Senin, 13 September 2010

POSISI ESTETIKA




POSISI ESTETIKA
Posted: 09/11/2009 by dksonline in Artikel, Seni Rupa



Posisi estetika tak berbeda dari atau tak perlu dibeda-bedakan dengan wilayah-wilayah studi filsafat yang lainnya, entah itu epistemologi, etika, dan sebagainya. Demikian pula dengan cabang-cabang keilmuan yang lain. Ia tidak lebih utama, tidak lebih superior dari yang lain. Biasa-biasa saja.

Masalahnya adalah tidak ada satu ilmu pun, termasuk estetika pada khususnya dan filsafat pada umumnya, yang mampu menjadi ilmu dengan posisi “tersendiri”, seberapa tinggi atau rendah pun status yang diberikan oleh komunitas akademik terhadap keberadaan ilmu tersebut. Tiada satu ilmu yang “tersendiri”, yang posisinya terisolasi dari ilmu-ilmu yang lainnya. Apalagi untuk masa tiga dasawarsa terakhir ini sekat-sekat ketat yang memberi batas yang tegas antara satu ilmu dengan ilmu yang lain sudah runtuh, atau sudah waktunya untuk diruntuhkan. Itulah yang disebut oleh Clifford Geertz sebagai gejala blurred genre, yakni ketika kita — dengan background keilmuan apapun — mengadopsi sebuah lingua franca yang sama.

Karya-karya Sigmund Freud atau Jacques Lacan, untuk sekadar contoh, tidak lagi dibaca oleh psikoanalis semata, tetapi oleh kita semua. Juga Roland Barthes, karyanya tidak cuma dibaca oleh kalangan kritikus sastra, tapi oleh lebih banyak lagi orang. Merembes keluar dari sekat-sekat disipliner yang kaku. Ahli ilmu politik, filsuf, linguis, kritikus seni, arsitek, psikolog, atau sosiolog tidak lagi peduli pada sekat-sekat tersebut, lalu bersama-sama membaca Jacques Derrida atau Pierre Bourdieu. Ini yang disebut tadi sebagai lingua franca.
Begitu pula halnya dengan estetika. Ia telah kehilangan sekat-sekatnya, batas-batas yang dahulu telah membuatnya menjadi sebuah ruang yang esoterik. Ia menyebar, membaur dengan disiplin-disiplin yang lain. Kalau ia sudah menyebar seperti itu, berarti ia bisa ada di mana saja dan kapan saja, seperti Coca-Cola. Itu juga sekaligus berarti bahwa estetika tidak lagi punya posisi yang penting, apa lagi yang “tersendiri”.
Tentu saja estetika pernah dan, pada ruang-lingkup tertentu, masih memiliki prestise tertentu. Itu kalau kita pahami estetika bukan melulu sebagai bidang filsafat, melainkan lebih sebagai seperangkat prinsip normatif yang, meminjam istilah Pierre Bourdieu, mendisposisikan praktik-praktik berkesenian. Jadi, secara lebih restricted, pengertian estetika yang terakhir ini adalah estetika sebagai sesuatu yang dijadikan landasan normatif untuk menilai karya seni. Karena, dalam pergaulan keseni(man)an, yang dimaksud dengan estetika cenderung seperti itu. Bukan filsafat estetika, melainkan hanya sebagai alat untuk mengevaluasi, membuat hierarki, dan semacamnya.
Misalnya, dengan dalih estetika, seorang seniman bisa berbuat apa saja dan produknya tetap disebut sebagai karya seni. Seorang perupa meletakkan beberapa keranjang sampah di sebuah galeri, dan itu disebut karya seni instalasi oleh kritikus. Seorang penyair menuliskan sebaris kalimat, “Bulan di atas kuburan,” dan itu disebut sebagai puisi, yang bahkan pernah menimbulkan perdebatan tafsir yang prestisius di tingkat elit kritikus sastra. Di sini estetika tidak lebih sebagai modal simbolik yang diinvestasikan sebagai pemarkah kelas sosial seniman atau kritikus seni.
Dalam hubungannya dengan praktik kritik seni, sampai sejauh ini estetika pun lebih cenderung diperlakukan oleh para kritikus sebagai prinsip-prinsip normatif yang meregulasi apa dan bagaimana (berke)seni(an), dengan standardisasi-standardisasi atau semacamnya. Seorang kritikus membuat penilaian atas sebuah karya seni dengan legitimasi paham-paham estetis tertentu, misalnya. Maka, tidak heran kalau keranjang-keranjang sampah yang dicontohkan di atas disebut sebagai karya seni hanya lantaran ia menjadi bagian dari komunitas wacana tertentu, sementara perabot dapur ibu-ibu petani Jawa tidak pernah sekalipun dihargai seperti itu. Lalu, karya seni X dinilai lebih baik, lebih sublim, lebih menukik, lebih indah, lebih menyentuh, dan sebagainya, dibandingkan dengan yang lain.
Oleh karena itu, andai kata ada orang ngomong perkara estetika, kita perlu segera menegaskan posisi pemahamannya: estetika dalam pengertian yang (bagai)mana? Bila estetika itu menyangkut “keindahan”, maka estetika itu sebenarnya tidak ada gunanya karena ia menjadi preskriptif dan normatif. Buat apa kita membuat parameter atas mana yang bisa disebut seni dan mana yang bukan, mana yang estetis dan tidak estetis. Itu tidak ada gunanya sama sekali. Bagaimana seandainya perlakuan terhadap estetika semacam itu di-prèk-kan saja?

(Ditulis-ulang dari sempalan kecil wawancara yang dimuat dalam GèrbanG, Jurnal Pemikiran Agama & Demokrasi, Vol. 07/No. 03/Mei-Juli 2000, hlm. 20-27.)

Source: http://kedaikebun.com/?p=86