Sabtu, 07 Agustus 2010

PASAR BANGET TUH

Rabu, 30 Juni 2010 - 12:45

Modus Operandi Seni Rupa Kontemporer: "Pasar Banget"
oleh Argus Firmansah


"The Factivity Series: Me Inside Me", sebuah karya Bagus Pandega yang bermaterialkan silicone rubber, plywood, cutgut, flourecent light, electronic system. Karya ini merupakan salah satu finalis Indonesia Art Award 2010. (foto: kuss)
SENI rupa kontemporer dalam konteks keindonesiaan hari ini adalah produksi konsumsi yang selalu berafiliasi dengan ekonomi. Sistem ekonomi yang menopang praktik seni rupa macam itu ditengarai oleh para kolektor dan art dealers sebagai salah satu infrastruktur seni rupa Indonesia sepuluh tahun terakhir. Maka, logika-logika ekonomi sangat berperan bahkan mendominasi untuk perkara justified bentuk estetik seperti apa, mediumnya apa, bahkan siapa saja pemodalnya. Tak perlu heran bila kemudian yang muncul ke permukaan hingga ke hal terdalam adalah pertanyaan-pertanyaan seperti siapa (artist), apa (media) dan berapa (price), kapan branding-nya? Serta auction?

Dalam konteks seni rupa kontemporer macam ini term pluralitas hanya dijadikan tameng untuk menutupi stereotype atau keseragaman bentuk dan bahasa estetik di dalam keberagaman –dalam konteks global. Praksisnya adalah semua subjek yang terlibat melakukan apropriasi di wilayah masing-masing. Para seniman kontemporer di domain lokal (Bandung, Jakarta, Yogyakarta, Bali) mengapropriasi bentuk atau bahasa estetik global art yang mana di dalamnya terdapat bentangan sejarah praktik seni rupa dari berbagai domain internasional. Seolah-olah dengan metoda praksis demikian sudah global art atau suddenly global art.

Kurator independen juga terjun ke ranah komersial alih-alih melakukan apropriasi terhadap wacana seni rupa kontemporer di Amerika—sedikit dan parsial saja dari praksis yang berkembang di Eropa. Dengan dalih mendukung asian/world of global contemporary art maka praksis itu jadi legal atas nama perayaan seni rupa kontemporer. Atau lebih tepat dikatakan sebagai pewacanaan yang seolah-olah untuk membuat justifikasi-justifikasi atas karya-karya perupa yang di-manage oleh galeri komersial di Jakarta, Yogyakarta, dan beberapa kota di Bali.

Tidak hanya itu, para kolektor seni rupa dengan latar belakang para ekonom atau businessman itu juga melakukan apropriasi terhadap praktik seni mengoleksi dari Amerika dan Eropa. Dalam hal ini penulis bisa tegaskan bahwa praktik seni rupa kontemporer Indonesia saat ini adalah perayaan atas metoda apropriasi secara kolosal. Sisi positifnya dalam situasi ini adalah terbentuk pola keterhubungan yang didasarkan atas kepentingan simbiosa mutualisma—saling membutuhkan, yaitu seniman atau perupa dengan galeri, kurator dengan galeri dan kolektor/art dealers, serta seniman/perupa dengan kurator. Semua kegiatan pameran tak lekang oleh kepentingan ekonomi dan semua bersetuju dengan kondisi tersebut, tanpa kritik estetik apalagi kritik moral. Pola-pola ini diciptakan dan dilakukan di belakang layar ekspos media massa.

Sebuah peristiwa pameran karya seni tidak lagi bertujuan pada apresiasi estetik bagi publik bahkan jauh dari pencapaian katarsis dalam istilah modern art. Tetapi sebuah praktik ekonomi dengan objek karya seni rupa (lukisan di kanvas dan terakhir karya fotografi di kanvas) merupakan upaya konstruktif untuk membangun infrastruktur yang tidak dilakukan pemerintah –kecuali memungut pajaknya saja.

Definisi yang jelas mengenai term seni rupa kontenporer di Indonesia juga ikut-ikutan kabur, sehingga apapun bisa jadi karya seni dengan medium yang sudah dipersepsi layak dikoleksi dan saleable bagi kolektor/art dealers. Ketidakjelasan ini juga disepakati oleh pelaku di dalam praktik itu secara pragmatis untuk memperoleh keuntungan ekonomi jangka pendek dan temporary. Pembatasan masalah dan mencari metodologi yang definitive dalam seni rupa kontemporer juga sedang dalam proses. Situasi ini adalah kesempatan baik untuk para seniman/perupa mengerjakan kekaryaannya dalam dimensi konsep dualcore, yaitu karya marketable and experiment atau unmarketable untuk kolektor lokal.

Strategi yang berkembang saat ini adalah melancarkan hidden agenda galeri komersil di dalam pelaksanaan pameran, art fair, lelang, kompetisi, bahkan art award. Yang terakhir ini kemudian dijustifikasi sebagai strategi pasar untuk mendongkrak harga seniman/perupa yang dikontrak oleh galeri-galeri komersial. Posisi seniman/perupa pada situasi ini nyaris manut wae atas tuntutan bentuk estetik galeri atau kolektor yang menopang hidup seniman/perupanya. Namun tidak semua seniman/perupa menyikapinya secara pragmatis-oportunistis, beberapa seniman juga melakukan strategi manajemen artistik dan estetiknya, misalnya Agus Yaksa, Dipo Andy dan kawan-kawan di komunitas Ranah Seni Tenggara.

Indonesia Art Award 2010 yang semula adalah ajang kompetisi bentuk estetik para seniman/perupa muda tidak bisa lepas dari kepentingan ekonomi galeri komersil serta kepentingan kurator/juri di wilayah pewacanaan – sebagai bumbu praksis apropriasi bentuk estetik dan wacana yang dikutipnya. Sehingga, yang tampil ke ruang perhelatan itu adalah karya-karya seniman/perupa yang terikat ekonomi galeri komersil dan sisanya adalah tempelan-tempelan sekadarnya atau figuran. Justifikasi kompetisi seni rupa menjadi pameran biennale hanya didasarkan pada waktu dua tahunan kegiatan tersebut. Sedangkan pewacanaannya masih itu-itu juga.

Terkait dengan pameran IAA 2010 yang diselenggarakan oleh Yayasan Seni Rupa Indonesia, Jim Supangkat hanya berkomentar, “pameran itu merefleksikan seni rupa kontemporer Indonesia.”

Perbincangan penulis dengan Jim Supangkat dalam konteks pameran Manifesto di Galeri Nasional tahun 2008 adalah pewacanaan seni rupa kontemporer dari sudut pandang akademis dan praksis seni rupa kontemporer Amerika dengan modality seni rupa Indonesia paling mutakhir. Pameran Manifesto tahun 2008 merupakan salah satu metodologi untuk membuat pemetaan praksis seni rupa kontemporer di Indonesia. Praktik laboratorium wacana ini memang dibutuhkan untuk mengusung Asian contemporary art, karena seni rupa Indonesia jadi alternative pasar seni rupa kontemporer di Asia.

Pewacanaan seni rupa kontemporer memang belum mencapai titik yang paling definitif, meski berbagai macam metodologi penulisan sejarah seni rupa diupayakan di masing-masing wilayah seperti, Asia, Eropa, Amerika, Timur Tengah bahkan Afrika. Term yang muncul pada situasi itu antara lain global art, world contemporary art, global contemporary art. Term atau istilah itu kemudian saat ini berkutat pada dalam pewacanaan linguistiknya –kondisi ini seolah mengulang sejarah strukturalisme pada jaman modern. Tentu saja konteksnya berbeda melalui cara pandang akademis maupun praksis.

Persoalan yang paling krusial adalah politik kepentingan penulisan sejarah seni rupa Indonesia yang dikaitkan dengan global contemporary art. Artikel Ladislav Kesner yang berjudul “Is a Truly Global Art History Possible?” dalam buku Is Art History Global? yang disunting oleh James Elkins, mempersoalkan konseps ruang (kultural) yang memproduksi bentuk-bentuk estetik dan metodologi seni rupa kontemporer untuk kepentingan penulisan sejarah seni rupa. Perkembangan praktik seni rupa kontemporer lokal di China dan Czech Republic yang dikupas Kesner dikatakan syarat dengan kepentingan institusi akademis masing-masing, sementara penulisan sejarah seni rupanya kontra-prestasi dengan pewacanaan global art yang didominasi oleh Western art sense dan European art sense. Di sini nampak jelas bahwa kemudian perkembangan seni rupa di negara-negara berkembang seperti Indonesia tidak bisa seolah-olah atau suddenly being global art atau suddenly being global contemporary art. Di samping definisi dan justifikasi metodologi seni rupa kontemporer hingga kini belum ada kejelasan pasti dari korporasi Western art.

Dalam konteks ini penulis juga mengkritisi politik penulisan sejarah seni rupa kontemporer global (global contemporary art) yang seolah-olah itu terjadi di Indonesia. Apakah praksis seni rupa yang dikerjakan perupa muda di kota-kota penting di Indonesia itu merepresentasikan kekuatan seni rupa kontemporer Indonesia? Jawaban sementara ini jelas ada, yaitu belum representatif. Karena penulis melihat modus operandi seni rupa kontemporer Indonesia sangat berorientasi pada pasar. Art market untuk seni rupa kontemporer Indonesia masih dalam proses belajar, semu juga gamang, karena karya seni yang muncul atau tampil hanya sebatas pragmatisme estetik tanpa metodologi yang jelas bila merujuk pada sejarah seni rupa dunia atau global. Di sana juga terlihat hegemoni pasar yang semu dan agitatif sekaligus.

Karya seni rupa kontemporer bagi pasar seni rupa Indonesia baru sampai pada tahap penghargaan sebagai barang konsumtif yang sejajar dengan barang-barang konsumsi seperti jam tangan, baju, atau blackberry –belum dihargai sebagai karya estetik yang berelasi dengan humanisme. Situasi ini juga dimakfum sebagai konsekuensi logis dari sejarah kebudayaan Indonesia yang belum selesai melewati budaya modern dan modern art. Dengan kata lain, karya seni rupa kontemporer Indonesia belum memiliki kekuatan artistik dan estetik bila ditempatkan dalam ruang-ruang global contemporary art.

Bisa jadi tulisan ini dianggap kritik atas praksis dan pewacanaan seni rupa kontemporer Indonesia. Namun demikian situasi ini memang harus dibaca secara kritik-holistik dan faktual dan terbuka bila memang karya seni rupa kontemporer Indonesia hendak memasuki dunia seni rupa global.

Lantas bagaimana dengan Bandung Contemporary Art Award (BaCAA) yang sedang dilaksanakan oleh Artsociates di Bandung? Dari paparan direktur Artsociates, Andonowati, di Bandung beberapa waktu lalu terungkap modus operandi pewacanaan seni rupa kontemporer Indonesia dengan motif ekonomi yang menopangnya. BaCAA sinyalir adalah upaya progresif dari Artsociates untuk menerbangkan karya-karya seni rupa kontemporer terpilih dari seniman/perupa muda ke pasar Eropa dengan menggunakan jangkar sebuah galeri di Berlin dan Belanda, juga balai lelang Sotheby. Tetapi apakah BaCAA juga sebuah wadah untuk modus operandi yang sudah terjadi pada IAA? Di mana seniman/perupa yang lolos adalah karya-karya yang sudah ‘ditandai’ oleh galeri komersil atas nama kepentingan art market dan bisnis kolektornya.

Dewan juri BaCAA terdiri dari Agus Suwage, Carla Bianpoen, Hendro Wiyanto, Mella Jaarsma, Rifky Effendy, Syakieb Sungkar dan Wiyu Wahono. Selera karya seni yang ‘dicari’ atau di justifikasi juga akan terlihat bila melihat komposisi dewan juri BaCAA. Komposisi atau pasangan dewan juri yang paradoks antara selera ideal dan selera pasar.

“Saya memang punya tujuan agar seni rupa Indonesia bisa masuk ke jaringan Eropa melalui Bandung Contemporary Art Award. Pilihan dewan juri pada dasarnya adalah sebuah strategi bagaimana karya seniman muda yang terjaring dipilih atas pertimbangan dewan juri yang pasar banget dan yang idealis,” kata Andonowati, Direktur Artsociates, di Bandung. Meskipun demikian kepentingan galeri komersil yang mendompleng senimannya sudah jelas melakukan intervensi subjektif di dalam kegiatan kompetisi tersebut. Toh, kegiatan itu memang akan menjadi fasilitas seniman Indonesia untuk masuk ke ruang-ruang apresiasi seni rupa di Eropa.

Tetapi apakah yang muncul atau tampil dari BaCAA nantinya adalah karya seni rupa kontemporer dalam stereotype yang muncul dalam pasar seni rupa kontemporer Indonesia yang suddenly global art itu. Mengapa demikian? Pertama, stereotype seni rupa kontemporer Indonesia adalah pilihan medium kanvas yang dominan dan masif. Kedua, pemahaman terhadap new media art di pasar seni rupa kontemporer Indonesia masih sangat minim, bahkan dianggap craft karena pasar (kolektor, art dealers, galeri komersial) melihat teknologi digital (juga digital art) sebagai praktik seni rupa yang gampangan, not-saleable, atau dapat dikatakan sebagai bentuk pemahaman awam, tidak gaul – tidak global sense.

Kondisi ini memang memprihatikan di satu sisi, karena pewacanaan global art jadi kontradiktif melihat kenyataan ini. New media art di ranah seni rupa global sudah berlangsung pada tahun 1980-an di Amerika - domain rujukan seni rupa kontemporer Indonesia saat ini. Lalu muncul pertanyaan, bagaimana seni rupa kontemporer Indonesia bisa menjadi including to global art atau global contemporary art bila new media art belum diapresiasi pasar lokal (Indonesia) dengan layak?

Karya seni yang menjadi media dialog dirinya dengan masyarakatnya –bukan dialog seniman dengan nilai ekonomi yang hanya menguntungkan galeri, kolektor, art dealer atau balai lelang. Kalau mau global mesti global juga pengetahuan dan pemahaman terhadap karya seni rupa. Karena seni rupa kontemporer bukan sekedar konstelasi ekonomi dengan karya seni sebagai objek konsumsi ekonomi. Semoga out put dari BaCAA dapat benar-benar merefleksikan praksis seni rupa kontemporer Indonesia – tidak sekadar merepresentasikan kepentingan galeri komersil. ***
*) Art writer dan kurator independen-fotografi, tinggal di Bandung.