE in painting
Since the influence of the movement of the group "Pitha Maha", then the renewal and modernization in the art of rapid development occurred. However, in the form and style are said to be in line characteristic of Balinese painting.
In the development of various trends that seem to be categorized into several things among others:
1. CLASSICAL Kamasan Painting
2. Painting PITHA ALMIGHTY
3. Painting YOUNG ARTISTS
4. ACADEMIC Painting

Classical Painting of Kamasan
A continuation of the tradition of painting puppet. Auh not form his style different from shadow puppets. Only portrayal face and figure looked three-quarters of both pupils of her eyes visible.
The development of this painting has been started since the XVI century, when kerajajn Gelgel fell and government moves to Klungkung. Many gained share in the decoration of temples and palaces in the style of this painting. Relics that are still there and well maintained. Posted at Kerthagosa buildings in the area now Klunkung
In 1686 appeared a painter (Sangging) named Sangging Mahudara in Klungkung, and he became a pioneer in the development of this packaging of classical painting.
Kamasan being taken from the name of a village that became the center of the development of this art until now.

Characteristics include:
• The basic ingredients of the woven fabric as a canvas, calico, boards, plywood, boards herd.
• Colors used include: red (stone), blue (Blau), yellow (ground pere), black (langes), white (bone). For other colors by processing these basic colors.
• Tools that form a brush made from bamboo and pen in the bolt of a sharpened wood-like material.
• The theme is taken from the Ramayana, Mahabharata, Baratayudha, Malet story or story banner, Sucasoma, and pelintangan or calendar birth.
At first painting was done communally (collectively) that is carried along by some people. But subsequent developments appear personalities, among others:
• Mangku Mura
• Ida Bagus Made Gelgel
• I Nyoman Mandra
• I Wayan Sticky

Painting Pitha Maha
With the influence of 2 people painter who came to Bali. They are Walter Spies and Rudolf Bonnet, influence the development of Balinese painting with the education and training of modern techniques of Western-style painters in Bali at that time.
Then with the help of Cokorda Ngurah Lingsir, in 1935 founded the organization include:
1. Aiming to promote and develop local arts.
2. Aiming to improve the quality of the art.
3. Helping menyelenggaraan exhibition of the works either Pedan commission outside of the region and abroad.
As a general characteristic of this style painting shows a change from traditional classical styles into a new form of a little bit different, but still remains the hallmark of the style of roots.
These reforms in the personal style of the pioneering work of I Gusti Nyoman Lempat in his art. While the Statue of art pioneered by I Tjokot birth "cokotisme". Updates and symptoms of realist sculpture.
During development of the Pitha Maha these symptoms there are two rather different styles of Ubud style of painting and art rock styles. Each addressing different characteristics and shapes according to regional development.

Ubud Style Painting
This style of painting developed in Ubud and surrounding area until now. An outgrowth of classical style modernization. The existence of a personal style that looks.
Characteristics include:
• Engineering is a modern, wearing canvas base material of the blanco, drill, Metting, paper etc..
• The tools used already are like modern painting, such as pencil, pen, brush, etc. china.
• Paint that they no longer use natural materials but the materials production plant, are like watercolor, acrylic paint, oil paint, and has also been put on fixatif (coatings).
• Themes that they take no longer literature but the story of everyday objects such as farmers in the rice, temple ceremonies, the market crowd, dance, etc..
Adherents among others:
• I Gusti Nyoman Lempat
• I Gusti Ketut Kobot
• Ida Bagus Made
• Anak Agung Gede Sobrat
• I Wayan Down

Art Rocks LukisGaya
Modern painting style evolved rocks in the Rock and the surrounding area. Is also a development of classical style of painting which has a typical rock.
In Ubud style of painting still looks stylish puppet, but the style has not revealed this rock painting style puppet anymore. Further highlight the rock style black and white in the background, green in (swimming) for foliage colors, and maroon for the color of human skin. So it appears the night and eerie atmosphere.
Characteristics include:
• The materials used are no different from Ubud painting style.
• The tools are also similar, as well as the paint used
• The theme daiambil of popular folklore and themes of everyday life are free.
• Engineering in style rocks more closely by the decorative motifs are more complicated, it is necessary for the artist working precision.

Adherents among others:
• Ida Bagus Made Wija
• Ida Bagus Made Togog
• I Wayan Diligent

Young Artists Painting
In 1961 appeared the flow with a new style that had not previously been in thought. This style of painting with the decorative style is naive. They appear centered in the village near Ubud Penestan. Being the promoter of this style is a painter from the Netherlands Ari Smith. With guidance and motivation given to children in the village to paint freely. So the children paint freely according to the capabilities and all the fantasies of the painting suggests spontaneity. Decorative painting was born naive and childish, fresh and bright colors so that the painting was named Young Artist Painting Style.
Characteristics include:
• The basic ingredients to use canvas or cloth that has been as in modern painting.
• Paint used oil paint, using the medium of kerosene that is not shiny, use plamir for basic coating of paint and glue.
• The tools used beruupa manufactured as in modern painting.
• The theme is taken everyday life that continues to get carried away, farmers, fishermen, Barong dance, dance, etc. Arja.
Adherents among others:
• I Nyoman Chakra
• I Ketut Soki
• I Ketut Puduh
• I Ketut Tagen
• I Ketut Pugur
• I Ketut Londo
• I Ketut Mujung






Modern painting
IN DEVELOPING THE MAJOR CITIES

As was explained in advance that on this second type of painting developed in the big cities in Indonesia. Especially among other cities: Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Surabaya, Medan, Semarang, Ujung Pandang and so on.
In general in the city a lot of availability of facilities and infrastructure that enable the development of modern painting is growing rapidly. Moreover, supported by the existence of formal education, namely artistic academy and the emergence of a diverse group of artists with sanggarnya, or private art studios where artists work.
Similarly, supported the existence of other facilities such factors are easy to transport, communication, and enabling economic, sdang more important is the factor of the needs and views of people living with modern culture.
The change of attitude is what allows the growth of community arts modrn in modern society as it appears in the big city. Although it can not be denied the traditional factors are still taken as a minor trend.
Similarly, in the case of works of modern art that developed in Indonesia still have a tendency to incorporate elements of traditional art. But in essence still remains as modern art.
In the art of painting in the second group, it can be said as a modern form of art that exist in Western countries. Because, basically, the influence of either directly or indirectly.

SECOND PERIOD
At around 1940 has grown with the style of painting reveals experiences in life. There appear to characterization and mood tense and anxious at the painting. Given the feeling or energy of objects described by their


THIRD PERIOD
Took place after the year 1960. In this third period has grown style or abstract style of painting. The object of his paintings have been difficult for enjoyed and known shape.

I. ON THE FIRST Painting 1900-1940
Painting that is growing in Indonesia with berobjek on the landscape. Cause factors such as:
Due to the influence of Dutch painter in the era of the Dutch East Indies. The painting has grown from three to four centuries ago in Europe.
The existence of ideals - ideals of the European traders to bring the art of landscape painting in line with the progress and development of entrepreneurs and merchants.
And in fact the painter of that time was pleased to make the object of his paintings took the theme of landscape. Since that time this painting received a good response, especially from the middle class.
Adherents among others:
• Abdullah S.R.
• Mas Pirngadi
• Wakidi


In painting they have tried to create a style by eliminating shadow modern civilization.
With the move and arrange the location and arrangement of trees or grass. As if they improve the state of nature in his paintings. Attention of others is the presence of the color impression of heat, cold etc.. It is indeed trying to change the atmosphere fresh and fun.
Moderate merka painting techniques still use the provisions of Dutch painting. Perspective also receive special attention, in the field is divided into 3, namely the front, middle, and rear.
In the space ditojolkan given the emphasis of light. The color palette has been set in order not to cause a dirty color, then gently and carefully dikuaskan on canvas.

II. ON THE SECOND Painting 1940-1960


In the past this has evolved style of art that express feelings and emotions pibadi style.
Several factors have a tendency:
First, the
Painters with direct face painting and when its object is moved by his emotions close to its object. Tendency to distort the object by changing the shape and color as well proportioned. Thus established a close link between emotion and distortion fused in bentu painting is born. It appears that the dynamic arrangement of a way to pull line and supported the free brushwork, spotan and firm. Therefore it seems dull because of the color is mixed on canvas.
Tergeraknya emotion not only in form but also on the way as the meaning of its object. The relationship between the experiences and thoughts. The experience of the social life of the people in the vicinity of the birth of many inspired paintings. Especially for those who are incorporated in the SIM (Young Indonesian Artists) and the People's painter, among others:
Sujoyono, Affandi, Hendra Gunawan, Surono, Henk Ngantung, Poster, Tarmizi, Otto Jaya, Dullah, Hariyadi, Amrus Natalsya.
Some trends that show the expression of personal emotion, among others: Basuki Resobowo, Sholikin, Oesman Effendi, Zaini, Nashar.

Second,
the Style with greater objectivity is also growing in this period. Painter observing an object, then he had seen his emotions distort. Those who embrace this concept include: Sujoyono, Menk Ngantung, Hariyadi, Dullah, Trubus.
In the development around the year 1940-1960, while many are criticizing the critics of modern painting, due to difficult to understand for ordinary people. They prefer the realistic style of (real). They refused and criticized for that period of painting developed by leaving the object abstraction. But in fact the art of painting still lead to greater abstraction. Similarly, the painter still at the concept of personal style of painting that leads away from realism.

Third,
On the other kencendrungan leads the subjectivity and fantasy. A variety of mental processes such as imagination, daydreams, dreams, myth and so born in art painting.
From a psychological art review showed that it was a protest against the fact that meaningful. But the appearance is not based on the logic of reality when we are in a state of waking.
With the fantasy can bear the image of a fun, tense or fearful that the principle is also irrational.
Beberpa painter who is prone to include: Sudibio, Agus Jaya, Sukirno.

Fourth
Style of painting decorative or ornamental is also developing at this time. Most use the object tree or a stylized or patterned leaves. Character of the line made clear, repetitive rhythms, and patterns of neat and tidy.
The development of this ornamental style is not likely to menggayakan shape of an object as a model, but to codify various elements that form a line, color, texture, the field became a common form. Being the object of human or animal is no longer as we know it. No longer describes the portrait of someone. But the symbolism depicts oyektif but there is also no greater abstraction.
Some adherents among others: Kartono Yudhokusumo, Hendra Gunawan, god Lubis, Widayat, Abas Alibasyah, ponderous Kusudiarjo, Suparto.

III. TOWARDS Abstract Painting 1955-1960


At this time of evolving styles of painting that shows the transition from the existing styles toward the realization of abstract painting style. This style appeared primarily in cities such as Jakarta, Bandung, and Yogyakarta.
In Bandung look at the works of Ahmad Sadali, Mochtar Apin, Srihadi, Popo Iskandar, But Mochtar, Yusuf Effendi. Currently in Jakarta on Oesman Effendi. In Yogyakarta on the work of G. Sidhartha, Dawn Sidik, Handriyo, Abbas Alibasyah.
In this transitional period seems an attempt to recast the forms of objects into the motives of the flat. Occurred from the intersection of straight and curved lines which divide the surface of the canvas, color and geometric areas.
The tendency of this period seem more freely in the preparation of abstract shapes. Preparation of the expressive way in terms of lyrical as well as satisfying a way as to terms of aesthetic feeling. So from this moment has come a transitional phenomenon in the newness of Indonesian art. Then the birth of abstract art form Indonesia.

IV. Painting ON THIRD PERIOD (AFTER 1960)


Developments after 1960, Indonesia has a new form in painting, namely Abstract Painting. The style does not serve the object that we know in reality. Because it is said to be non-objective abstract painting or a non-figurative.
Abstract painting is basically no way apart from the existing relationship. We can not close the curved world vision of the reality around us. We can capture what wrote that exist in the world with many possibilities. Earth seen from space, details of surface soil and stones, objects are viewed from the microscope. The forms are people aware of the richness of a way that could foster diverse ideas.
So the background experience and knowledge of the way, whether it be physiological or psychological factors as an important factor in experiencing the art of abstract painting. And the presence of preparation effort on wealth and depth of experience will form a diverse world.

Development
Growth in abstract painting began around 1960, with marked abstraction of a factor greater than ever.


Srihadi (1960-1962)
Experiments appeared to produce an abstract painting in filling new developments Indonesian art. His paintings form a loose graffiti dynamic and transparent colors.

A. Sadali 1993
Presents a dim colors such as land, ocher, blue inside and black. Texture plays an important role, which is the power of natural processes, such as tension and shrinkage, cracking and breaking, penyobekan, erosion, weathering, aging and destroyed. In fact also puts a melt of the remnants of gold, also in pairs in the form of symbols taken from the holy Quran verse, reminiscent of the black rectangle Ka'bah, the form of mountains, as well as upward movement.

Fadjar Sidik 1963
Produce an abstract painting by presenting the geometric arrangement. Vignet sketched in the spheres, triangles and so on. Also the forms that resemble humans, animals, plants. Using the colors blue, red, bright yellow with a flat.

Oesman Effendi 1960
With away from its natural form, in 1968 brought the art of abstract painting in the presence of contrast, harmony and variety of lines, bright colors and arrangement of the pressure that is open, and move freely and close beriama rhythm in art music.

Popo Iskandar 1970
The painter was performed with a lyrical nature and life. Still use the connection with natural objects such as panati, pemandagan, flowers, cats, etc..
Some of the other painters who came up with improvisations without thinking subject, bringing the object even though we know it is not clear. Painters, among others:
A. D. Pirous, Yusuf Effendi, Rustam Arief, Amri Yahya, D. A. Peransi

O.H. Supono
Painting by bringing the concept of abstract fantasy. By displaying moving objects and figures as well as real-auh of the natural world. Other painters'm trying to experiment with textures, materials and techniques. Sticking pieces of paper, fabric, glass, metal, with a sewing techniques, welding, punching holes in the canvas. Assemble a variety of goods and materials and techniques developed rapidly. They include: Sapto Hudoyo, Abas Alibasyah, Amri Yahya, Bagong Kusudiardjo, Mujita, Mustika.

V. OVERVIEW Abstract Painting


Abstract painting that developed during this third lead to the shades 'Lirisme'. Is an expression of emotions and feelings of painters in the world.
Painting as an expressive field to project a sense of emotion and feeling vibrations. The field of painting as an imaginary world that has its own nature.
Being in 1970 Indonesia abstract painting appears a tendency of the anti 'lirisme'. Have a tendency, among others:

First
They get rid of associations with nature and life. Basically adhered to the principle of orderly mathematical sense and rationality in a way sni.
Painting as a mathematical structure with geometric forms. Painting is a research, analysis, measuring, counting to cause symptoms in the structure of the optical collection system.
Proponents of this understanding include: Harsono, Nanik miRNA, Anyyol Subroto, Sugeng Santoso. In 1970-1973 appeared the New Art Indonesia which actually is the impact of Pop Art.
Then in the know, 1973, Danarto the exhibition presents a blank canvas in large size and without pigora. From his experiments, he gave the philosophy that the painting becomes the environment for the viewer. No longer isolated in an imaginary world with limited pigora wall.

Second
Anti 'lirisme' of this second tendency manifested in the form kekongritan. If 'lirisme' filter and then transforming the experience and emotions in an imaginary world.
However, the anti 'lirisme' did not seem to filter out of the natural transformation. It's no longer the picture it presented, but the object itself. Not a sense of disgust that were served to the satisfaction of an imaginary, but a sense of disgust that sediri served without limit, so it creates a feeling of disgust when people see it.
Because they argue that art is not a piece of imaginary worlds with the distance but must direnungi meampilkan concrete object that can involve physical observer.
This is evident in the exhibition 'painting 74' by B. Munniardhi, Harsono and Nanik miRNA. New Art movement also Indonesia in 1975 by Jim Supangat, Hardi, Harsono, B. Munniardhi, Siti Adyati.

A. BACKGROUND Art INDONESIA

In the development of a New Painting Indonesia is inseparable from social and cultural association Indonesia itself. It would require cultural inheritance in human nature Indonesia, on the basis of human relationships and the reality around her own, so interwoven intuition, emotion, and reality.
The development of civilization Indonesia still show the persistence of elements of the old culture, has given its own breath in the development of Indonesia New Painting. Especially apparent motive of decorative effects. Where previously a part of the traditional arts.
Similarly with the forces of history in the social life around the artist, has a great influence, such as political upheaval, struggle, renewal, the ideals of community mental health consequences are tense and agitated.
In 1928 when the outbreak of the Youth Pledge, is a huge influence on the rise Painting Indonesia has its own strong personality. Nor does daat denying that future history of the Dutch colonial power led to the contiguity Painting Painting Indonesia with the West (Europe). However, not all styles of Western painting has an influence on Indonesian art. But it is clear acculturation occurs between them.
Paintings are born and grow and breathe in Indonesia is owned by the Indonesian nation. Similarly, educational institutions supported by the birth of artistic, studios, and the movement that led to the development of Indonesian Arts. Also need the motivation to evoke feelings of love and have a painting itself.

A. SUMMARY OF EVENTS ART INDONESIA

Period TIMES I: Raden Saleh and MOOI INDIE

1807 Raden Saleh Sharif was born in Terboyo Bustaman, Semarang regency.
1829 After studying at the Belgian painter A.A.J. Payen in Batavia, sent
to the Netherlands to study at the expense Kingdom government
1839 - 1845 Over the past ten years living in the Netherlands, had the opportunity around Europe.
1848 Raden Saleh is famous for his work 'Between Life and Death' which was painted while in Paris.
Raden Saleh's 1870 painting in Batavia with his work 'Fight With Lions' as a collection of the State Palace today.
1914 House Standing Kunstkring Batavia as a place to hold exhibitions of Dutch society.
Ki Hajar Dewantara 1922 Student Park founded the university in Yogyakarta, growing youths with artistic soul like Rush, S. Sudjojono, Basuki Alibasyah Rosobowo and Abbas.
1923 Society of Arts 'Raden Saleh' stand in Surabaya by worried about, Soepardi, Pik Gan, Joyowisastra.
1926-born German painter Walter Spies arrived on the island of Bali, settled in Campuan, Ubud.
Regnault Ruler 1934 European Painting Exhibition held in the building Kunstkring personal collection of original works of: Chagal, Utrillo, Dufy, Gaugin etc..
1935 Cokorda Gede Agung Sukawati and Walter Spies and Rudolf Bonet established painters and sculptors association Bali 'PITHA ALMIGHTY'
1936 Exhibition for the second time Regnault collection featuring original works from: Campigli, Chirico and Van Gogh.







Period TIMES II: PERSAGI studios PAINTER AND REVOLUTION


1937 Association of Picture Experts Indonesia (Persagi) standing in Jakarta led by Agus Jaya and S. Sujoyono.
1930 Painters Indonesia is allowed to follow the event in Batavia Kunstkring
Indonesia 1941 Painting exhibition organizing the works of artists, Otto Jaya, Emiria Sunarsa, RM Surono and Sujoyono by art circle of Dutch society 'Kunstkring Batavia'
1942 Keimin Shidosho Bunka Cultural Center established government led by artists Dai Sasoe Ono and Yamamoto. Being a member of Indonesia, among others: Agus Jaya (chairman), Otto Jaya, Basuki Resobowo, Sujoyono and Affandi.
1943 Art Institute of Energy Center for the People (Son) was formed under the leadership of Ir. Sukarno, M. Hatta, Ki Hajar Dewantara, and KH Mansyur. The painting is being handed over to the painters Sujoyono, Affandi, Basuki Abdullah, Kartono Yudhokusumo, Surono, Dullah, Hendra etc..
Indonesia Power Center 1945 Painters was founded by Jayengasmoro.
Indonesia Force Arts (ASRI) was established in the city of Medan by Nasjah Jamin.
1946 Indonesia Young Artists (SIM) was established by Sujoyono in Madison and then moved to Solo, then settled in Jogyakarta 1948.
Hendra Gunawan 1947 out of the driver's license and founded the People's painter (PR) where Hendra and Affandi dabbling in the studio.
In this year also held exhibitions in Yogyakarta painters Revolution by displaying as many as 70 pieces of paintings Sujoyono, Affandi, Trubus, Haryadi. At that Ipphos create a complete photo documentation.
In Bandung Institute of Education University Teacher standing image that would become part of art ITB.
1948 Combined Painters Indonesia (GPI) was established in Jakarta by Sutiksna and Affandi with its members: Handriyo, Zaini, Nashar, Oesman Effendy, Suparto, Basuki Rosobowo.
Young artist Indonesia Indonesia (SEMI) was established by Ali Akbar at Bukit Tinggi.
1949 Artists in Madison forming Tunas Muda Sudiyono led by Madison, were members of al. Kartono, Sudibio, Sunindio.
Association formed in Surakarta BudayaSurakarta Murdowo leadership, this set is better known HBS.


Period TIMES III: The emergence-ACADEMY ACADEMY OF ART AND cutting-edge


1950 Academy of Fine Arts Standing Indonesia (ASRI) was established in Yogyakarta with the support of the Central Power Painters Indonesia (PTPI), PIPIM and government. Who's who became the first director of the RJ. Katamsi.
Section of Fine Arts ITB was formed with the leadership of T. Sumarja.
People's Cultural Institute (LEKRA) in the form in Jogyakarta.
Painters Indonesia (PI) was established, among others, olh Kusnadi and Sholikin with members Nasyah Jamin, Gambier Anom, Bagong Kusudiardjo, and Motinggo Busye.
In Surabaya group of artists al: Karyono, Bandarkum and Wiwiek Hidayat Prabangkara artists form bonds with members of Imam Sunaryo, Sunarto East, etc..
With the leadership Widagdo formed in Malang Malang Young Painters Force (APMM). Moderate members Salman Hasan, Joko Irawan, Armand.
1952 Painters Indonesia Muda (PIM) stand with members of G. Sidhartha, Widayat, ASRI force Sayogo and artists in Yogyakarta.
Kartono Yudhokusumo founded "Studio Artist" in the city of Bandung.
In this year also established the National Culture Consultative Body (BMKN).
1953 In Bandung standing "Tjipta Pantjaran Sense" (TPR) by R. Waluyo, Abedy and Angkama.
1954 Top Prakasa Cokorda Gede Agung Sukawati and Rudolf Bonnet founded a Museum "Puri Paintings" in Ubud Bali.
1955 Studio "Sun" was formed by Zaini, Trisno, Sumarjo, Oesman Effendi, Nashar, Alex Wetik, Puranta, Alimin.

1956 Painters Dullah Sukarno appointed as kuraktor collection and published the book "Collection President and Sukarno" in 2 vols.
1958 The establishment of the "Foundation for Art and Design Indonesia" by Goos Harjasumantri, Oesman Effendi, Zaini and Trisno Sumarjo.
1961 On the encouragement of artist Arie Smit then emerged a new style in the style of Balinese painting dekoraktif naive "The Young Artist" in the area Penestanan, Ubud Bali.
1963 On August 17, 1963, the Cultural Manifesto signed by artists and cendekiwan like; HB Yassin, Trisno Sumarjo, Zaini, Taufiq Ismail, Gunawan Muhammad etc..
Painter Le Man Fong was appointed as curator of Fine Arts collection of President Sukarno.
Formed in 1964 the committee publishers paintings and sculpture collection of President Sukarno Sukarno menerbikan book collection into two in five volumes.
1967 Academy of Fine Arts (Aksera) was founded by artists Surabaya at that time.
1968 Governor Ali Sadikin form the Jakarta Arts Council (DKJ) with the first chairman Trisno Sumarjo
Jakarta Art Center "Taman Ismail Marzuki" (TIM) was inaugurated by governor Ali Sadikin.
1970 Education of the Jakarta Arts Institute (LPKJ) in the form by DKI. Then now changed its name to the Jakarta Arts Institute (IKJ)
Indonesia Art Exhibition sponsored by Foreign Minister Adam Malik in Jakarta and New York in the framework of the UN's 25th anniversary.
Formed 1971 Academy Jakarta in Jakarta
1972 R. Bonnet returned to Indonesia in cooperation between cultures of Indonesia, the Netherlands then there is business to expand and complement the museum "Castle Painting" in Ubud Bali.
1976 held a major exhibition of paintings
Paintings by Basuki Abdullah at Hotel Borobudur.
On 20 August to 28 November for 100 days, held art exhibition "Century Indonesian Art" which was followed by fine arts artists across Indonesia.