Senin, 11 Juli 2011

PENGEMBANGAN KURIKULUM

WILLIE ANGGRIAN
PENGEMBANGAN KURIKULUM
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB l PENDAHULUAN
BAB ll PERJALANAN KURIKULUM NASIONAL
Kurikulum 1968 dan sebelumnya
Kurikulum 1975
Kurikulum 1984
Kurikulum 1994
Kurikulum Berbasis Kompetensi – Versi Tahun 2002 dan 2004
Kurikulum 2006
Kurikulum Berbasis Kompetensi – Versi KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan)
BAB lll PENUTUP
Kesimpulan
DAFTAR PUSTAKA
BAB l
PENDAHULUAN
Sejak Repelita 1 kebijakan pemerintah dalam meningkatkan mutu, relevansi, dan efisiensi sistem pendidikan dilakukan dengan penyempurnaan kurikulum. Penyempurnaan itu diorientasikan pada kebutuhan dan keadaan lapangan kerja. Kurikulum yang pertama kali digunakan Kurikulum 1950, kemudian diganti dengan Kurikulum 1958.
Sementara itu Kurikulum 1964 disusun dan mulai dilaksanakan tahun 1965. Kurikulum ini terus digunakan hingga 1968 sampai tersusunnya Kurikulum 1968.
Pemberlakuan Kurikulum 1968 bagi SMP, SMA, SMEA, SKKP, dan SKKA pada 1969. Sedangkan kurikulum untuk Sekolah Menengah Ekonomi Pertama (sekarang sudah diintegrasikan dengan SNIP) dan SPG pada tahun 1970. Pada 1965-1968 ditandai dengan pendekatan pengorganisasian materi pelajaran dan pengelompokan materi pelajaran yang berbeda. Oleh sebab itu Kurikulum 1965 bersifat separated subject curriculum dengan pengelompokan materi pelajaran yang terpisah-pisah. Kemudian Kurikulum 1975 disusun sebagai koreksi terhadap kekurangan dari kurikulum sebe-lumnya.
Kurikulum 1975 diperuntukkan bagi sekolah-sekolah umum, sedangkan bagi sekolah kejuruan dan keguruan mempergunakan Kurikulum 1976. Kuri-kulum 1975 menggunakan pendekatan pengorganisasian materi bidang studi yang dikenal dengan "pendekatan integral".
Dalam pelaksanaannya Kurikulum 1975 terus direvisi sehingga melahirkan Kurikulum 1984.
Perjalanan Kurikulum 1984 terus dikoreksi dengan pelaksanaan Kurikulum 1994. Kurikulum 1994 sesuai amanat GBHN 1988 untuk meningkatkan mutu pendidikan di berbagai jenis dan jenjang. Juga perlu persiapan perluasan wajib belajar dari 6 tahun menjadi 9 tahun. Namun perjalanan Kurikulum 1985 dirasakan belum mampu menjawab per-kembangan zaman yang begitu mengglobal. Maka lahirlah kurikulum berbasis kompetensi atau dikenal dengan KBK pada 2004.
Dalam perjalanan sejarah sejak tahun 1945, kurikulum pendidikan nasional telah mengalami perubahan, yaitu pada tahun 1947, 1952, 1964, 1968, 1975, 1984, 1994, dan direncanakan pada tahun 2004. Perubahan tersebut merupakan konsekuensi logis dari terjadinya perubahan sistem politik, sosial budaya, ekonomi, dan iptek dalam masyarakat berbangsa dan bernegara. Sebab, kurikulum sebagai seperangkat rencana pendidikan perlu dikembangkan secara dinamis sesuai dengan tuntutan dan perubahan yang terjadi di masyarakat. Semua kurikulum nasional dirancang berdasarkan landasan yang sama, yaitu Pancasila dan UUD 1945, perbedaanya pada penekanan pokok dari tujuan pendidikan serta pendekatan dalam merealisasikannya.
BAB ll
PERJALANAN KURIKULUM NASIONAL
a. Kurikulum 1968 dan sebelumnya
Awalnya pada tahun 1947, kurikulum saat itu diberi nama Rentjana Pelajaran 1947. Pada saat itu, kurikulum pendidikan di Indonesia masih dipengaruhi sistem pendidikan kolonial Belanda dan Jepang, sehingga hanya meneruskan yang pernah digunakan sebelumnya. Rentjana Pelajaran 1947 boleh dikatakan sebagai pengganti sistem pendidikan kolonial Belanda. Karena suasana kehidupan berbangsa saat itu masih dalam semangat juang merebut kemerdekaan maka pendidikan sebagai development conformism lebih menekankan pada pembentukan karakter manusia Indonesia yang merdeka dan berdaulat dan sejajar dengan bangsa lain di muka bumi ini.
Setelah Rentjana Pelajaran 1947, pada tahun 1952 kurikulum di Indonesia mengalami penyempurnaan. Pada tahun 1952 ini diberi nama Rentjana Pelajaran Terurai 1952. Kurikulum ini sudah mengarah pada suatu sistem pendidikan nasional. Yang paling menonjol dan sekaligus ciri dari kurikulum 1952 ini bahwa setiap rencana pelajaran harus memperhatikan isi pelajaran yang dihubungkan dengan kehidupan sehari-hari.
Usai tahun 1952, menjelang tahun 1964, pemerintah kembali menyempurnakan sistem kurikulum di Indonesia. Kali ini diberi nama Rentjana Pendidikan 1964. Pokok-pokok pikiran kurikulum 1964 yang menjadi ciri dari kurikulum ini adalah bahwa pemerintah mempunyai keinginan agar rakyat mendapat pengetahuan akademik untuk pembekalan pada jenjang SD, sehingga pembelajaran dipusatkan pada program Pancawardhana (Hamalik, 2004), yaitu pengembangan moral, kecerdasan, emosional/artistik, keprigelan, dan jasmani.
Kurikulum 1968 merupakan pembaharuan dari Kurikulum 1964, yaitu dilakukannya perubahan struktur kurikulum pendidikan dari Pancawardhana menjadi pembinaan jiwa pancasila, pengetahuan dasar, dan kecakapan khusus. Kurikulum 1968 merupakan perwujudan dari perubahan orientasi pada pelaksanaan UUD 1945 secara murni dan konsekuen.
Dari segi tujuan pendidikan, Kurikulum 1968 bertujuan bahwa pendidikan ditekankan pada upaya untuk membentuk manusia Pancasila sejati, kuat, dan sehat jasmani, mempertinggi kecerdasan dan keterampilan jasmani, moral, budi pekerti, dan keyakinan beragama. Isi pendidikan diarahkan pada kegiatan mempertinggi kecerdasan dan keterampilan, serta mengembangkan fisik yang sehat dan kuat.
b. Kurikulum 1975
Kurikulum 1975 sebagai pengganti kurikulum 1968 menggunakan pendekatan-pendekatan di antaranya sebagai berikut.
1. Berorientasi pada tujuan
2. Menganut pendekatan integrative dalam arti bahwa setiap pelajaran memiliki arti dan peranan yang menunjang kepada tercapainya tujuan-tujuan yang lebih integratif.
3. Menekankan kepada efisiensi dan efektivitas dalam hal daya dan waktu.
4. Menganut pendekatan sistem instruksional yang dikenal dengan Prosedur Pengembangan Sistem Instruksional (PPSI). Sistem yang senantiasa mengarah kepada tercapainya tujuan yang spesifik, dapat diukur dan dirumuskan dalam bentuk tingkah laku siswa.
Dipengaruhi psikologi tingkah laku dengan menekankan kepada stimulus respon (rangsang-jawab) dan latihan (drill).
Kurikulum 1975 hingga menjelang tahun 1983 dianggap sudah tidak mampu lagi memenuhi kebutuhan masyarakat dan tuntutan ilmu pengetahuan dan teknologi. Bahkan sidang umum MPR 1983 yang produknya tertuang dalam GBHN 1983 menyiratakan keputusan politik yang menghendaki perubahan kurikulum dari kurikulum 1975 ke kurikulum 1984. Karena itulah pada tahun 1984 pemerintah menetapkan pergantian kurikulum 1975 oleh kurikulum 1984.
c. Kurikulum 1984
Secara umum dasar perubahan kurikulum 1975 ke kurikulum 1984 di antaranya adalah sebagai berikut.
1. Terdapat beberapa unsur dalam GBHN 1983 yang belum tertampung ke dalam kurikulum pendidikan dasar dan menengah
2. Terdapat ketidakserasian antara materi kurikulum berbagai bidang studi dengan kemampuan anak didik
3. Terdapat kesenjangan antara program kurikulum dan pelaksanaannya di sekolah
4. Terlalu padatnya isi kurikulum yang harus diajarkan hampir di setiap jenjang.
5. Pelaksanaan Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa (PSPB) sebagai bidang pendidikan yang berdiri sendiri mulai dari tingkat kanak-kanak sampai sekolah menengah tingkat atas termasuk Pendidikan Luar Sekolah.
6. Pengadaan program studi baru (seperti di SMA) untuk memenuhi kebutuhan perkembangan lapangan kerja.
Atas dasar perkembangan itu maka menjelang tahun 1983 antara kebutuhan atau tuntutan masyarakat dan ilmu pengetahuan/teknologi terhadap pendidikan dalam kurikulum 1975 dianggap tidak sesuai lagi, oleh karena itu diperlukan perubahan kurikulum. Kurikulum 1984 tampil sebagai perbaikan atau revisi terhadap kurikulum 1975. Kurikulum 1984 memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
a. Berorientasi kepada tujuan instruksional. Didasari oleh pandangan bahwa pemberian pengalaman belajar kepada siswa dalam waktu belajar yang sangat terbatas di sekolah harus benar-benar fungsional dan efektif. Oleh karena itu, sebelum memilih atau menentukan bahan ajar, yang pertama harus dirumuskan adalah tujuan apa yang harus dicapai siswa.
b. Pendekatan pengajarannya berpusat pada anak didik melalui cara belajar siswa aktif (CBSA). CBSA adalah pendekatan pengajaran yang memberikan kesempatan kepada siswa untuk aktif terlibat secara fisik, mental, intelektual, dan emosional dengan harapan siswa memperoleh pengalaman belajar secara maksimal, baik dalam ranah kognitif, afektif, maupun psikomotor.
c. Materi pelajaran dikemas dengan nenggunakan pendekatan spiral. Spiral adalah pendekatan yang digunakan dalam pengemasan bahan ajar berdasarkan kedalaman dan keluasan materi pelajaran. Semakin tinggi kelas dan jenjang sekolah, semakin dalam dan luas materi pelajaran yang diberikan.
d. Menanamkan pengertian terlebih dahulu sebelum diberikan latihan. Konsep-konsep yang dipelajari siswa harus didasarkan kepada pengertian, baru kemudian diberikan latihan setelah mengerti. Untuk menunjang pengertian alat peraga sebagai media digunakan untuk membantu siswa memahami konsep yang dipelajarinya.
e. Materi disajikan berdasarkan tingkat kesiapan atau kematangan siswa. Pemberian materi pelajaran berdasarkan tingkat kematangan mental siswa dan penyajian pada jenjang sekolah dasar harus melalui pendekatan konkret, semikonkret, semiabstrak, dan abstrak dengan menggunakan pendekatan induktif dari contoh-contoh ke kesimpulan. Dari yang mudah menuju ke sukar dan dari sederhana menuju ke kompleks.
f. Menggunakan pendekatan keterampilan proses. Keterampilan proses adalah pendekatan belajat mengajar yang memberi tekanan kepada proses pembentukkan keterampilan memperoleh pengetahuan dan mengkomunikasikan perolehannya. Pendekatan keterampilan proses diupayakan dilakukan secara efektif dan efesien dalam mencapai tujuan pelajaran.
d. Kurikulum 1994
Pada kurikulum sebelumnya, yaitu kurikulum 1984, proses pembelajaran menekankan pada pola pengajaran yang berorientasi pada teori belajar mengajar dengan kurang memperhatikan muatan (isi) pelajaran. Hal ini terjadi karena berkesesuaian suasan pendidikan di LPTK (lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan) pun lebih mengutamakan teori tentang proses belajar mengajar. Akibatnya, pada saat itu dibentuklah Tim Basic Science yang salah satu tugasnya ikut mengembangkan kurikulum di sekolah. Tim ini memandang bahwa materi (isi) pelajaran harus diberikan cukup banyak kepada siswa, sehingga siswa selesai mengikuti pelajaran pada periode tertentu akan mendapatkan materi pelajaran yang cukup banyak.
Kurikulum 1994 dibuat sebagai penyempurnaan kurikulum 1984 dan dilaksanakan sesuai dengan Undang-Undang no. 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Hal ini berdampak pada sistem pembagian waktu pelajaran, yaitu dengan mengubah dari sistem semester ke sistem caturwulan. Dengan sistem caturwulan yang pembagiannya dalam satu tahun menjadi tiga tahap diharapkan dapat memberi kesempatan bagi siswa untuk dapat menerima materi pelajaran cukup banyak.
Terdapat ciri-ciri yang menonjol dari pemberlakuan kurikulum 1994, di antaranya sebagai berikut.
a. Pembagian tahapan pelajaran di sekolah dengan sistem caturwulan
b. Pembelajaran di sekolah lebih menekankan materi pelajaran yang cukup padat (berorientasi kepada materi pelajaran/isi)
c. Kurikulum 1994 bersifat populis, yaitu yang memberlakukan satu sistem kurikulum untuk semua siswa di seluruh Indonesia. Kurikulum ini bersifat kurikulum inti sehingga daerah yang khusus dapat mengembangkan pengajaran sendiri disesuaikan dengan lingkungan dan kebutuhan masyarakat sekitar.
d. Dalam pelaksanaan kegiatan, guru hendaknya memilih dan menggunakan strategi yang melibatkan siswa aktif dalam belajar, baik secara mental, fisik, dan sosial. Dalam mengaktifkan siswa guru dapat memberikan bentuk soal yang mengarah kepada jawaban konvergen, divergen (terbuka, dimungkinkan lebih dari satu jawaban), dan penyelidikan.
e. Dalam pengajaran suatu mata pelajaran hendaknya disesuaikan dengan kekhasan konsep/pokok bahasan dan perkembangan berpikir siswa, sehingga diharapkan akan terdapat keserasian antara pengajaran yang menekankan pada pemahaman konsep dan pengajaran yang menekankan keterampilan menyelesaikan soal dan pemecahan masalah.
f. Pengajaran dari hal yang konkrit ke hal yang abstrak, dari hal yang mudah ke hal yang sulit, dan dari hal yang sederhana ke hal yang komplek.
g. Pengulangan-pengulangan materi yang dianggap sulit perlu dilakukan untuk pemantapan pemahaman siswa.
Selama dilaksanakannya kurikulum 1994 muncul beberapa permasalahan, terutama sebagai akibat dari kecenderungan kepada pendekatan penguasaan materi (content oriented), di antaranya sebagai berikut.
1. Beban belajar siswa terlalu berat karena banyaknya mata pelajaran dan banyaknya materi/substansi setiap mata pelajaran
2. Materi pelajaran dianggap terlalu sukar karena kurang relevan dengan tingkat perkembangan berpikir siswa, dan kurang bermakna karena kurang terkait dengan aplikasi kehidupan sehari-hari.
Permasalahan di atas terasa saat berlangsungnya pelaksanaan kurikulum 1994. Hal ini mendorong para pembuat kebijakan untuk menyempurnakan kurikulum tersebut. Salah satu upaya penyempurnaan itu diberlakukannya Suplemen Kurikulum 1994. Penyempurnaan tersebut dilakukan dengan tetap mempertimbangkan prinsip penyempurnaan kurikulum, yaitu
1. Penyempurnaan kurikulum secara terus menerus sebagai upaya menyesuaikan kurikulum dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta tuntutan kebutuhan masyarakat.
2. Penyempurnaan kurikulum dilakukan untuk mendapatkan proporsi yang tepat antara tujuan yang ingin dicapai dengan beban belajar, potensi siswa, dan keadaan lingkungan serta sarana pendukungnya.
3. Penyempurnaan kurikulum dilakukan untuk memperoleh kebenaran substansi materi pelajaran dan kesesuaian dengan tingkat perkembangan siswa.
4. Penyempurnaan kurikulum mempertimbangkan berbagai aspek terkait, seperti tujuan materi, pembelajaran, evaluasi, dan sarana/prasarana termasuk buku pelajaran.
5. Penyempurnaan kurikulum tidak mempersulit guru dalam mengimplementasikannya dan tetap dapat menggunakan buku pelajaran dan sarana prasarana pendidikan lainnya yang tersedia di sekolah.
6. Penyempurnaan kurikulum 1994 di pendidikan dasar dan menengah dilaksanakan bertahap, yaitu tahap penyempurnaan jangka pendek dan penyempurnaan jangka panjang.
Faktor penentu kualitas buku ajar antara lain: sudut pandangan, kejelasan konsep, relevan dengan kurikulum, menarik minat, menumbuhkan motivasi, menstimulasikan aktivitas, ilustratif, komunikatif, penunjang mata pelajaran lain, menghargai perbedaan individu, memantapkan nilai-nilai (Tarigan, 1989:24). Kajian buku ajar dalam skripsi ini hanya mendeskripsikan kesesuaiannya dengan kurikulum 1994 suplemen GBPP 1999 yang berlaku saat ini. Kesesuaian buku ajar dengan kurikulum dapat dilihat dari kesesuaian materinya dengan GBPP dan kesesuian soal latihan dengan yang disarankan GBPP. Kurikulum yang berlaku saat ini adalah kurikulum 1994 sesuai suplemen GBPP 1999. Dalam kurikulum SMU suplemen GBPP 1999 materi Sistem Persamaan Linear mengalami perubahan sub pokok bahasan yaitu dihapuskannya sub pokok bahasan penyelesaian SPL dengan metode grafik dan determinan. Perubahan sub pkok bahasan itu mengakibatkan adanya perubahan penyajian materi SPL pada buku ajar. Tujuan bahasan SPL dalam suplemen GBPP dijadikan acuan penyajian materi SPL yang merupakan salah satu materi matematika yang sering diterapkan dalam permasalahan kehidupan sehari-hari.
Pada kesempatan ini, materi yang dikaji ini adalah materi Sistem Persamaan Linear kelas 1 SMU cawu 2 pada buku ajar Matematika SMU yang diterbitkan tahun 2000 oleh Erlangga dengan pengarangnya Drs. B. K. Noormandiri dan Drs. Endar Sucipto.
Kajian ini bertujuan untuk mengetahui kesesuaian materi yang membahas sub pokok bahasan, penjabaran sub pokok bahasan, istilah keilmuan yang digunakan dan kesesuaian soal latihan baik soal non verbal maupun verbal pada buku ajar dengan yang disarankan suplemen GBPP 1999. Penulisan sub pokok bahasan pada bab pembahasan disesuaikan dengan penulisan pada buku ajar. Pengkajian penjabaran sub pokok bahasan dilakukan secara terurut sesuai konsep yang ditulis pada buku ajar.
Hasil kajian ini menunjukkan terdapat kekurangsesuaian materi SPL dan soal latihan pada buku ajar dengan yang disarankan suplemen GBPP. Sub pokok bahasan pertama pada buku ajar meliputi penyelesaian SPL dengan metode grafik, substitusi dan metode eliminasi, sedangkan pada suplemen GBPP meliputi metode substitusi, eliminasi dan gabungan substitusi eliminasi. Sub pokok bahasan kedua pada buku ajar meliputi metode substitusi dan metode eliminasi, sedangkan pada suplemen GBPP meliputi metode substitusi dan gabungan eliminasi substitusi. Pada penjabaran sub pokok bahasan pertama materi penyelesaian SPL dengan metode grafik yang telah dipelajari di SLTP disajikan kembali. Isi materi sub pokok bahasan penyelesaian SPL tiga peubah dengan metode eliminasi pada buku ajar menunjukkkan isi materi sub pokok bahasan metode gabungan eliminasi substitusi. Pada contoh 4 materi SPL dua peubah merupakan contoh penyelesaian SPL dua peubah dengan metode gabungan substitusi eliminasi tetapi tidak diberi judul sub pokok bahasan tersendiri. Langkah-langkah umum penyelesaian SPL tidak diberikan. Pada buku ajar tidak menyajikan contoh soal-soal penerapan SPL. Pada SPL dua peubah dan SPL tiga peubah, istilah persamaan linear dan sistem persamaan linear kurang lengkap, pengertian metode substitusi, eliminasi, dan gabungan substitusi eliminasi tidak dicantumkan. Selain itu juga terdapat kekurangsesuaian soal latihan.
Soal latihan non verbal (soal hitungan) secara umum sudah tepat sesuai yang disarankan suplemen GBPP. Perintah soal menyelesaikan SPL dengan metode grafik masih diberikan. Soal latihan verbal (soal cerita) terdapat 6 soal yang kurang sesuai antara lain soal nomor 39 dan 42 pada latihan 1, nomor 24 dan 25 pada latihan 2, nomor 6 dan 7 pada latihan ulangan. Selesaian soal nomor 39 dan 6 bernilai negatif. Uang tabungan bernilai negatif tidak dijumpai dalam kehidupan sehari-hari. Selesaian nomor 42 bukan merupakan suatu pecahan seperti yang dikehendaki pertanyaan soal. Selesaian nomor 24 dan 7 bukan merupakan suatu bilangan yang terdiri 3 angka seperti yang dikehendaki pertanyaan soal. Soal nomor 25 kurang sesuai karena mempunyai banyak selesaian tetapi siswa tidak bisa menentukan dengan sebarang nilai. Pada soal nomor 25 itu perlu diberi batasan agar siswa bisa menentukan selesaian dengan baik. Jumlah soal verbal pada latihan 1 sebanyak 12, latihan 2 sebanyak 9 dan latihan ulangan sebanyak 4.
e. Kurikulum Berbasis Kompetensi – Versi Tahun 2002 dan 2004
Usaha pemerintah maupun pihak swasta dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan terutama meningkatkan hasil belajar siswa dalam berbagai mata pelajaran terus menerus dilakukan, seperti penyempurnaan kurikulum, materi pelajaran, dan proses pembelajaran. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Soejadi (1994:36), khususnya dalam mata pelajaran matematika mengatakan bahwa kegiatan pembelajaran matematika di jenjang persekolahan merupakan suatu kegiatan yang harus dikaji terus menerus dan jika perlu diperbaharui agar dapat sesuai dengan kemampuan murid serta tuntutan lingkungan.
Implementasi pendidikan di sekolah mengacu pada seperangkat kurikulum. Salah satu bentuk inovasi yang dikembangkan pemerintah guna meningkatkan mutu pendidikan adalah melakukan inovasi di bidang kurikulum. Kurikulum 1994 perlu disempurnakan lagai sebagai respon terhadap perubahan struktural dalam pemerintahan dari sentralistik menjadi desentralistik sebagai konsekuensi logis dilaksanakannya UU No. 22 dan 25 tahun 1999 tentang Otonomi Daerah.
Kurikukum yang dikembangkan saat ini diberi nama Kurikulum Berbasis Kompetensi. Pendidikan berbasis kompetensi menitikberatkan pada pengembangan kemampuan untuk melakukan (kompetensi) tugas-tugas tertentu sesuai dengan standar performance yang telah ditetapkan. Competency Based Education is education geared toward preparing indivisuals to perform identified competencies (Scharg dalam Hamalik, 2000: 89). Hal ini mengandung arti bahwa pendidikan mengacu pada upaya penyiapan individu yang mampu melakukan perangkat kompetensi yang telah ditentukan. Implikasinya adalah perlu dikembangkan suatu kurikulum berbasis kompetensi sebagai pedoman pembelajaran.
Sejalan dengan visi pendidikan yang mengarahkan pada dua pengembangan, yaitu untuk memenuhi kebutuhan masa kini dan kebutuhan masa datang, maka pendidikan di sekolah dititipi seperangkat misi dalam bentuk paket-paket kompetensi.
Kompetensi merupakan pengetahuan, keterampilan, dan nilai-nilai dasar yang direfleksikan dalam kebiasaan berpikir dan bertindak. Kebiasaan berpikir dan bertindak secara konsisten dan terus menerus dapat memungkinkan seseorang untuk menjadi kompeten, dalam arti memiliki pengetahuan, keterampilan, dan nilai-nilai dasar untuk melakukan sesuatu (Puskur, 2002a). Dasar pemikiran untuk menggunakan konsep kompetensi dalam kurikulum adalah sebagai berikut.
(1) Kompetensi berkenaan dengan kemampuan siswa melakukan sesuatu dalam berbagai konteks.
(2) Kompetensi menjelaskan pengalaman belajar yang dilalui siswa untuk menjadi kompeten.
(3) Kompeten merupakan hasil belajar (learning outcomes) yang menjelaskan hal-hal yang dilakukan siswa setelah melalui proses pembelajaran.
(4) Kehandalan kemampuan siswa melakukan sesuatu harus didefinisikan secara jelas dan luas dalam suatu standar yang dapat dicapai melalui kinerja yang dapat diukur.
(Puskur, 2002a).
Kurikulum Berbasis Kompetensi merupakan perangkat rencana dan pengaturan tentang kompetensi dan hasil belajar yang harus dicapai siswa, penilaian, kegiatan belajar mengajar, dan pemberdayaan sumber daya pendidikan dalam pengembangan kurikulum sekolah. Kurikulum Berbasis Kompetensi berorientasi pada:
(1) hasil dan dampak yang diharapkan muncul pada diri peserta didik melalui serangkaian pengalaman belajar yang bermakna, dan
(2) keberagaman yang dapat dimanifestasikan sesuai dengan kebutuhannya (Puskur, 2002a).
Rumusan kompetensi dalam Kurikulum Berbasis Kompetensi merupakan pernyataan apa yang diharapkan dapat diketahui, disikapi, atau dilakukan siswa dalam setiap tingkatan kelas dan sekolah dan sekaligus menggambarkan kemajuan siswa yang dicapai secara bertahap dan berkelanjutan untuk menjadi kompeten.
Suatu program pendidikan berbasis kompetensi harus mengandung tiga unsur pokok, yaitu:
1.pemilihan kompetensi yang sesuai;
2.spesifikasi indikator-indikator evaluasi untuk menentukan keberhasilan pencapaian kompetensi;
3.pengembangan sistem pembelajaran.
Kurikulum Berbasis Kompetensi memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
a. Menekankan pada ketercapaian kompetensi siswa baik secara individual maupun klasikal.
b. Berorientasi pada hasil belajar (learning outcomes) dan keberagaman.
c. Penyampaian dalam pembelajaran menggunakan pendekatan dan metode yang bervariasi.
d. Sumber belajar bukan hanya guru, tetapi juga sumber belajar lainnya yang memenuhi unsur edukatif.
e. Penilaian menekankan pada proses dan hasil belajar dalam upaya penguasaan atau pencapaian suatu kompetensi.
(Puskur, 2002a).
Struktur kompetensi dalam Kurikulum Berbasis Kompetensi dalam suatu mata pelajaran memuat rincian kompetensi (kemampuan) dasar mata pelajaran itu dan sikap yang diharapkan dimiliki siswa. Mari kita lihat contohnya dalam mata pelajaran matematika, Kompetensi dasar matematika merupakan pernyataan minimal atau memadai tentang pengetahuan, keterampilan, sikap dan nilai-nilai yang direfleksikan dalam kebiasaan berpikir dan bertindak setelah siswa menyelesaikan suatu aspek atau subaspek mata pelajaran matematika. (Puskur, 2002b). Kompetensi Dasar Mata Pelajaran Matematika merupakan gambaran kompetensi yang seharusnya dipahami, diketahui, dan dilakukan siswa sebagai hasil pembelajaran mata pelajaran matematika. Kompetensi dasar tersebut dirumuskan untuk mencapai keterampilan (kecakapan) matematika yang mencakup kemampuan penalaran, komunikasi, pemecahan masalah, dan memiliki sikap menghargai kegunaan matematika.
Struktur kompetensi dasar Kurikulum Berbasis Kompetensi ini dirinci dalam komponen aspek, kelas dan semester. Keterampilan dan pengetahuan dalam setiap mata pelajaran, disusun dan dibagi menurut aspek dari mata pelajaran tersebut.
Pernyataan hasil belajar ditetapkan untuk setiap aspek rumpun pelajaran pada setiap level. Perumusan hasil belajar adalah untuk menjawab pertanyaan, “Apa yang harus siswa ketahui dan mampu lakukan sebagai hasil belajar mereka pada level ini?”. Hasil belajar mencerminkan keluasan, kedalaman, dan kompleksitas kurikulum dinyatakan dengan kata kerja yang dapat diukur dengan berbagai teknik penilaian.
Setiap hasil belajar memiliki seperangkat indikator. Perumusan indikator adalah untuk menjawab pertanyaan, “Bagaimana kita mengetahui bahwa siswa telah mencapai hasil belajar yang diharapkan?”. Guru akan menggunakan indikator sebagai dasar untuk menilai apakah siswa telah mencapai hasil belajar seperti yang diharapkan. Indikator bukan berarti dirumuskan dengan rentang yang sempit, yaitu tidak dimaksudkan untuk membatasi berbagai aktivitas pembelajaran siswa, juga tidak dimaksudkan untuk menentukan bagaimana guru melakukan penilaian. Misalkan, jika indikator menyatakan bahwa siswa mampu menjelaskan konsep atau gagasan tertentu, maka ini dapat ditunjukkan dengan kegiatan menulis, presentasi, atau melalui kinerja atau melakukan tugas lainnya.
f. Kurikulum 2006
Sikap tanggap dari pemerintah akan keluhan seputar pelaksanaan KBK direspon cukup kuat. Melalui Badan Nasional Standar Pendidikan kini tengah dipersiapkan kurikulum baru. Penyempurnaan kurikulum sejalan dengan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 35 dan 36 yang menekankan perlunya peningkatan standar nasional pendidikan melalui acuan kurikulum secara berencana dan berkala. Menurut Mendiknas upaya penyempurnaan kurikulum tetap berbasis kompetensi dan disesuaikan dengan perkembangan iptek serta tuntutan kebutuhan global. Ditegaskan penyempurnaan kurikulum merupakan keharusan agar sistem pendidikan nasional selalu relevan dan kompetitif.
Badan Standar Nasional Pendidikan yang diserahi untuk melakukan penyempurnaan kurikulum sebagai jawaban atas masukan dari masyarakat serta hasil kajian pakar pendidikan. Penyempurnaan kurikulum terdiri atas dua cakupan yakni pengurangan beban belajar sekitar 10 persen dan penyederhanaan kerangka dasar dan struktur kurikulum.
Dua hal tersebut tercermin dalam standar kompetensi lulusan untuk setiap satuan pendidikan serta standar isi. Standar isi mencakup kompetensi dasar, kerangka dasar kurikulum, struktur kurikulum, beban belajar, dan kalender pendidikan. Direncanakan dua standar tersebut segera ditetapkan dalam peraturan menteri untuk diberlakukan secara nasional. Penerapan kedua standar itu pun secara bertahap. Bagi satuan pendidikan yang belum siap mengembangkan kurikulum dapat menggunakan model kurikulum dari BNSP. Semoga dengan penyempurnaan kurikulum 2004 kualitas pendidikan di Indonesia semakin jelas dan terarah.(14)
g. Kurikulum Berbasis Kompetensi – Versi KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan)
Pendidikan nasional harus mampu menjamin pemerataan kesempatan pendidikan, peningkatan mutu dan relevansi serta efisiensi manajemen pendidikan. Pemerataan kesempatan pendidikan diwujudkan dalam program wajib belajar 9 tahun. Peningkatan mutu pendidikan diarahkan untuk meningkatkan kualitas manusia Indonesia seutuhnya melalui olahhati, olahpikir, olahrasa dan olahraga agar memiliki daya saing dalam menghadapi tantangan global. Peningkatan relevansi pendidikan dimaksudkan untuk menghasilkan lulusan yang sesuai dengan tuntutan kebutuhan berbasis potensi sumber daya alam Indonesia. Peningkatan efisiensi manajemen pendidikan dilakukan melalui penerapan manajemen berbasis sekolah dan pembaharuan pengelolaan pendidikan secara terencana, terarah, dan berkesinambungan.
Implementasi Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dijabarkan ke dalam sejumlah peraturan antara lain Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. Peraturan Pemerintah ini memberikan arahan tentang perlunya disusun dan dilaksanakan delapan standar nasional pendidikan, yaitu:
(1)standar isi,
(2)standar proses,
(3)standar kompetensi lulusan
(4)standar pendidik dan tenaga kependidikan,
(5)standar sarana dan prasarana,
(6)standar pengelolaan, standar pembiayaan, dan
(7)standar penilaian pendidikan.
Kurikulum dipahami sebagai seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu, maka dengan terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005, pemerintah telah menggiring pelaku pendidikan untuk mengimplementasikan kurikulum dalam bentuk kurikulum tingkat satuan pendidikan, yaitu kurikulum operasional yang disusun oleh dan dilaksanakan di setiap satuan pendidikan.
Secara substansial, pemberlakuan (baca: penamaan) Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) lebih kepada mengimplementasikan regulasi yang ada, yaitu PP No. 19/2005. Akan tetapi, esensi isi dan arah pengembangan pembelajaran tetap masih bercirikan tercapainya paket-paket kompetensi (dan bukan pada tuntas tidaknya sebuah subject matter), yaitu:
1. Menekankan pada ketercapaian kompetensi siswa baik secara individual maupun klasikal.
2. Berorientasi pada hasil belajar (learning outcomes) dan keberagaman.
3. Penyampaian dalam pembelajaran menggunakan pendekatan dan metode yang bervariasi.
4. Sumber belajar bukan hanya guru, tetapi juga sumber belajar lainnya yang memenuhi unsur edukatif.
5. Penilaian menekankan pada proses dan hasil belajar dalam upaya penguasaan atau pencapaian suatu kompetensi.
Terdapat perbedaan mendasar dibandingkan dengan kurikulum berbasis kompetensi sebelumnya (versi 2002 dan 2004), bahwa sekolah diberi kewenangan penuh menyusun rencana pendidikannya dengan mengacu pada standar-standar yang telah ditetapkan, mulai dari tujuan, visi – misi, struktur dan muatan kurikulum, beban belajar, kalender pendidikan, hingga pengembangan silabusnya.
Orientasi KBK adalah pada :
(1) hasil dan dampak yang diharapkan muncul pada diri peserta didik melalui serangkaian pengalaman belajar yang bermakna.
(2) Keberagaman yang dapat dimanifestasikan sesuai dengan kebutuhannya. KBK sebagai kurikulum nasional mengakomodasi berbagai perbedaan secara tanggap budaya dengan memadukan beragam kepentingan dan kemampuan daerah. Pada KBK menerapkan strategi yang meningkatkan kebermaknaan pembelajaran untuk semua peserta didik terlepas dari latar budaya, etnik, agama, dan gender melalui pengelolaan kurikulum berbasis sekolah.
.
KBK telah diujicobakan di sekolah-sekolah terpilih dengan fasilitas dari pemerintah. Kini KBK telah diberlakukan secara nasional. Dalam perjalanannya ternyata terjadi ketimpangan di lapangan. Maksud dan rencana pemerintah tidak "nyambung" dengan aspirasi masyarakat.
Dari hasil penelitian Depdiknas menunjukkan mayoritas guru dan sekolah belum siap mengembangkan KBK (Zamroni 2003).
Keluhan-keluhan tentang pelaksanaan KBK terjadi pada hampir semua jenjang sekolah dari SD hingga SMA. Di jenjang SD misalnya pada penyatuan mata pelajaran IPS dan Pendidikan Pancasila digabung menjadi Pendidikan Kewarganegaraan dan Pengetahuan Sosial (PKPS).
Dengan materi gabungan seperti itu alokasi waktu hanya lima jam per minggu sedangkan pada kurikulum sebelumnya lima jam untuk IPS dan dua jam untuk PPKn. Dengan penggabungan seperti ini sulit mengharapkan pengenalan etika pada siswa dimasukkan sebagai materi pelajaran.
Guru juga mengalami kesulitan dalam administrasi dan pengisian rapor. Akhirnya guru banyak tersita waktunya untuk keperluan administrasi, dan mengesampingkan kualitas siswa.
Pihak siswa pun merasakan adanya kesulitan membagi waktu. Bagi pelajar SMP dengan 18 mata pelajaran, menurut seorang siswa, dia sudah menyediakan waktu empat jam belajar di rumah. Namun dirasa belum cukup untuk mempelajari semua materi pelajaran selalu ada yang kurang. Beban pelajaran yang menumpuk tidak hanya dirasa oleh siswa SMP tetapi juga oleh siswa SMA walaupun hanya 15 mata pelajaran. Diakui oleh Prof Dr Bambang Suhendro, Ketua Tim Badan Standar Nasional Pendidikan (BNSP) bahwa kurikulum sekolah dasar dan menengah di Indonesia paling berat sedunia.
Dalam pendanaan KBK justru dirasakan berat bagi sekolah-sekolah di daerah pinggiran. Kebutuhan sarana dan prasarana tuntutan KBK memang cukup tinggi. Bagi sekolah-sekolah yang notabene sudah mapan secara ekonomi tidak begitu menjadi masalah. Namun bagi sekolah yang relatif baru atau di pelosok pendanaan menjadi hambatan dalam menjalankan KBK
.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Kurikulum Nasional
Kurikulum 1968
Kurikulum 1975
Kurikulum 1984
Kurikulum 1994
Kurikulum Berbasis Kompetensi – Versi Tahun 2002 dan 2004
Kurikulum 2006
Kurikulum Berbasis Kompetensi – Versi KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan)
Dalam perjalanan sejarah sejak tahun 1945, kurikulum pendidikan nasional telah mengalami perubahan, yaitu pada tahun 1947, 1952, 1964, 1968, 1975, 1984, 1994, dan direncanakan pada tahun 2004. Perubahan tersebut merupakan konsekuensi logis dari terjadinya perubahan sistem politik, sosial budaya, ekonomi, dan iptek dalam masyarakat berbangsa dan bernegara. Sebab, kurikulum sebagai seperangkat rencana pendidikan perlu dikembangkan secara dinamis sesuai dengan tuntutan dan perubahan yang terjadi di masyarakat. Semua kurikulum nasional dirancang berdasarkan landasan yang sama, yaitu Pancasila dan UUD 1945, perbedaanya pada penekanan pokok dari tujuan pendidikan serta pendekatan dalam merealisasikannya




CURRICULUM DEVELOPMENT
Willie ANGGRIAN
CURRICULUM DEVELOPMENT
TABLE OF CONTENTS
TITLE PAGE
FOREWORD
TABLE OF CONTENTS
CHAPTER L INTRODUCTION
CHAPTER II TRAVEL NATIONAL CURRICULUM
Curriculum 1968 and earlier
Curriculum 1975
Curriculum 1984
Curriculum 1994
Competency-Based Curriculum - Version of 2002 and 2004
Curriculum 2006
Competency-Based Curriculum - Version SBC (Education Unit Level Curriculum)
CHAPTER III CLOSING
Conclusion
REFERENCES
CHAPTER l
INTRODUCTION
Since Repelita a government policy in improving the quality, relevance, and efficiency of education systems is done by improving the curriculum. Completion was oriented to the needs and circumstances of employment. Curriculum The curriculum was first used in 1950, then replaced with Curriculum 1958.
While the curriculum is drawn up in 1964 and began to be implemented in 1965. This curriculum continues to be used until 1968 to compilation Curriculum 1968.
The implementation of Curriculum 1968 for SMP, SMA, SMEA, SKKP, and SKKA in 1969. While the curriculum for the First Secondary School of Economics (now integrated with SNPs) and the SPG in 1970. In 1965-1968 was marked by the subject matter approach to organizing and grouping of different subject matter. Therefore Curriculum 1965 curriculum subject is separated by subject matter groupings separated. Then the 1975 curriculum is structured as a correction to the shortcomings of the previous curriculum.
Curriculum 1975 is for the public schools, while vocational and teacher training for schools to use curriculum 1976. 1975 curriculum using the approach of organizing the material field of study known as "integral approach".
In the 1975 curriculum implementation continues to be revised so that gave birth to Curriculum 1984.
Curriculum 1984 journey continues corrected with the implementation of Curriculum 1994. Curriculum 1994 in accordance GBHN 1988 to improve the quality of education in various types and levels. Also need to prepare the expansion of compulsory education from 6 years to 9 years. But the journey Curriculum 1985 have not been able to answer perceived the development of an age so globalized. Thus was born a competency-based curriculum or known by the CBC in 2004.
In the course of history since 1945, the national education curriculum has undergone changes, namely in 1947, 1952, 1964, 1968, 1975, 1984, 1994, and planned in 2004. The changes are a logical consequence of the change of political system, socio-cultural, economic, and science and technology in the community state and nation. Therefore, the education curriculum as a set of plans should be developed dynamically in accordance with the demands and changes that occur in society. All national curriculum is designed based on the same basis, the Pancasila and 1945 Constitution, the difference in the principal emphasis of the educational objectives and approaches make it happen.
CHAPTER II
TRAVEL NATIONAL CURRICULUM
a. Curriculum 1968 and earlier
Initially in 1947, the curriculum when it is named Lesson Plan 1947. At that time, the curriculum of education in Indonesia is still influenced by colonial education system of the Netherlands and Japan, so the only forward who never used before. Lesson Plan 1947 may be regarded as a substitute for the Dutch colonial education system. Because the atmosphere of national life was still in fighting spirit of independence seize the development of education as conformism more emphasis on the formation of human character of Indonesia's independent and sovereign and equal with other nations on this earth.
After the Lesson Plan 1947, in 1952 the curriculum in Indonesia has improved. In 1952 it was named Unraveling Lesson Plan 1952. This curriculum has led to a national education system. The most prominent feature of the curriculum and at the same time 1952 is that each lesson plan must consider the content associated with everyday life.
After 1952, the year 1964, the government re-tune the curriculum system in Indonesia. This time it was named Education Plan 1964. Principles of curriculum thought in 1964 that became a hallmark of this curriculum is that the government has the desire to get people's academic knowledge for debriefing at primary level, so the learning is centered on programs Pancawardhana (Hamalik, 2004), namely the development of moral, intellectual, emotional / artistic, craft, and physical.
Curriculum 1968 is the renewal of Curriculum 1964, which does change the structure of the educational curriculum Pancawardhana Pancasila soul into coaching, knowledge base, and special skills. Curriculum 1968 is a manifestation of the change in orientation on the 1945 implementation of a genuine and consistent.
In terms of educational objectives, Curriculum 1968 aims that education is emphasized in an effort to establish Pancasila true man, strong, and healthy physical, enhance intelligence and physical skills, morals, manners, and religious beliefs. The contents of education are focused on enhancing the intelligence and skills, and develop a healthy and strong physically.
b. Curriculum 1975
Curriculum 1975 as a replacement for the 1968 curriculum using approaches include the following.
1. Goal-oriented
2. Adopt integrative approach in the sense that each lesson has a meaning and a supporting role to the achievement of the objectives is more integrative.
3. Emphasizes the efficiency and effectiveness in terms of resources and time.
4. Adopting instructional systems approach, known as Instructional Systems Development Procedure (ITS). The system always leads to the achievement of specific goals, measurable and formulated in the form of student behavior.
Influenced behavioral psychology with an emphasis on the stimulus response (excitatory-charge) and exercise (drill).
Curriculum by the year 1975 to 1983 are considered unable to meet community needs and demands of science and technology. Even the general assembly of the MPR in 1983 that its products contained in the 1983 GBHN menyiratakan political decision that requires a change of curricula curriculum curriculum 1975 to 1984. That's why in 1984 the government set a change of curricula curriculum 1975 by 1984.
c. Curriculum 1984
In general basic curriculum change 1975 to 1984 in which the curriculum is as follows.
1. There are some elements in GBHN 1983 which have not been deposited into the curriculum of primary and secondary education
2. There is disharmony between the various fields of study curriculum materials with the ability of students
3. There is a gap between the program and its implementation in the school curriculum
4. Too solid content of the curriculum to be taught in almost every level.
5. Implementation of National Education History of Struggle (PSPB) as a stand-alone educational levels ranging from childhood to upper secondary school level, including Special Education School.
6. Procurement of new courses (such as in high school) to meet the developmental needs of employment.
On the basis of developments that then by the year 1983 between the needs or demands of society and science / technology education in the curriculum of 1975 is considered no longer appropriate, therefore, necessary changes in curriculum. Curriculum 1984 appears as an improvement or revision of curriculum 1975. Curriculum 1984 has the following characteristics:
a. Oriented instructional purposes. Inspired by the view that the provision of learning experiences to students in a very limited study time at school must be fully functional and effective. Therefore, before selecting or determining instructional materials, which must first be defined is what goals should be achieved by students.
b. Teaching approach centered on the students through active student learning (CBSA). CBSA is a teaching approach that gives students the chance to actively engage physically, mentally, intellectually, and emotionally in the hope students gain the maximum learning experience, both in the cognitive, affective, and psychomotor.
c. The subject matter is packed with nenggunakan spiral approach. Spiral is the approach used in packaging materials based on the depth and breadth of subject matter. The higher the grade and school levels, the deeper and broader subject matter given.
d. Instilled before given exercise. Concepts students are learning should be based on understanding, and then given exercises after understand. To support the understanding of the media being used as props to help students understand the concepts learned.
e. The material is presented based on the readiness level or maturity of the students. The provision of learning materials based on students' level of mental maturity and presentation at the primary school level should be through the concrete approach, semikonkret, semiabstrak, and abstracts by using an inductive approach of the examples to the conclusions. From an easy way to difficult and from simple to the complex.
f. Using process skills approach. Skills is a process approach to teaching belajat applying pressure to the formation process of acquiring knowledge and communicating skills acquisition. Process skills approach pursued done effectively and efficiently in achieving learning objectives.
d. Curriculum 1994
In the previous curriculum, the curriculum of 1984, emphasizes the learning process on the pattern-oriented teaching learning theory with less attention to the payload (content) lessons. This occurs because the atmosphere corresponds education in LPTK (Personnel Education institutions) also prefers theories about teaching and learning process. Consequently, at that time formed a team of Basic Science one of its tasks co-developed the curriculum in schools. The team considers that the material (content) should be given quite a lot of lessons to students, so students completed the course in a particular period will find the subject matter quite a lot.
Curriculum 1994 as enhancements to the 1984 curriculum created and implemented in accordance with Law no. 2 of 1989 on National Education System. This has an impact on the system time sharing lessons, namely by changing from the semester system to a quarterly system. With a quarter of its distribution system within one year into three phases are expected to provide opportunities for students to be able to receive quite a lot of subject matter.
There are characteristics that stand out from the application of the 1994 curriculum, including the following.
a. The division stages of learning in school with quarterly systems
b. Learning in schools emphasizes the subject matter is quite dense (oriented to the subject matter / content)
c. Curriculum 1994 is populist, namely that enforces a system of curriculum for all students throughout Indonesia. This curriculum is a core curriculum so that specific areas can develop their own teaching adapted to the environment and the needs of surrounding communities.
d. In the implementation of activities, teachers should select and use strategies that involve students actively in learning, both mentally, physically, and socially. In turn the student teacher can give the form of answers to questions that lead to convergent, divergent (open, it is possible more than one answer), and investigations.
e. In the teaching of a subject should be tailored to the specific concept / subject and the development of student thinking, so hopefully there will be harmony between the teaching that emphasizes on understanding the concepts and teachings that emphasize problem-solving skills and problem solving.
f. Teaching from the concrete to the abstract, from easy to difficult, and from the simple to the complex.
g. Repetition of material that is considered difficult to be done to consolidate student understanding.
During the implementation of the 1994 curriculum appears several problems, mainly as a result of the tendency to approach mastery of the material (content oriented), including the following.
1. Student load is too heavy because of the large number of subjects and material / substance of each subject
2. The subject matter was considered too difficult because it is less relevant to the developmental level of students' thinking, and less meaningful because it is less related to daily life applications.
The above problems was the implementation of the curriculum during 1994. This encourages policy makers to refine the curriculum. One effort was the enactment Supplements improvements Curriculum 1994. The enhancement is done keeping in mind the principle of improving the curriculum, ie
1. Completion of the curriculum is continuously in an attempt to adjust the curriculum to the development of science and technology, and society demands.
2. Completion of curriculum done to get the right proportion between the objectives to be achieved with the burden of learning, potential students, and the state of the environment and support facilities.
3. Completion of curriculum carried out to obtain the truth and substance of the subject matter of compliance with developmental level of students.
4. Completion of the curriculum into account various related aspects, such as material goals, learning, evaluation, and facilities / infrastructure, including textbooks.
5. Completion of the curriculum is not difficult for teachers in implementing it and still be able to use textbooks and other educational infrastructure available in schools.
6. Completion of the 1994 curriculum in primary and secondary education be implemented gradually, the refinement phase of short-term and long-term improvements.
Factors determining the quality of textbooks, among others: the point of view, clarity of concept, relevant to the curriculum, attract, motivate, stimulate activity, illustrative, communicative, supporting other subjects, respect for individual differences, to establish the values ​​of (Tarigan, 1989:24 ). Textbook study in this paper only describes compliance with the 1994 curriculum GBPP supplement the current 1999. Conformity with the curriculum textbook can be seen from the material conformity with kesesuian GBPP and practice questions with suggested GBPP. The current curriculum is a curriculum supplement according GBPP 1994 1999. In high school curriculum supplement materials GBPP 1999 Systems of Linear Equations to change the subject of the abolition of sub-sub subject to the completion of the SPL graph methods and determinants. Changes in sub pkok discussion that resulted in a change in the presentation of material in the textbook SPL. The purpose of discussion in the supplement GBPP SPL presentation material referenced SPL, which is one material that is often applied mathematics in everyday life problems.
On this occasion, the material studied is a matter of Linear Equations System of a high school class cawu 2 at high school math textbook published in 2000 by the author grants to Drs. B. K. Noormandiri and Drs. Endar Sucipto.
This study aims to determine the suitability of the material that addresses the sub-subject, the subject sub elaboration, scientific terms used and suitability of practice questions both about the non-verbal and verbal on the recommended textbook with supplements GBPP 1999. Writing sub-subject of discussion in the chapter on writing tailored to the textbook. The assessment sub-translation subjects performed in sequence according to the concept of which was written in the textbook.
The results of this study indicate there kekurangsesuaian SPL material and practice questions on textbooks GBPP with the recommended supplements. Sub on the subject of the first textbook covers the completion of the SPL with graphical methods, substitution and elimination methods, whereas in GBPP supplements include substitution method, elimination and substitution combined elimination. Sub second subject in the textbook covers the methods of substitution and elimination methods, whereas in GBPP supplements include the combined substitution and elimination method substitution. In the elaboration of the first sub subject matter completion of the SPL with a graphical method that has been learned in junior high restated. Fill in the subject matter sub SPL completion of three variables by the method of elimination in textbooks indicating the subject content of the material sub combined method of elimination of substitution. In Example 4 the material is an example of two variables SPL SPL completion of two variables by substitution combined method of elimination but not given the subject of a separate sub headings. General steps are not given the completion of the SPL. In the textbook does not present examples of the questions the application of SPL. In two variables SPL and SPL of three variables, the term linear equations and systems of linear equations are incomplete, understanding the method of substitution, elimination, substitution and elimination is not included combined. In addition there are also kekurangsesuaian exercises.
Non-verbal exercises (sums) in general are appropriate to the recommended supplements GBPP. Command about completing the SPL with a graphical method is given. Exercises verbal (word problems) there are 6 questions that were not appropriate, among others, about the number 39 and 42 on exercise 1, numbers 24 and 25 at exercise 2, numbers 6 and 7 on the exercise test. Selesaian about the number 39 and 6 negative. Money saving is negative is not found in everyday life. Selesaian number 42 is not a fraction as willed by questions about. Selesaian number 24 and 7 is not a 3 digit number consisting desired as a matter of question. Problem number 25 is not appropriate because it has many selesaian but students can not determine with any value. In question number 25 was necessary given the constraints that the students could determine selesaian well. The number of verbal questions on the exercise a total of 12, exercise 2 exercise as much as 9 and as many as four replications.
e. Competency-Based Curriculum - Version of 2002 and 2004
Government efforts and private parties in order to improve the quality of education, especially improving student learning outcomes in a variety of subjects continue to be done, such as improving the curriculum, subject matter, and the learning process. This is consistent with that proposed by Soejadi (1994:36), especially in the subjects of mathematics say that the activity of learning mathematics at the level of schooling is an activity that should be reviewed continuously and updated if necessary in order to fit with students' abilities and environmental demands.
Implementation of education in the school refers to a set curriculum. One form of innovation developed by government to improve the quality of education is to make innovations in the field of curriculum. The curriculum needs to be refined lagai 1994 in response to structural change in government from centralized to decentralized as a logical consequence of the implementation of Law no. 22 and 25 of 1999 on Regional Autonomy.
Kurikukum developed at this time given the name of the Competency-Based Curriculum. Competency-based education focuses on developing the ability to perform (competence) of certain tasks in accordance with established performance standards. Competency Based Education is geared toward education indivisuals Preparing to perform Identified competencies (Scharg in Hamalik, 2000: 89). This implies that education refers to the preparation of individuals who are able to perform the competencies that have been determined. The implication is the need to develop a competency-based curriculum to guide learning.
In line with the vision of education that leads to the two development, namely to meet the needs of the present and future needs, then education in schools considered to be a set of missions in the form of packages of competence.
Competence is the knowledge, skills, and basic values ​​are reflected in the habit of thinking and acting. Habit of thinking and acting consistently and continuously can allow someone to be competent, in the sense of having the knowledge, skills, and basic values ​​to do something (Puskur, 2002a). The rationale for using the concept of competence in the curriculum is as follows.
(1) Competence with regard to students' ability to do things in different contexts.
(2) Competence describes learning experiences through which students to become competent.
(3) Competent is the result of learning (learning outcomes) which explains the things that made the students after going through the learning process.
(4) The reliability of the student's ability to do something must be clearly defined and widely in a standard that can be achieved through measurable performance.
(Puskur, 2002a).
Competency-Based Curriculum is the plan and arrangement of the competencies and learning outcomes to be achieved by students, assessment, teaching and learning activities, and the empowerment of educational resources in the development of school curriculum. Competency-Based Curriculum-oriented:
(1) outcomes and impacts that are expected to emerge in the self-learner through a series of learning experiences are meaningful, and
(2) diversity can be manifested in accordance with their needs (Puskur, 2002a).
The formulation of competency in the Competency-Based Curriculum is a statement of what is expected to be known, addressed, or do students in each grade level and school and also describes the progress of students who achieved gradually and continued to be competent.
A competency-based education program should contain three main elements, namely:
1.pemilihan appropriate competence;
2.spesifikasi evaluation indicators to determine the successful achievement of competence;
3.pengembangan learning system.
Competency-based curriculum has the following characteristics:
a. Emphasis on achievement of competencies students both individually and classical.
b. Results-oriented learning (learning outcomes) and diversity.
c. Delivery of learning using a variety of approaches and methods.
d. Learning resource not only teachers, but also other learning resources that meet the educational element.
e. Assessment of emphasis on process and learning outcomes in an effort to achieve a mastery or competence.
(Puskur, 2002a).
The structure of competency in the Competency-Based Curriculum in a subject containing details of the competencies (skills) that the basic subjects and attitudes expected of students. Let us see an example in the subjects of math, basic math competency is a statement about the minimal or adequate knowledge, skills, attitudes and values ​​are reflected in the habit of thinking and acting after students complete an aspect or subaspek mathematics courses. (Puskur, 2002b). Basic Mathematics Competency Subject competence is the picture that should be understood, it is known, and the student as a result of learning math. Basic competencies are formulated to achieve the skills (skills) that includes mathematical reasoning skills, communication, problem solving, and have respect for the usefulness of mathematics.
Structure of basic competencies Competency-Based Curriculum is specified in the component aspects, classes and semesters. Skills and knowledge in each subject, compiled and divided according to aspects of these subjects.
Statement of learning outcomes set for every aspect of learning at every level clumps. The formulation of learning outcomes is to answer the question, "What should students know and are able to do as a result of their learning at this level". Learning outcomes reflect the breadth, depth, and complexity of the curriculum is expressed with a verb that can be measured by a variety of assessment techniques.
Each learning outcome has a set of indicators. Formulation of indicators is to answer the question, "How do we know that the student has achieved the expected learning outcomes?". Teachers will use the indicators as a basis for assessing whether students have achieved learning outcomes as expected. The indicator does not mean that is formulated with a narrow range, which is not intended to limit the variety of learning activities of students, is also not intended to determine how teachers make an assessment. For example, if the indicator states that students are able to explain certain concepts or ideas, then this can be shown by the activities of writing, presentation, or through performance or perform other tasks.
f. Curriculum 2006
The responsiveness of the government will respond to complaints about the implementation of the CBC is strong enough. Through the National Education Standards Agency is now prepared a new curriculum. Completion of the curriculum in line with the Law on National Education System Article 35 and 36 which emphasizes the need to improve national education standards through reference in a planned and regular curriculum. According to the minister continue efforts to improve competency-based curriculum and adapted to the development of science and technology and global demands. Affirmed curriculum refinement is imperative that the national education system is always relevant and competitive.
National Education Standards Agency assigned to perform refinement curriculum in response to public input and review the results of the education experts. Completion of the curriculum consists of two reduction in the scope of the study load of about 10 percent and the simplification of the basic framework and structure of the curriculum.
Two things are reflected in the standard of competence for each unit of graduate education as well as content standards. Standard content includes basic competencies, the basic framework of curriculum, curriculum structure, the burden of learning, and educational calendar. Planned are two such standards stipulated in the regulations the minister immediately to apply nationally. The second application of that standard was gradually. For education units that have not already developed the curriculum can use the model curriculum of BNSP. Hopefully with the 2004 curriculum improvement of education quality in Indonesia has become clear and focused. (14)
g. Competency-Based Curriculum - Version SBC (Education Unit Level Curriculum)
National education should be able to ensure equal educational opportunities, improving quality and relevance and efficiency of education management. Equal opportunity of education embodied in the 9-year compulsory education program. Improving the quality of education is directed to improving the quality of Indonesian human whole through olahhati, olahpikir, olahrasa and exercise in order to have competitiveness in facing global challenges. Increased relevance of education intended to produce graduates who according to the demanding needs of natural resource-based potential of Indonesia. Increasing the efficiency of education management is done through the implementation of school-based management and renewal of education management in a planned, purposeful, and sustainable.
Implementation of Law No. 20 of 2003 on National Education System is formulated into a number of regulations such as Government Regulation Number 19 Year 2005 on National Education Standards. This Regulation provides guidance on the need for developed and implemented eight national education standards, namely:
(1) content standards,
(2) standards process,
(3) competency standards
(4) standards of educators and education personnel,
(5) standard of facilities and infrastructure,
(6) management standards, funding standards, and
(7) standard of educational assessment.
The curriculum is understood as a set of plans and arrangements concerning the purpose, content, and teaching materials and methods used to guide the implementation of learning activities to achieve specific educational goals, then by the issuance of Government Regulation Number 19 of 2005, the government has led the education to implement the curriculum in the form level of the education curriculum, the operational curriculum developed by and implemented in each educational unit.
Substantially, the application (read: naming) Education Unit Level Curriculum (SBC) is to implement existing regulations, namely PP. 19/2005. However, the essence of the content and direction of development characterized by the achievement of learning are still competences packages (and not the complete failure of a subject matter), namely:
1. Emphasis on achievement of competencies students both individually and classical.
2. Results-oriented learning (learning outcomes) and diversity.
3. Delivery of learning using a variety of approaches and methods.
4. Learning resource not only teachers, but also other learning resources that meet the educational element.
5. Assessment of emphasis on process and learning outcomes in an effort to achieve a mastery or competence.
There are fundamental differences compared to the previous competency-based curriculum (version 2002 and 2004), that the school was given full authority to plan their education with reference to standards that have been established, ranging from the goal, the vision - mission, structure and curriculum, the burden of learning, educational calendar, until the development of syllabus.
KBK orientation is on:
(1) outcomes and impacts that are expected to emerge in the self-learner through a series of meaningful learning experience.
(2) The diversity that can be manifested in accordance with their needs. CBC as a national curriculum to accommodate cultural differences in response by combining the diverse interests and abilities. On CBC implement strategies that increase the meaningfulness of learning for all students regardless of cultural background, ethnicity, religion, and gender through school-based curriculum management.
.
CBC has been piloted in selected schools with the facilities of the government. Now the CBC has been implemented nationally. In his journey there was inequality in the field. Purpose and plan of government does not "connect" with people's aspirations.
From the Ministry of Education research shows the majority of teachers and schools are not yet ready to develop a CBC (Zamroni 2003).
Complaints about the implementation of the CBC occurs in almost all levels of schooling from elementary to high school. At the elementary subjects such as the unification of IPS and Education Pancasila and Citizenship Education were merged into the Social Sciences (PPP).
With the combined material such allocation of time just five hours per week while in the previous five-hour curriculum for social studies and two hours to CIVICS. With the incorporation of this difficult to expect the introduction of ethics on students included as subject matter.
Teachers also have difficulty in filling administrative and report cards. Finally the teacher a lot of time taken for the purposes of administration, and the exclusion of quality students.
The students also felt a difficulty dividing of time. For junior high school students with 18 subjects, according to a student, he had to provide four hours of home study. Yet felt not enough to learn all there is always the subject matter less. Lesson the burden that has accumulated not only felt by the junior high school students but also by high school students, although only 15 subjects. Recognized by Prof. Dr. Bambang Suhendro, Chairman of the National Education Standards Agency (BNSP) that the curriculum of elementary and secondary schools in Indonesia the world's heaviest.
In funding the CBC were felt heavy for the schools in the suburbs. Needs facilities and infrastructure demands of the CBC is quite high. For schools that in fact already well established in economics are less of an issue. But for a relatively new school or in the corners of the funding to be obstacles in carrying CBC
.
CHAPTER III
CLOSING
Conclusion
The National Curriculum
Curriculum 1968
Curriculum 1975
Curriculum 1984
Curriculum 1994
Competency-Based Curriculum - Version of 2002 and 2004
Curriculum 2006
Competency-Based Curriculum - Version SBC (Education Unit Level Curriculum)
In the course of history since 1945, the national education curriculum has undergone changes, namely in 1947, 1952, 1964, 1968, 1975, 1984, 1994, and planned in 2004. The changes are a logical consequence of the change of political system, socio-cultural, economic, and science and technology in the community state and nation. Therefore, the education curriculum as a set of plans should be developed dynamically in accordance with the demands and changes that occur in society. All national curriculum is designed based on the same basis, the Pancasila and 1945 Constitution, the difference in the principal emphasis of the educational goals and approaches to realize