Kamis, 25 Maret 2010

MAKALAH SUPERVISI PENDIDIKAN

sebuah makalah

TUGAS DAN FUNGSI SUPERVISI PENDIDIKAN

mata kuliah Kepemimpinan dan Supervisi Pendidikan

dosen: Dr. H. Moch. Nasir, M. Pd

oleh : Sutikno Hamzah

NIM : 09002020207

Kelas : E

Program Pasca Sarjana

UNIVERSITAS PGRI ADI BUANA SURABAYA

2010













TUGAS DAN FUNGSI SUPERVISI PENDIDIKAN
I. PENDAHULUAN
• Secara kodrati, manusia diciptakan dengan individu, kemudian berkembang menjadi kelompok-kelompok. Dalam perjalanan hidupnya, manusia memiliki suatu tujuan yang diinginkan. Dari sinilah timbul suatu kebutuhan baik secara individu maupun kelompok, selanjutnya mereka saling membutuhkan satu sama lain.

• Manusia hidup di dunia ini tidaklah akan berhasil mencapai tujuan tanpa bantuan orang lain. Mereka membutuhkan kerjasama antara individu yang terorganisir (dalam suatu organisasi) dengan sistem pengelolaan menuju ke arah yang diharapkan.

1
• Suatu organisasi pasti memiliki arah tujuan, baik jangka pendek, menengah, maupun jangka panjang. Kemudian untuk mencapai tujuan tersebut, diperlukan seorang pemimpin.
• Kepemimpinan terdapat dalam segala aspek kehidupan manusia baik dalam rumah tangga, lembaga-lembaga swasta maupun pemerintah serta berbagai kegiatan yang ada di dunia ini salah satunya adalah lembaga yang mengelola pembangunan di bidang penididikan

Dalam konsep dasar manajemen pendidikan, paling tidak ada lima sub sistem yaitu manusia, pemimpin, organisasi, manajemen dan administrasi yang bekerja secara sistematik untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Hubungan tersebut dapat digambarkan sebagai berikut
• Terry (1982), …Leadership is the relationship in which one person, or the leader, influences other to work together willingly on related tasks to attain that the leader desires.

2
• Dari berbagai pendapat tentang kepemimpinan mengandung arti yang berbeda bagi orang yang berbeda pula. Meskipun demikian, perbedaan tersebut dapat disimpulkan dan diambil benang merah bahwa kepemimpinan adalah “suatu proses pemimpin dengan berbagai cara untuk mempengaruhi orang lain atau kelompok orang untuk mencapai suatu tujuan”.
• Para ahli berpendapat bahwa penggunaan pengaruh dalam kepemimpinan khususnya di dunia pendidikan, dilakukan bukan dengan paksaan, akan tetapi sangat ditentukan oleh kompetensi seorang pemimpin (kompetensi profesional, personal dan sosial).
• Gaya kepemimpinan adalah kecenderungan perilaku pemimpin yang ditujukan pada saat ia mempengaruhi bawahan.





3



Tipe-tipe kepemimpinan manakah yang paling efektif di sekolah?
Tipe dasar :
Otoriter, demokratis, dan laissez faire

Instruktif
Konsultatif
Partisipatif
Delegatif


Kepala Sekolah----Situasi sekolah


Tipe Kepemimpinan yang efektif


4
Penerapan Kepemimpinan Pendidikan
• Awalnya teori ini dikembangkan oleh Pusat Studi Kepemimpinan di Universitas Ohio dari konsep model keefektifan pemimpin ditinjau dari tiga dimensi (Tri Dimentional Leader Effectiveness Models), yakni dimensi perilaku pemimpin dalam melaksanakan tugas, dimensi perilaku pemimpin dalam mengadakan hubungan interpersonal dengan bawahan dan dimensi tingkat kecerdasan bawahan dalam melaksanakan tugas pekerjaannya.
• Dua dimensi pertama (dimensi perilaku pemimpin dalam melaksanakan tugas dan dimensi perilaku pemimpin dalam melaksanakan hubungan interpersonal) menentukan tipe gaya kepemimpinan.
• Sedangkan kesesuaian tipe gaya kepemimpinan terhadap dimensi tingkat kedewasaan bawahan menentukan keefektifan gaya kepemimpinan.
• Dimensi tingkat kedewasaan bawahan diasumsikan sebagai faktor yang paling dominan dalam menentukan pola atau gaya kepemimpinan yang efektif.
5
• Terdapat dua faktor yang berkaitan dengan tingkat kedewasaan bawahan dalam melaksanakan tugas pekerjaannya.
Pertama, faktor kedewasaan dalam melaksanakan pekerjaannya, yakni kemampuan dan pengetahuan teknis dalam melaksanakan pekerjaan.
Kedua, faktor kedewasaan psikologis yang berkaitan dengan emosi, motivasi, harga diri, dan percaya diri terhadap tugas pekerjaan yang berkulminasi dalam bentuk kemauan dalam melaksanakan pekerjaan.

• Berdasarkan faktor kemampuan melaksanakan tugas pekerjaan dan faktor kemauan melaksanakan tugas pekerjaan, maka tingkat kedewasaan bawahan diklasifikasikan menjadi empat tingkat kedewasaan sebagai berikut :
Tingkat kedewasaan 1 :
Berkemampuan rendah dan berkemauan rendah
Tingkat kedewasaan 2 :
Berkemampuan tinggi dan berkemauan rendah
Tingkat kedewasaan 3 :
Berkemampuan rendah dan berkemauan tinggi

6
Tingkat kedewasaan 4 :
Berkemampuan tinggi dan berkemauan tinggi

• Teori kepemimpinan situasional mengemukakan bahwa berdasarkan tingkat kedewasaan bawahan dalam melaksanakan pekerjaan seorang pemimpin diharapkan dapat menerapkan gaya kepemimpinan secara tepat. Artinya, makin relevan penerapan gaya kepemimpinan terhadap tingkat kedewasaan bawahan, makin efektif kepemimpinannya.

Gaya Kepemimpinan yang Efektif

Gaya kepemimpinan yang terdiri dari instruktif, konsultatif, partisipatif, delegatif yang paling efektif menurut hasil penelitian Fiedler mengungkapkan bahwa tidak ada gaya kepemimpinan yang efektif yang dapat diterapkan dalam segala situasi dan kondisi. Kemudian, ia mengatakan bahwa keefektifan suatu gaya kepemimpinan ditentukan oleh ketepatan atau relevansi penerapannya pada tingkat kedewasaan kemampuan bawahan

7
dalam melaksanakan fungsi dan tugasnya (situasi dan kondisi). Jadi faktor tingkat kedewasaan menentukan keefektifan suatu gaya kepemimpinan
• Hersey dan Blanchard (1982) menyusun suatu model keefektifan gaya kepemimpinan berdasarkan teori kepemimpinan situasional. Model tersebut menggambarkan keefektifan setiap gaya kepemimpinan bila diterapkan pada situasi (tingkat kedewasaan kemampuan bawahan) yang tepat. Model keefektifan gaya kepemimpinan digambarkan sebagai berikut :

P4 P3 P2 P1
+ Kemampuan - + -
+ Kemauan + - -
Delegatif Gaya Kepemimpinan Partisipatif Konsultatif Instruktif





8
• Gaya Instruksi Efektif
Bila diterapkan pada bawahan yang tingkat kedewasaan rendah (P1). Bawahan relatif tak mampu melaksanakan pekerjaan dan tidak memiliki kemauan yang kuat untuk menyelesaikan pekerjaannya. Bawahan ini perlu mendapatkan pengarahan, bimbingan dan petunjuk dari atasan serta pengawasan yang ketat.
• Gaya Konsultasi Efektif
Bila diterapkan pada bawahan yang tingkat kemampuan tinggi dan kemauan rendah (P2). Bawahan ini rendah semangat kerjanya, tapi pengetahuan dan ketrampilan kerja relatif tinggi. Oleh karena itu pemimpin harus dapat bertukar pendapat dengan menghargai pengetahuan dan ketrampilan, memperhatikan saran dan pendapat, memberikan motivasi serta dorongan agar tumbuh semangat kerja dan agar mau memanfaatkan pengetahuan dan ketrampilan yang dimiliki.
• Gaya Partisipasi Efektif
Bila diterapkan pada bawahan yang tingkat kemauannya rendah tapi kemampuan tinggi (P3). Bawahan ini memiliki semangat kerja tinggi tetapi pengetahuan dan ketrampilannya rendah. Oleh karena itu, pemimpin harus
9
dapat membantu dan membina bawahan agar kemampuan kerjanya meningkat, ikut bekerja bersama bawahan dalam rangka meningkatkan ketrampilan kerja, menumbuhkembangkan hubungan kerja yang bersifat kolegial sehingga mudah memberikan supervisi kepada bawahan
• Gaya Delegasi Efektif
Bila diterapkan pada bawahan yang kemampuan dan kemauan kerjanya tinggi (P4). Bawahan yang memiliki potensi kerja yang tinggi dan dapat mandiri dalam melaksanakan fungsi dan tugas serta tanggung jawab atas hasil kerjanya, perlu mendapatkan kesempatan yang luas agar dapat berkreasi dan mengaktualisasikan diri.
Peran Kepala Sekolah
• Kepala Sekolah sebagai Administrator
Sebagai administrator, ia mempunyai tugas dan bertanggungjawab terhadap pelaksanaan pendidikan sekolah, termasuk di dalamnya adalah penanggungjawab pelaksanaan asministrasi sekolah.
• Kepala Sekolah sebagai Supervisor
Kepala sekolah diharapkan benar-benar dapat mampu memainkan perannya sebagai supervisor di sekolah yang dipimpinnya, dengan cara
10
membantu guru dalam bidang pengajaran, sehingga diharapkan guru akan mampu berkembang dan mengembangkan potensi yang dimilikinya.
• Kepala Sekolah sebagai Manajer
Kepala sekolah harus mampu memimpin proses pengelolaan (management) administrasi pendidikan yang mencakupi kegiatan merencanakan (planning), kegiatan mengorganisasikan (organizing), kegiatan mengarahkan (directing), kegiatan mengkoordinasikan (coordinating), kegiatan mengawasi (controlling), dan kegiatan evaluasi.
• Kepala Sekolah sebagai Educator
Disamping sebagai manajer, ia harus mampu memerankan dirinya sebagai pendidik, pengajar kepada seluruh guru, staf administrasi, serta sebagai peserta didik.

Pendidikan pada hakekatnya adalah sebuah transformasi yang mengubah input menjadi output. Untuk menjadi output, dalam transformasi tersebut diperlukan suatu proses yang berlangsung secara benar, terjaga serta sesuai dengan apa yang telah ditetapkan. Pada pendidikan, untuk menjamin


11
terjadinya proses yang benar tersebut, diperlukan pengawasan (supervisi). Supervisi ini dilakukan dalam rangka menjamin kualitas (quality assurance) agar sesuai dengan tujuan pendidikan. Pada makalah ini akan dibahas tentang tugas dan fungsi supervisi pendidikan.















12
II. PEMBAHASAN

A. Tugas Supervisi Pendidikan.
Seorang supervisior dapat dilihat dari tugas yang dikerjakannya. Seorang pemimpin pendidikan yang berfungsi sebagai supervisor tampak jelas perannya. Sesuai dengan pengertian hakiki supervisi, maka supervisi berperan atau bertugas memberi support (supporting), membantu (assisting) dan mengikutsertakan (sharing).
Selain itu, seorang supervisior bertugas sebagai:
- Koordinator.
- Konsultan.
- Pemimpin Kelompok.
- Evaluator .
Tugas lain bagi seorang supervisi atau pengawas akademik, yakni mencakup hal-hal berikut:
1. Mengupayakan agar guru lebih bersungguh-sungguh dan bekerja lebih keras serta bersemangat dalam mengajar.
13
2. Mengupayakan agar sistem pengajaran ditata sedemikian rupa sehingga berlaku prinsip belajar tuntas, yaitu guru harus berupaya agar murid benar-benar menguasai apa yang telah diajarkan dan tidak begitu saja melanjutkan pengajaran ke tingkat yang lebih tinggi jika murid Belum tuntas penguasaannya.
3. Memberikan tekanan (pressure) terhadap guru untuk mencapai tujuan pengajarannya, dengan disertai bantuan (support) yang memadai bagi keberhasilan tugasnya.
4. Membuat kesepakatan dengan guru maupun dengan sekolah mengenai jenis dan tingkatan dari target output yang harus mereka capai sehubungan dengan keberhasilan pengajaran.
5. Secara berkala melakukan pemantauan dan penilaian (assessment) terhdap keberhasilan (efektifitas) mengajar guru, khususnya dalam kaitannya dengan kesepakatan yang dibuat pada butir (4) di atas.
6. Membuat persiapan dan perencanaan kerja dalam rangka pelaksanaan butir-butir di atas, menyusun dokumentasi dan laporan bagi setiap kegiatan,

14
serta mengembangkan sistem pengelolaan data hasil pengawasan.
7. Melakukan koordinasi serta membuat kesepakatan-kesepakatan yang diperlukan dengan kepala sekolah, khususnya dalam hal yang berkenaan dengan pemantauan dan pengendalian efektifitas pengajaran serta hal yang berkenaan dengan akreditas sekolah yang bersangkutan.

B. Fungsi Supervisi.
Secara umum fungsi supervisi adalah perbaikan pengajaran. Berikut ini berbagai pendapat para tentang fungsi supervisi, di antaranya adalah:
• Ayer, Fred E, menganggap fungsi supervisi untuk memelihara program pengajaran yang ada sebaik-baiknya sehingga ada perbaikan.
• Franseth Jane, menyatakan bahwa fungsi supervisi memberi bantuan terhadap program pendidikan melalui bermacam-macam cara sehingga kualitas kehidupan akan diperbaiki.
• W.H. Burton dan Leo J. Bruckner menjelaskan bahwa fungsi utama dari supervisi modern ialah menilai dan memperbaiki faktor-faktor yang

15
mempengaruhi hal belajar.
• Kimball Wiles, mengatakan bahwa fungsi supervisi ialah memperbaiki situasi belajar anak-anak.
Usaha perbaikan merupakan proses yang kontinyu sesuai dengan perubahan masyarakat. Masyarakat selalu mengalami perubahan. Perubahan masyarakat membawa pula konsekuensi dalam bidang pendidikan dan pengajaran. Suatu penemuan baru mengakibatkan timbulnya dimensi-dimensi dan persepektif baru dalam bidang ilmu penegetahuan.
Makin jauh pembahasan tentang supervisi makin nampak bahwa kunci supervisi bukan hanya membicarakan perbaikan itu sendiri, melainkan supervisi yang diberikan kepada guru-guru, menurut T.H. Briggs juga merupakan alat untuk mengkoordinasi, menstimulasi dan mengarahkan pertumbuhan guru-guru.
Dalam suatu analisa fungsi supervisi yang diberikan oleh swearingen, terdapat 8 fungsi supervisi, yakni:
1. Mengkoordinasi Semua Usaha Sekolah.
Koordinasi yang baik diperlukan terhadap semua usaha sekolah untuk
16
mengikuti perkembangan sekolah yang makin bertambah luas dan usaha-usaha sekolah yang makin menyebar, diantaranya:
- Usaha tiap guru.
- Usaha-usaha sekolah.
- Usaha-usaha pertumbuhan jabatan.
2. Memperlengkapi Kepemimpinan Sekolah.
Yakni, melatih dan memperlengkapi guru-guru agar mereka memiliki ketrampilan dan kepemimpinan dalam kepemimpinan sekolah.
3. Memperluas Pengalaman.
Yakni, memberi pengalaman-pengalaman baru kepada anggota-anggota staff sekolah, sehingga selalu anggota staff makin hari makin bertambah pengalaman dalam hal mengajarnya.
4. Menstimulasi Usaha-Usaha yang Kreatif.
Yakni, kemampuan untuk menstimulir segala daya kreasi baik bagi anak-anak, orang yang dipimpinnya dan bagi dirinya sendiri.
5. Memberikan Fasilitas dan Penilaian yang Kontinyu.
Penilaian terhadap setiap usaha dan program sekolah misalnya, memiliki
17
bahan-bahan pengajaran, buku-buku pengajaran, perpustakaan, cara mengajar, kemajuan murid-muridnya harus bersifat menyeluruh dan kontinyu.
6. Menganalisa Situasi Belajar
Situasi belajar merupakan situasi dimana semua faktor yang memberi kemungkinan bagi guru dalam memberi pengalaman belajar kepada murid untuk mencapai tujuan pendidikan.
7. Memberi Pengetahuan dan Ketrampilan pada Setiap Anggota Staf.
Supervisi berfungsi memberi stimulus dan membantu guru agar mereka memperkembangkan pengetahuan dan ketrampilan dalam belajar.
8. Mengintegrasikan Tujuan dan Pembentukan Kemampuan.
Fungsi supervisi di sini adalah membantu setiap individu, maupun kelompok agar sadar akan nilai-nilai yang akan dicapai itu, memungkinkan penyadaran akan kemampuan diri sendiri.
Fungsi supervior (pengawas) oleh karenanya menjadi penting, sebagaimana tertuang dalam Kepmen PAN Nomor 118/1996 yang menyebutkan bahwa pengawas diberikan tanggung jawab dan wewenag penuh untuk
18
melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan pendidikan, penilaian dan pembinaan teknis serta administratif pada satuan pendidikan.

Pengertian Supervisi Pengajaran
1. Nealey and Evans in their book of “ Hand book for supervision of instruction” …….. the term “ supervision “is used to describe those activities which are primarily and directly concerned with studying and improving the conditions which surround the learning and growth of the pupil and teacher.
2. Boadman dkk (1961:6) menguraikan supervisi pengajaran dapat dirumuskan sebagai usaha untuk mendorong mengkoordinasikan dan menuntun pertumbuhan guru-guru secara berkesinambungan disuatu sekolah, baik secara individu, maupun secara kelompok, didalam pengertian yang lebih baik dan tindakan yang lebih efektif dalam fungsi pengajaran sehingga mereka dapat lebih mampu untuk mendorong dan menuntun pertumbuhan setiap siswa secara berkesinambungan menuju partisipasi yang cerdas dalam kehidupan masyarakat demokratis modern
19
3. Neagley dan Evans (1980:20) mengemukakan bahwa setiap layanan kepada guru-guru yang menghasilkan perbaikan intruksional belajar dan kurikulum disebut supervise.

4. Mark dkk. (1974:4) menguraikan nilai supervisi ini terletak pada perkembangan dan perbaikan situasi belajar mengajar yang direfleksikan pada perkembangan para siswa.
5. Dari beberapa definisi supervisi pengajaran diatas secara implisit sebenarnya dapat diketahui bahwa atasan mempunyai wewenang memberi pengarahan atau bimbingan kepada guru-guru tidak terbatas pada kegiatan administrator saja, semua atasan atau administrator yang senior lainnya dapat memberi bantuan pada proses pelaksanaan belajar mengajar yang dititik beratkan pada situasi belajarnya.

6. Secara singkat dapat disimpulkan bahwa supervisi adalah suatu aktivitas pembinaan yang direncanakan utuk membantu para


20
7. guru dan tenaga kependidikan lainnya dalam melaksanakan pekerjaan mereka secara efektif.














21

Komponen Supervisi Pendidikan

 Komponen system pendidikan yang utama adalah tenaga pendidikan (guru).
 Guru merupakan salah satu unsur penting dalam upaya perencanaan peningkatan mutu pendidikan.
 Berdasarkan pasal 10 UU No. 14 Tahun 2005 bahwa;
1. Saat ini, mutu pendidikan di Indonesia masih relatif
rendah.
2. Salah faktor penyebabnya adalah rendahnya mutu
guru, pada satu sisi dan di sisi lain guru dipandang
sebagai faktor kunci dalam peningkatan mutu
pendidikan, karena ia berinteraksi langsung dengan
siswanya dalam proses PBM di kelas.
 Berdasarkan fakta tersebut, guru masih memerlukan pembinaan agar memiliki kemampuan profesional, melalui kegiatan supervisi yang dilakukan oleh pengawas, pemilik dan kepala sekolah.
22
Hasil penelitian (1982) ditemukan bahwa besarnya aspek administrasi berkisar 70% - 80% sedangkan aspek akademik berkisar 20 % - 30 %. Dampaknya adalah kegiatan supervise sekedar untuk mencari kesalahan administrasi sekolah. Untuk menhindari itu, kegiatan supervise ditekankan pada aspek pembinaan akademik, dengan presentasi 75 % untuk akademik dan 25 % untuk administrasi

Tujuan Supervisi Pengajaran
1. Supervisi pengajaran merupakan bagian yang integral dengan sistem pendidikan nasional. Oleh karena itu dalam membahas tujuan supervisi pengajaran harus sejalan dan mendukung pencapaian tujuan pendidikan nasional maupun tujuan pendidikan pada umumnya. Tujuan pendidikan nasional secara jelas dapat diketahui dalam undang-undang nomor 20 tahun 2003 yang mengatur tentang sistem pendidikan nasional bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya…..
2. Glickman (1985) menguraikan bahwa tujuan supervisi pengajaran adalah untuk
membantu guru-guru belajar bagaimana meningkatkan kemampuan atau
kapasitasnya, agar murid-muridnya dapat mewujudkan tujuan belajar yang
telah ditetapkan.

23
3. Tujuan supervisi pendidikan dikemukakan oleh Sahertian dan Mateheru (1982) sebagai berikut :
a. Membantu guru melihat dengan jelas tujuan-tujuan
pendidikan,
b. Membantu guru dalam membimbing pengalaman
belajar murid-murid,
c. Membantu guru-guru dalam menggunakan sumber-
sumber pengalaman belajar,
d. Membantu guru dalam menggunakan metode-metode
dan alat-alat pelajaran modern,
e. Membantu guru dalam memenuhi kebutuhan belajar
murid-murid,
f. Membantu guru dalam hal menilai kemajuan murid-
murid dan hasil pekerjaan guru itu sendiri.

g. Membantu guru dalam membina reaksi mental atau
moral kerja guru dalam rangka pertumbuhan pribadi
dan jabatan mereka.

24
h. Membantu guru baru disekolah sehingga mereka
merasa gembira dengan tugasnya yang diperolehnya.
i. Membantu guru agar lebih mudah mengadakan
penyesuaian terhadap masyarakat dan cara-cara
menggunakan sumber-sumber masyarakat dan
seterusnya.
j. Membantu guru agar waktu dan tenaga
tercurahkan sepenuhnya dalam pembinaan
sekolahnya.










25
III. KESIMPULAN
Dari uraian yang telah disampaikan, dapat disimpulkan bahwa seorang supervisor dapat dilihat dari tugas yang dikerjakannya, suatu tugas yang dilaksanakannya memberi status dan fungsi pada seseorang. Dalam fungsinya nampak perananya dan dari peranannya terdapat tugas-tugas yang harus dilaksnakan oleh seorang supervisor pendidikan seperti yang telah diuraikan sebelumnya.












26
IV. DAFTAR PUSTAKA
A, Hasan, Yusuf, dkk., Pedoman Pengawasan, Jakarta: CV Mekar Jaya, 2002.
A, Sahertian, Piet, Drs, Prinsip dan Teknik Supervisi Pendidikan, Usaha Nasioanal, Surabaya: 1981.
Tim Penyusun Ditjen Baga Islam, Pedoman Pelaksanaan Supervisi Pendidikan Agama, Depag RI Ditjen Baga Islam, Jakarta, 2003.

Rabu, 24 Maret 2010

ABAD PERTENGAHAN BARAT




The expansion of monasticism was the main force behind the unprecedented artistic and cultural activity of the eleventh and twelfth century. New orders were founded, such as the Cistercian, Cluniac, and Carthusian, and monasteries were established throughout Europe. Writing in the early eleventh century, the Burgundian historian Radulfus Glaber described a "white mantle of churches" rising over "all the earth." Stimulated by economic prosperity, relative political stability, and an increase in population, this building boom continued over the next two centuries. Stone churches of hitherto unknown proportions were erected to accommodate ever-larger numbers of priests and monks, and the growing crowds of pilgrims who came to worship the relics of the saints (Sainte-Foy at Conques). Adapting the plan of the Roman basilica with a nave, lateral aisles, and apse, these churches typically have a transept crossing the nave, and churches on the pilgrimage road included an ambulatory (a gallery allowing the faithful to walk around the sanctuary) and a series of radiating chapels for several priests to say Mass concurrently. For the first time since the fall of the Roman empire, monumental sculpture covered church facades, doorways, and capitals (Last Judgment, Tympanum, Beaulieu-sur-Dordogne; Standing Prophet, Moissac). Monumental doors, baptismal fonts, and candleholders, frequently decorated with scenes from biblical history, were cast in bronze, attesting to the prowess of metalworkers. Frescoes were applied to the vaults and walls of churches (Temptation of Christ, San Baudelio de Berlanga, 61.248). Rich textiles and precious objects in gold and silver, such as chalices and reliquaries, were produced in increasing numbers to meet the needs of the liturgy and the cult of the saints. The new monasteries became repositories of knowledge: in addition to the Bible, the liturgical texts, and the writings of the Latin and Greek Church Fathers, their scriptoria copied the works of classical philosophers and theoreticians, as well as Latin translations of Arabic treatises on mathematics and medicine. Glowing illuminations often decorated the pages of these books and the most eminent among them were adorned with sumptuous bindings (Book Cover with Byzantine Icon of the Crucifixion, 17.190.33).


The study of medieval art began in earnest in the decades following the iconoclasm of the French Revolution. Art historians in the early nineteenth century, following the natural sciences in an effort to classify their field of inquiry, coined the term "Romanesque" to encompass the western European artistic production, especially architecture, of the eleventh and twelfth centuries. The term is both useful and misleading. Clearly, medieval sculptors and architects of southern France and Spain had firsthand knowledge of the many Roman monuments in the region. The twelfth-century capitals from the cloister of Saint-Guilhem-le-Désert (25.120.1–.134), for example, adopt the acanthus-leaf motif and decorative use of the drill holes found on Roman monuments (Section of a pilaster with acanthus scrolls, 10.210.28). Likewise, the contemporary apse (L.58.86) from Fuentidueña uses the barrel vault familiar from Roman architecture.


While emphasizing the dependence on Roman art, the label ignores the two other formative influences on Romanesque art, the Insular style of Northern Europe and the art of Byzantium, nor does it do justice to the inventiveness of Romanesque art. Comparison of the Initial V from a Bible (1999.364.2), illuminated at the end of the twelfth century in the Cistercian monastery of Pontigny in eastern France, with the sixth-century Anglo-Saxon Square-Headed Brooch (1985.209), illustrates how long impulses from Insular art lingered in the Romanesque vernacular. Like the Anglo-Saxon goldsmith, the French illuminator created a lavish surface decoration combining interlaced ribbons with animal motifs, and yet the miniature conveys a greater sense of energy. Instead of merely filling the space, the interlace has a rhythm of its own, reinforced by the bold palette and vibrant juxtaposition of colors. The robust striding lions echo the vitality of the abstract decoration, further embellished by foliate ornament.


Byzantine influences, by way of Italy, found echoes in Romanesque art from the late eleventh century onward. The tenth-century plaque with the Crucifixion and the Defeat of Hades (17.190.44) reveals that Byzantium had preserved certain features of Hellenistic art that had disappeared in the West, such as a coherent modeling of the human body under drapery and a repertoire of gestures expressing emotions. These elements are present in the ivory plaque with the Journey to Emmaus and the Noli Me Tangere (17.190.47) carved in northern Spain in the early twelfth century. Compared to the Byzantine sculptor, however, the Romanesque artist has imbued his composition with a heightened sense of drama, through a more emphatic play of gestures and swirling draperies with pearled borders.


More important than its synthesis of various influences, Romanesque art formulated a visual idiom capable of spelling out the tenets of the Christian faith. Romanesque architects invented the tympanum, on which the Last Judgment or other prophetic scenes could unfold, as a stern preparation for the mystical experience of entering the church. Inside, as they meandered around the building, the faithful encountered other scenes from biblical history, on doors, capitals, and walls (The Temptation of Christ, 61.248), and were drawn into the narrative by their dynamic, direct language.


Senin, 22 Maret 2010

MAKALAH FILSAFAT ILMU

sebuah makalah

FILSAFAT ILMU PENGETAHUAN

dosen : Dr. M Subandowo

Oleh : Sutikno hamzah

NIM : 090020207

Kelas E

Program Pasca Sarjana

Universitas PGRI Adi Buana Surabaya
2
0
1
0






APA ILMU DAN APA YANG DINAMAKAN FILSAFAT

Hubungan ilmu dan Filsafat

1. Pengertian Ilmu

Ilmu berasal dari bahasa Arab, ‘alama. Arti dasar dari kata ini adalah pengetahuan. Penggunaan kata ilmu dalam proposisi bahasa Indonesia sering disejajarkan dengan kata science dalam bahasa Inggris. Kata science itu sendiri memang bukan bahasa Asli Inggris, tetapi merupakan serapan dari bahasa Latin, Scio, scire yang arti dasarnya pengetahuan. Ada juga yang menyebutkan bahwa science berasal dari kata scientia yang berarti pengetahuan. Scientia bersumber dari bahasa Latin Scire yang artinya mengetahui.

1 Terlepas dari berbagai perbedaan asal kata, tetapi jika benar ilmu disejajarkan dengan kata science dalam bahasa Inggris, maka pengertiannya adalah pengetahuan. Pengetahuan yang dipakai dalam

2 Secara umum pengertian dari kata “tahu”
ini menandakan adanya suatu pengetahuan yang didasarkan atas pengalaman dan pemahaman tertentu yang dimiliki oleh seseorang.

8

3 Pendapat yang sama diungkapkan M. Quraish Shihab. Ia berpendapat bahwa ilmu berasal dari bahasa Arab, ilm. Arti dasar dari kata ini adalah kejelasan. Karena itu, segala bentuk kata yang terambil dari kata ‘ilm seperti kata ‘alm (bendera), ‘ulmat (bibir sumbing), ‘alam (gunung-gunung) dana ‘alamat mengandung objek pengetahuan. Ilmu dengan demikian dapat diartikan sebagai pengetahuan yang jelas tentangsesuatu.

4 Athur Thomson mendefinisikan ilmu sebagai pelukisan fakta-fakta, pengalaman secara lengkap dan konsisten meski dalam perwujudan istilah yang sangat sederhana.

5 S. Hornby mengartikan ilmu sebagai: Science is organized knowledge obtained by observation and testing of fact (ilmu adalah susunan atau kumpulan pengetahuan yang diperoleh melalui penelitian dan percobaan dari fakta-fakta.

6 Kamus bahasa Indonesia, menerjemahkan ilmu sebagai pengetahuan tentang suatu bidang yang disusun secara bersistem menurut metode-metode tertentu yang dapat digunakan untuk menerangkan gejala-gejala tertentu pula. Kamu ini juga menerangkan bahwa ilmu dapat diartikan sebagai pengetahuan atau kepandaian tentang soal duniawi, akhirat, lahir dan bathin.
Poincare menyebutkan bahwa ilmu berisi kaidah-kaidah dalam arti definisi yang tersembunyi (science consist entirely of convertions in the sence of disguised definitions). Pengertian dan kandungan ilmu yang dicoba ditawarkan Poincare ini,

9

harus pula diakui memperoleh penolakan dari berbagai ahli. Bahkan ada anggapan yang menyatakan bahwa pikiran Poincare ini merupakan kesalahan besar. Le Ray seolah menjadi antitesis dari pemikiran Poincare. Le Ray misalnya menyatakan bahwa “Science consist only of consecrations and it is solely to this circumstance that is owes its apparent certainly”. Le Ray juga menyatakan bahwa science cannot teach us the truth, it’s can serve us only as a rule of action (ilmu tidak mengajarkan tentang kebenaran, ia hanya menyajikan sejumlah kaidah dalam berbuat.

7 Dari beberapa definisi ilmu di atas, maka, kandungan ilmu berisi tentang; hipotesa, teori, dalil dan hukum.
Penjelasan di atas juga menyiratkan bahwa hakekat ilmu bersifat koherensi sistematik. Artinya, ilmu sedikit berbeda dengan pengetahuan. Ilmu tidak memerlukan kepastian kepingan-kepingan pengetahuan berdasarkan satu putusan tersendiri, ilmu justru menandakan adanya satu keseluruhan ide yang mengacu kepada objek atau alam objek yang sama saling berkaitan secara logis.
Setiap ilmu bersumber di dalam kesatuan objeknya. Ilmu tidak memerlukan kepastian lengkap berkenaan dengan penalaran masing-masing orang. Ilmu akan memuat sendiri hipotesis-hipotesis dan teoriteori yang sepenuhnya belum dimantapkan. Oleh karena itu, ilmu membutuhkan metodologi, sebab dan kaitan logis. Ilmu menuntut pengamatan dan kerangka berpikir metodik serta tertata rapi. Alat bantu metodologis yang penting dalam konteks ilmu adalah terminology ilmiah

10


Filsafat ilmu Tentang Hubungan ilmu dan Filsafat


2.Pengertian Filsafat


Filsafat berasal dari bahasa Yunani, philosophia dan philoshophos. Menurut bentuk kata, philosophia diambil dari kata philos dan shopia atau philos dan sophos. Philos berarti cinta dan shopia atau shopos berarti kebijaksanaan, pengetahuan, dan hikmah. Dalam pengertian ini seseorang dapat disebut telah berfilsafat apabila seluruh ucapannya dan perilakunya mengandung makna dan ciri sebagai orang yang cinta terhadap kebijaksanaan, terhadap pengetahuan dan terhadap hikmah.8
Pada awalnya, kata sofia lebih sering diartikan sebagai kemahiran dan kecakapan dalam suatu pekerjaan, seperti perdagangan dan pelayaran. Dalam perkembangan selanjutnya, makna dari kata kemahiran ini lebih dikhususkan lagi untuk kecakapan di bidang sya’ir dan musik. Makna ini kemudian berkembang lagi kepada jenis pengetahuan yang dapat mengantarkan manusia untuk mengetahui kebenaran murni. Sofia dalam arti yang terakhir ini, kemudian dirumuskan oleh Pythagoras bahwa hanya Dzat Maha Tinggi (Allah) yang mampu melakukannya. Oleh karena itu, manusia hanya dapat sampai pada sifat “pencipta kebijaksanaan”. Pythagoras menyatakan: “cukup seorang menjadi mulia ketika ia menginginkan hikmah dan berusaha untukmencapainya.”

11

9 Harun Hadiwijono berpendapat bahwa filsafat diambil dari bahasa Yunani, filosofia. Struktur katanya berasal dari kata filosofien yang berarti mencintai kebijaksanaan. Dalam arti itu, menurut Hadiwijono filsafat mengandung arti sejumlah gagasan yang penuh kebijaksanaan.

Artinya, seseorang dapat disebut berfilsafat ketika ia aktif memperoleh kebijaksanaan.Kata filsafat dalam pengertian ini lebih memperoleh kebijaksanaan. Kata filsafat dalam pengertian ini lebih berarti sebagai “Himbauan kepada kebijaksanaan”.

10 Harun Nasution beranggapan bahwa kata filsafat bukan berasal dari struktur kata Philos dan shopia, philos dan shophos atau filosofen. Tetapi kata filsafat berasal dari bahasa Yunani yang struktur katanya berasal dari kata philien dalam arti cinta dan shofos dalam arti wisdom. Orang Arab menurut Harun memindahkan kata Philosophia ke dalam bahasa mereka dengan menyesuaikan tabi’at susunan kata-kata bahasa Arab, yaitu filsafat dengan pola (wajan) fa’lala, fa’lalah, dan fi’la. Berdasarkan wajan itu, maka penyebutan kata filsafat dalam bentuk kata benda seharusnya disebut falsafat atau Filsaf.11
Harun lebih lanjut menyatakan bahwa kata filsafat yang banyak dipakai oleh masyarakat Indonesia, sebenarnya bukan murni berasal dari bahasa Arab sama seperti tidak murninya kata filsafat terambil dari bahasa Barat, philosophy. Harun justru membuat kompromi bahwa filsafat terambil dari dua bahasa, yaitu Fil diambil dari bahasa Inggris dan Safah dari bahasa Arab.

12

Sehingga kata filsafat, adalah gabungan antara bahasa Inggris dan Arab. Berfilsafat artinya berpikir menurut tata tertib (logika) dengan bebas (tidak terikat pada tradisi, dogma serta agama) dan dengan sedalam-dalamnya sehingga sampai ke dasar-dasar persoalannya. Atas dasar itu, maka menurut Harun, secara etimologi filsafat dapat didefinisikan sebagai:


1.Pengetahuantentanghikmah
2.Pengetahuantentangprinsipataudasar
3.mencarikebenaran
4.MembahasdasardariapayangdibahasAliMudhafir berpendapat bahwa kata filsafat dalam bahasa Indonesia memiliki padanan kata Falsafah (Arab), Phyloshophy (Inggris), Philosophie (Jerman, Belanda dan Perancis). Semua kata itu, berasal dari bahasa Yunani Philosphia. Kata philosophia sendiri terdiri dari dua suku kata, yaitu Philien, Philos dan shopia.

Philien berarti mencintai, philos berarti teman dan sophos berarti bijaksana, shopia berarti kebijaksanaan.

Dengan demikian, menurut Ali Mudhafir ada dua arti secara etimologi dari kata filsafat yang sedikit berbeda. Pertama, apabila istilah filsafat mengacu pada asal kata philien dan shopos, maka ia berarti mencintai hal-hal yang bersifat bijaksana (ia menjadi sifat). Kedua, apabila filsafat mengacu pada asal kata philos dan shopia, maka ia berarti teman kebijaksanaan (filsafat menjadi kata benda)

12 Makalah Filsafat ilmu Tentang Hubungan ilmu dan Filsafat

13

3.HubunganAntaraIlmudanFilsafat


Berbagai pengertian tentang filsafat dan ilmu sebagaimana telah dijelaskan di atas, maka berikutnya akan tergambar pula. Pola relasi (hubungan) antara ilmu dan filsafat. Pola relasi ini dapat berbentuk persamaan antara ilmu dan filsafat, dapat juga perbedaan di antara keduanya.


Di zaman Plato, bahkan sampai masa al Kindi, batas antara filsafat dan ilmu pengetahuan boleh disebut tidak ada. Seorang filosof pasti menguasi semua ilmu. Tetapi perkembangan daya pikir manusia yang mengembangkan filsafat pada tingkat praksis, berujung pada loncatan ilmu dibandingkan dengan loncatan filsafat. Meski ilmu lahir dari filsafat, tetapi dalam perkembangan berikut, perkembangan ilmu pengetahuan yang didukung dengan kecanggihan teknologi, telah mengalahkan perkembangan filsafat. Wilayah kajian filsafat bahkan seolah lebih sempit dibandingkan dengan masa awal perkembangannya, dibandingkan dengan wilayah kajian ilmu. Oleh karena itu, tidak salah jika kemudian muncul suatu anggapan bahwa untuk saat ini, filsafat tidak lagi dibutuhkan bahkan kurang relevan dikembangkan ole manusia. Sebab manusia hari ini mementingkan ilmu yang sifatnya praktis dibandingkan dengan filsafat yang terkadang sulit “dibumikan”. Tetapi masalahnya betulkah demikian?
Ilmu telah menjadi sekelompok pengetahuan yang terorganisir dan tersusun secara sistematis.

Tugas ilmu menjadi lebih luas, yakni bagaimana ia mempelajari gejala-gejala sosial lewat observasi dan eksperimen.

14

13 Keinginan-keinginan melakukan observasi dan eksperimen sendiri, dapat didorong oleh keinginannya untuk membuktikan hasil pemikiran filsafat yang cenderung Spekulatif ke dalam bentuk ilmu yang praktis. Dengan demikian, ilmu pengetahuan dapat diartikan sebagai keseluruhan lanjutan sistem pengetahuan manusia yang telah dihasilkan oleh hasil kerja filsafat kemudian dibukukan secara sistematis dalam bentuk ilmu yang terteoritisasi.

14 Kebenaran ilmu dibatasi hanya pada sepanjang pengalaman dan sepanjang pemikiran, sedangkan filsafat menghendaki pengetahuan yang koprehensif, yakni; yang luas, yang umum dan yang universal (menyeluruh) dan itu tidak dapat diperoleh dalam ilmu.
Lalu jika demikian, dimana saat ini filsafat harus ditempatkan? Menurut Am. Saefudin, filsafat dapat ditempatkan pada posisi maksimal pemikiran manusia yang tidak mungkin pada taraf tertentu dijangkau oleh ilmu. Menafikan kehadiran filsafat, sama artinya dengan melakukan penolakan terhadap kebutuhan riil dari realitas kehidupan manusia yang memiliki sifat untuk terus maju.15
Ilmu dapat dibedakan dengan filsafat. Ilmu bersifat pasteriori. Kesimpulannya ditarik setelah melakukan pengujian-pengujian secara berulang-ulang. Untuk kasus tertentu, ilmu bahkan menuntut untuk diadakannya percobaan dan pendalaman untuk mendapatkan esensinya. Sedangkan filsafat bersifat priori, yakni; kesimpulan-kesimpulannya ditarik tanpa pengujian. Sebab filsafat tidak mengharuskan adanya data emfiris seperti dimiliki ilmu. Karena filsafat bersifat spekulatif dan kontemplatif yang ini juga dimiliki ilmu. Kebenaran filsafat tidak dapat dibuktikan oleh filsafat itu sendiri,

15

tetapi hanya dapat dibuktikan oleh teori-teori keilmuan melalui observasi dan eksperimen atau memperoleh justifikasi kewahyuan. Dengan demikian, tidak setiap filosof dapat disebut sebagai ilmu, sama seperti tidak semua ilmuwan disebut filosof. Meski demikian aktifitas berpikir. Tetapi aktivitas dan ilmuwan itu sama, yakni menggunakan aktifitas berpikir filosof. Berdasarkan cara berpikir seperti itu, maka hasil kerja filosofis dapat dilanjutkan oleh cara kerja berfikir ilmuwan.

Hasil kerja filosofis bahkan dapat menjadi pembuka bagi lahirnya ilmu. Namun demikian, harus juga diakui bahwa tujuan akhir dari ilmuwan yang bertugas mencari pengetahuan, sebagaimana hasil analisa Spencer, dapat dilanjutkan oleh cara kerja berpikir filosofis.
Di samping sejumlah perbedaan tadi, antara ilmu dan filsafat serta cara kerja ilmuwan dan filosofis, memang mengandung sejumlah persamaan, yakni sama-sama mencari kebenaran. Ilmu memiliki tugas melukiskan, sedangkan filsafat bertugas untuk menafsirkan kesemestaan. Aktivitas ilmu digerakkan oleh pertanyaan bagaimana menjawab pelukisan fakta. Sedangkan filsafat menjawab atas pertanyaan lanjutan bagaimana sesungguhnya fakta itu, dari mana awalnya dan akan ke mana akhirnya.
Berbagai gambaran di atas memperlihatkan bahwa filsafat di satu sisi dapat menjadi pembuka bagi lahirnya ilmu pengetahuan, namun di sisi yang lainnya ia juga dapat berfungsi sebagai cara kerja akhir ilmuwan. “Sombongnya”, filsafat yang sering disebut sebagai induk ilmu pengetahuan (mother of science) dapat menjadi pembuka dan sekaligus

16

ilmu pamungkas keilmuan yang tidak dapat diselesaikan oleh ilmu.


Kenapa demikian? Sebab filsafat dapat merangsang lahirnya sejumlah keinginan dari temuan filosofis melalui berbagai observasi dan eksperimen yang melahirkan berbagai pencabangan ilmu. Realitas juga menunjukan bahwa hampir tidak ada satu cabang ilmu yang lepas dari filsafat atau serendahnya tidak terkait dengan persoalan filsafat. Bahkan untuk kepentingan perkembangan ilmu itu sendiri, lahir suatu disiplin filsafat untuk mengkaji ilmu pengetahuan, pada apa yang disebut sebagai filsafat pengetahuan, yang kemudian berkembang lagi yang melahirkan salah satu cabang yang disebut sebagai filsafat ilmu.

17

BAB III

DEFISI, LINKUP DAN PROBLEM ILSAFAT ILMU

Kelahiran, pertumbuhan dan kekokohan ilmu menimbulkan persoalan yang berada di luar minat,kesempatan atau jangkauan dari ilmuwan sendiri untuk menyelesaikan.Tetapi ada sebagian ilmuwan ialah para filsuf memecahkan persoalan termaksud. Pemikiran filsuf itu mengenai ilmu merupakan filsafat ilmu al. :

Robert Ackermann, Lewis White Beck, A Cornelius Benyamin, Michael V Berry, May Brodbeck, Peter Caws, Alfred Cyril Ewing, Antony Flew, A R Lacey, John Macmurray, D W Theobald, Stephen R Toulmin.

Filsafat Ilmu dalam suatu segi merpakan sebauah tinjauan kritis tentang pendapat-pendapat ilmiah dengan perbandindan terhadap pendapat lampau yang telah dibuktikan , tetapi filsafat ilmu bukan suatu cabang yang bebas dari praktek ilmiah.

Filsafat ilmu mempertanyakan dan menilai metode-metode pemikiran ilmiah serta mencoba menetapkan nilai dan pentingnya usaha ilmiah sebagai suatu keseluruhan.

Filsafat ilmu merupakan suatu bagian filsafat yang mencoba berbuat bagi ilmu apa yang filsafat seumumnya melakukana seluruhnya pengalaman manusia. Di satu pihak membangun teori-teori tentang manusia dan alam semesta sebagai landasan bagi keyakinan dan tindakan, di pihak lain memeriksa secara kritis segala hal yang dapat disajikan sebagai landasan bagi keyakinan atau tindakan termasuk teori-teorinya sendiri, dengan harapan pada penghapusan ketakajegan dan kesalahan.

18

Merupakan ilmu empiris yang teratur menyajikan hasil yang paling mengesankan dari rasionalitas manusia yang merupakan salah satu

dari calon yang diakui terbaik untuk pengetahuan. Berusaha untuk menunjukkan di mana letak rasionalitas itu.

Sampai tahun sembilan puluhan Filsafat Ilmu telah berkembang begitu pesat sehingga menjadi suatu bidang pengetahuan yang amat luas dan sangat mendalam. Linkup filsafat ilmu oleh para filsuf dewasa ini dikemukakan al :

Peter Angeles, A Cornelius Benjamin, Arthur Danto, Edward Madden, Ernest Nagel, P H Nidditch, Israel Scheffler, J J C Smart,

Marx Wartofsky.

Fifsafat Ilmu merupakan perenungan mengenai konsep dasar, struktur formal, dan metodologi ilmu, sebagai persoalan ontology dan epistemology yang khas bersifat filsafati dengan pembahasan yang memadukan peralatan analitis dari logika modern dan model penyelidikan ilmiah.

Filsafat Ilmu mencari pengetahuan umum tentang ilmu dengan linkup al. : melukiskan asal mula dan struktur alam semesta menurut teori-teori dan penemuan-penemuan, menelaah hubungan-hubungan antara faktor-faktor kemasyarakatan dan ide-ide ilmiah, menyelidiki metode umum, bentuk logis, cara penyimpulan serta konsep dasar dari ilmu-ilmu.Memberikan analisis dan metodologis tentang ilmu dan penggunaan ilmu untuk membantu pemecahan problem filsafati. Telaah mengenai berbagai konsep, praanggapan dan metode ilmu dengan analisis, perluasan dan penyusunan untuk memperoleh pengetahuan yang lebih ajeg dan cermat, serta telaah pembenaran menganai proses penalaran dalam ilmu dan kaitan di antara berbagai ilmu.

19

Medan kerja dari filsafat adalah mengembangkan sesuatu cabang ilmu dapat mengarah ke luar sehingga mencapai pembahasan yang semakintehnis dan lebih rumit atau bergerak ke dalam untuk pemahaman yang lebih fundamental dan problem yang amat hakiki.

Filsafat sebagai rangkaian aktivitas dari budi manusia pada dasarnya adalah pemikiran reflektif, budi manusia yang diarahkan untuk menelaah fenomenon-fenomenon tertentu sehingga melahirkan sesuatu ilmu khusus kemudian juga memantul berpikir tentang ilmu khusus ini sehingga menumbuhkan filsafat mengenai sesuatu ilmu.

Filsafat sesuatu ilmu khusus merupakan satu cabang dalam ruang lingkup filsafat ilmu seumumnya. Pertama persoalan-persoalan dalam filsafat ilmu dan kedua problem-problem filsafat pada umumnya.Ada dua gugus persoalan : yakni problem-problem reflektif dalam sesuatu ilmu khusus yang dapat dikatakan membentuk filsafat dari ilmu tersebut dan problem-problem mengenai azas permulaan dan ukuran-ukuran yang berlaku umum bagi semua ilmu.Dikemukakan oleh al :

Cornelius Benjamin, Michael Berry, B. Van Fraassen dan H Margenau, David Hull, Victor Lensen, JJC Smart, Joseph Sneed, Frederick Suppe, DW Theobald, WH Walsh, Walter Waimer, Philip Wiener.

Problem-problem filsafat-seumumnya bilamana digolongkan berkisar pada enam hal pokok yaitu pengetahuan, keberadaan, metode, penyimpulan, moralitas dan keindahan.Berdasarkan enam sasaran tersebut filsafat secara sistematis dibagi yaitu : epistemology (teori pengetahuan), metafisika ( teori mengenai apa yang ada ) metodologi ( studi tentang metode),

20

logika ( teori penyimpilan), etika ( ajaran moralitas) dan estetika ( teori keindahan ).

21

BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN


Dengan demikian penulis dapat menyimpulkan bahwa antara ilmu dan filsafat ada persamaan dan perbedaannya.
Perbedaannya ilmu bersifat Posterior kesimpulannya ditarik setelah melakukan pengujian-pengujian secara berulang-ulang sedangkan filsafat bersifat priori kesimpulan-kesimpulannya ditarik tanpa pengujian, sebab filsafat tidak mengharuskan adanya data empiris seperti yang dimiliki ilmu karena filsafat bersifat spekulatif.


Di samping adanya perbedaan antara ilmu dengan filsafat ada sejumlah persamaan yaitu sama-sama mencari kebenaran. Ilmu memiliki tugas melukiskan filsafat bertugas untuk menafsirkan kesemestaan aktivitas ilmu digerakan oleh pertanyaan bagaimana menjawab pelukisan fakta, sedangkan filsafat menjawab atas pertanyaan lanjutan bagaimana sesungguhnya fakta itu dari mana awalnya dan akan ke mana akhirnya.

Seluruh problem Filsafat dapat ditertibkan menjadi :

1. Problem epistemology tentang ilmu

2. Problem metafisis tentang ilmu

3. Problem metodologi tentang ilmu

4. Problem logis tentang ilmu

5. Problem etis tentang ilmu

6. Problem estetis tentang ilmu

22

DAFTAR PUSTAKA

1. The Liang Gie, Pengantar Filsafat Ilmu, Liberti,

Yogyakarta,.....

2. C. Verhaalz, Filsafat Ilmu Pengetahuan Telaah Atas

Cara Kerja Ilmu-ilmu, Gramedia , Jakarta,....

3. Sudarto, Metodologi Penelitian Filsafat,..........

4. Jujun Suriasumantri, Ilmu dalam Perspektif, Yayasan

Obor Indonesia, .......

23